DIAM-DIAM aku terus memandangi mereka sampai mereka duduk di atas sofa kulit berwarna merah gelap di ujung ruangan, di antara kelambu besar dan dekorasi lampu. Victor Colter duduk pada satu sofa beledu single berlengan, menyilangkan kakinya yang terlihat lebih ramping karena sepatu bot hitam kulit sebetis, sementara tiga yang lain mengenyakkan diri mereka di sofa panjang di samping kirinya. Dari pakaian mereka, tampaknya tak satu pun dari mereka menganggap pesta ini terlalu serius. Victor hanya mengenakan mantel hitam polos, dengan sedikit sentuhan tak biasa yakni penjepit kemeja perak yang terlihat karena begitu mengkilap. Berikut dua teman cowoknya yang lain yang sepakat mengenakan pakaian berkabung—tuksedo biru dongker semi-formal untuk Oliver Goldfine dan setelah jas antik ungu tua untuk Chris Lucas.
Satu-satunya gadis yang duduk bersama mereka pastilah Margaret Goldfine, sepupu dari Oliver. Aku bisa menebaknya dengan mudah, karena sosok gadis itu cukup mirip dengan Oliver—dan sama sekali tidak terlihat janggal berada di antara cowok-cowok menawan itu. Selain berkulit cerah dan bertubuh jangkung, gadis itu memiliki rambut panjang gelap cantik yang begitu tebal, dikepang menjadi satu dan disampirkan ke satu sisi seperti gadis-gadis yang pernah kaulihat pada lukisan khas era Renaissance—hanya saja ia tidak berbadan besar melainkan langsing bak seutas pita. Teringat ucapan Melissa tempo hari, Margaret memang lebih dari sekadar gadis yang “sangat cantik”. Ia sungguh memiliki daya tarik yang unik. Daya tarik khusus seperti ketika kau mengagumi pahatan yang sangat indah, yang sepertinya tidak nyata dan sukar dipercaya mampu bergerak. Jika aku cowok, aku mungkin akan memajang lukisan makhluk seindah itu di kamarku untuk menghalau semua mimpi buruk—seperti kegunaan dream catcher tradisional. Hanya saja, aku tidak tahu apakah gaun sutra hitam milik gadis itu adalah kostumnya malam ini ataukah ia memang gadis seeksentrik itu yang menggemari gaun tua cantik seperti yang dipakai wanita-wanita pada lukisan milik Giovanni Antonio Boltraffio.
Saat aku mencuri pandang sekali lagi, aku terkejut karena Victor Colter sedang mengawasiku. Sisi kanannya yang terpapar cahaya menatap persis ke arahku. Tatapannya tajam dan membeku di satu tempat—mataku. Sesaat aku terpaku, terlalu ceroboh untuk terang-terangan mengalihkan perhatian, pikirku. Ia pasti tahu sejak tadi aku mengawasinya, dan memutuskan untuk menegur si pencuri pandang menyebalkan sepertiku.
Aku memberanikan diri membalas tatapannya. Aku sadar perasaan terpojok semacam ini sering membuat adrenalinku bertindak lancang. Kulayangkan pandangan defensif ke arahnya—agak terlalu menantang untuk pandangan defensif orang yang bersalah sebetulnya—sorot yang dibangun berdasarkan naluri untuk melindungi diri. Aku tak ingin kali ini tatapan Victor Colter membuatku terintimidasi seperti yang sudah-sudah.
Aku menunggu ia bereaksi atas tatapan kurang ajar yang kulontarkan. Di luar dugaan ia malah memiringkan kepalanya sedikit sebelum sorot matanya perlahan berubah; sesuatu dari pancarannya kini memunculkan pertanyaan yang berganti dengan cepat menjadi ketidakpuasan ... bukan ambisi yang biasanya mendominasi sorotannya padaku. Aku teringat saat mata kami beradu pandang pertama kalinya, aku menatapnya duluan dari lab dan ia balas menatapku—tatapannya kini mirip saat itu. Bedanya, dalam tatapannya kali ini ia seperti menunggu jawaban itu disajikan di hadapannya. Apakah ia sudah lelah mencari petunjuk?
“Kau sedang menatap apa?” Gerakan dan pertanyaan Alex yang mendadak segera membuyarkan pikiranku. Alex menarik kembali kepalanya yang baru saja ia dekatkan ke wajahku sambil menyibakkan sejumput rambut pirang yang jatuh ke pelipisnya. Matanya tidak berpaling dari wajahku.
“Aku hanya ... well, sedang mengagumi dekorasinya,” dustaku, berbicara lebih keras supaya bisa menandingi musik mengentak yang sedang dimainkan band di panggung yang para personilnya adalah murid-murid SMA Verotica sendiri.
Alex mengerutkan kening. “Kau terlihat agak gelisah.”
“Gelisah?” ulangku sok polos. Sialnya, mataku mengkhianatiku dengan melirik ke arah Victor dan teman-temannya lagi.
Alex mengangkat wajahnya ke arah mana aku tadi melirik. Ia menangkap keempat sosok itu. Ia sengaja mendengus sebelum berkata, “Jangan pandangi mereka, Sandy. Nanti mereka pikir mereka hebat sudah menyumbangkan begitu banyak uang untuk pesta ini. Bikin kepengin muntah saja.”
“Kau ini kenapa, sih?” tegurku, merasa perlu melakukannya melihat sikap kekanakan Alex.
Olise kembali ke atas panggung begitu personil band yang tadi memainkan tiga lagu turun, kembali kerepotan menurunkan tiang penyangga mikrofon lebih rendah setengah meter agar sejajar dengan mulutnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Olise mengetuk mulut mikrofon dengan jari telunjuknya yang kurus sebelum berteriak dan memasang senyum lebar yang seperti kucing. “Siapa dari kalian yang datang kemari untuk bersenang-senang?” Semua mengangkat tangan dan bersorak. “Ya, ya, aku mengerti, dan menurutku ini saat terbaik untuk memulai tahap yang lebih panas, bukankah begitu?”
Semua kembali bersorak.
“Terpujilah leluhur kita!” Olise Adams tampak puas, sayap malaikat dari bulu angsa di bahunya merosot menuruni lengan kurusnya. “Well, kalau begitu,” ujarnya dengan mata berbinar-binar, menarik tali sayapnya ke bahunya lagi, “Berhubung aku melihat sudah terlalu banyak pasangan yang memelototiku, sekarang kita mulai saja bagian klasik yang tak lekang dimakan waktu; tarik semua yang tertampan dan tercantik ke bawah lampu!”
Aku betul-betul lupa acara dansanya.
Beberapa menit kemudian orang-orang sudah tampak berpasang-pasangan. Olise terlihat memberi instruksi kepada DJ. Musik dengan irama slow mengalun lembut memenuhi ruangan; lampu diredupkan, cahayanya diganti menjadi kuning-kemerahan untuk membangun suasana romantis. Alex mengambil gelasku dan menaruhnya di atas meja dengan sembarangan.
Aku terkejut saat Alex membimbing tanganku menuju pundaknya sebelum menaruh tangan kirinya ke pinggangku.
Tidak ada yang pernah memberitahuku sebelumnya kalau Alex pedansa yang sangat baik. Lagi-lagi ia membimbingku ketika langkahku kelewat cepat atau terlalu lambat, mengarahkan setiap inci gerakanku, menguncinya dalam kesatuan yang harmonis. Ia membuatku bergerak lebih percaya diri; aku percaya ia sigap menangkapku jika aku membuat kesalahan atau kecerobohan—atau keduanya yang berakibat fatal. Sesaat mata Alex terpejam ringan. Aku melihat seberkas ketenangan membelenggunya di sana. Aku belum pernah melihat ekspresi sedamai dan selugu ini—ekspresi yang mungkin hanya dapat ditandingi oleh lukisan malaikat Botticelli yang terpajang indah di museum.
Saat aku mendongak, Alex sudah membuka matanya yang sesaat tadi terpejam. Mata birunya membuatku terkejut karena langsung menatap ke dalam mataku.
Di sanalah aku bisa melihatnya menawarkan sesuatu. Sesuatu yang melibatkan perasaannya. Aku tidak merasa mengenali ekspresinya yang satu itu, dan hal itu membuatku takut.
“Well,” gumamku agak kikuk, “jadi apa lagi yang kaurahasiakan dariku tentang bakatmu yang lain?”
“Aku tak tahu kau punya pandangan positif juga tentang aku,” kekehnya berpuas diri.
“Sebetulnya kau lumayan juga,” ujarku berusaha terdengar kasual, “Tapi ini menyebalkan, kau tahu, tidak ada yang memberitahuku kau pedansa yang sangat baik. Sangat, sangat, baik, malah.”
Aku melihat tawa bangganya memudar, lalu ia terdiam sejenak. “Well, sebetulnya ayahku juga pedansa yang baik,” katanya pelan sambil bergerak teratur mengikuti irama, satu tangannya masih di pinggangku. Alex tidak pernah membicarakan ayahnya selama ini, jadi aku mendongak mengawasi wajahnya lekat-lekat untuk mengetahui ke mana arah pembicaraannya. “Kurasa ia memang wajib menurunkan kepintarannya bergerak di lantai dansa sebagai penyeimbang hal-hal buruk yang ia wariskan padaku, kan?” tambahnya dengan senyum kasual yang tidak dapat kuartikan sebagai apa-apa.
Aku mengernyit, pura-pura membayangkan. “Hm, apa jadinya jika ada dua orang yang seperti kau, ya?” Aku memutuskan menanggapinya dengan gurauan. Aku tidak suka melihat Alex mengenang hal-hal yang akan mendongkrak kesedihannya. Ia belum pernah terlihat sedih, aku tidak akan suka menatap wajah murungnya.
Ia mencoba membayangkan juga, lalu menggeleng. “Tetap lebih baik dari ada dua orang yang seperti Sam.”
Kami lalu tertawa bersamaan. Ternyata memang masih ada benteng untuk hal yang menyangkut persoalan ayahnya. Selanjutnya kami lebih banyak berdansa dalam diam. Hanya menikmati musik yang meliuk lembut, mencoba untuk tidak menabrak pedansa lain yang lebih terhanyut dari kami. Atau mabuk. Atau keduanya.
Di sisi kiri, di antara cewek dan cowok yang bertopeng aku melihat Lee sedang berdansa dengan cewek langsing berkostum hitam yang tubuhnya sangat indah—sampai akhirnya si cewek membalikkan wajahnya ... aku sangat terkejut karena cewek yang lekuk tubuhnya kukagumi itu adalah Melissa.
Lalu kulihat mereka berciuman.
“Sebaiknya kau tidak memata-matai mereka, Sandy,” tegur Alex seraya membuat gerakan kecil memunggungi mereka. “Itu tidak sopan.” Ia menggeleng, mengernyitkan hidung tetapi bibirnya tersenyum canggung sehingga ekspresinya tampak kikuk.
Ketika DJ memutar musik slow yang kedua, di antara lampu temaram aku menangkap pasangan yang langsung menyedot seluruh perhatian. Dalam sekejap mereka sudah berdansa di tengah-tengah kami semua, tempat yang mereka dapatkan ketika beberapa pasangan menyingkir untuk memberikan mereka jalan. Aku bisa melihat pandangan-pandangan iri hati dan rendah diri para cewek ketika memerhatikan gadis itu bergerak, berputar, tersenyum, membisikkan sesuatu di telinga pasangannya. Tampaknya kemunculan gadis itu betul-betul membuat semua gadis di ruangan ini merasa jelek. Dengan kecantikan seperti Margaret Goldfine, memang tak ada yang lebih cocok berdansa bersamanya selain cowok dengan keindahan seperti Chris, pikirku.
Tiba-tiba saja, entah bagaimana mulanya, dan selanjutnya sudah terjadi, gadis itu dan aku bertukar pandang. Sorotnya begitu dingin, tapi sama sekali tidak kejam. Bahkan cukup ramah untuk ukuran gadis yang memiliki kecantikan seperti itu. Tanpa ragu, matanya yang biru seperti manik-manik kaca bergerak naik menyusuri wajahku, merayap hingga tiba di puncak kepalaku—kecantikanya sungguh tidak menyentuh akal sehat—aku melihat sorotan sedingin es itu di membeku. Saat itulah aku menyadari sejak tadi bukan aku yang dipandanginya ...
Margaret menatap pasangan dansaku.
Ia menatap Alex tanpa berkedip dari bahu Chris Lucas. Lalu ketika wajah Alex di atas ubun-ubunku bergerak, dan gadis itu melihat wajah Alex dengan utuh, aku melihat sorot gadis itu tiba-tiba bergejolak; dari datar menjadi gulungan ombak tak terbaca.
“Gadis itu sedang memerhatikanmu,” aku berbisik memberitahu Alex, merasa perlu melakukannya.
“Um?” gumam Alex, mengerutkan kening dengan mimik polos.
“Margaret Goldfine. Gadis yang berdansa bersama Chris Lucas, sejak tadi matanya tak lepas dari wajahmu.”
“Ooh,” ujar Alex tampak tak tertarik sama sekali.
Bersamaan dengan itu, lagu yang diputar DJ berhenti. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan cepat, lalu dengan tergesa-gesa menarik pasangan dansanya untuk menyelinap pergi.
Pukul sepuluh malam semua botol Crystal yang disumbangkan keluarga Goldfine mulai dibuka, dan murid-murid yang membutuhkan tambahan alkohol malam ini dengan heboh mengambil jatah mereka.
Melissa tahu-tahu sudah berdiri di sebelahku dengan wajah merona merah dan mata berbinar-binar. Aku takut tidak dapat mengekang antusiasmenya.
“Aku tak yakin waktu Lee mengajakku bicara berdua di samping panggung, maksudku, dia datang padaku dan bertanya apakah aku ingin ditemani.” Melissa terkikik. “Aku tidak ingin terlalu cepat menilai, tapi kelihatannya Lee tertarik padaku.”
“Tentu saja Lee tertarik padamu,” keluhku, memutar bola mata dengan penuh isyarat. Dia menciummu, ingin kutambahkan begitu.
“Menurutmu begitu?” erang Melissa tersipu malu-malu. “Tapi mungkin setelah ini aku harus bertanya padanya, maksudku, apakah tadi itu hanya karena alkohol atau apa. Lagian, sudah sejak lama aku memang memerhatikan Swanson.”
“ ... Aku mempersilakan kalian untuk membawa amunisi kalian secara bergantian dimulai dari sekarang—dan tentunya untuk menambah semangat kalian, aku akan memanggilkan“—Di panggung, Olise Adams tampak menghadapkan seluruh badannya ke sisi kanan panggung— “Bill Clayton! Penyanyi rock paling populer dari Chicago!”
Situasi meledak seketika. Murid-murid cewek berteriak histeris ketika menyambut penyanyi tampan berambut cokelat ikal berumur tiga puluh tahunan yang baru saja menaiki panggung itu, sisanya bergumam bersemangat mencetuskan judul-judul lagu yang mereka ingin Bill mainkan.
Di sela-sela lagunya, Bill Clayton mengingatkan murid-murid membawa “amunisi” yang juga diucapkan Olise Adams tadi. Dan setelah ucapan Bill Clayton di panggung itu, semuanya semakin membingungkan. Dengan penuh semangat, semakin banyak orang yang berhamburan ke luar gimnasium dengan seruan-seruan penuh gairah dan kembali tak lama kemudian.
Alex, Lee, dan Jade, cowok ceking dari Klub Basket yang kadang bergaul dengan Alex dan teman-temannya kembali dengan ransel-ransel di punggung mereka. Aku baru sadar kalau hampir seluruh orang di ruangan ini kembali dari luar gimnasium dengan membawa tas-tas gemuk. Dan anehnya tas-tas mereka mengeluarkan aroma-aroma lezat. Aku menjulurkan kepalaku untuk mengendus ransel Alex sebelum ia mendorong kepalaku menjauh dengan telunjuknya.
“Kau betul-betul seperti anjing pelacak,” gerutu Alex.
“Untuk apa kau membawa makanan itu di dalam ranselmu?” tuntutku, yang membaui aroma makanan dari ransel yang dibawa Alex.
“Aku tak akan mengatakan apa pun sampai semuanya dimulai,” ia berkeras.
“Padahal Alex bisa saja memberitahumu sekarang lho, tapi dia nggak mau,” sambar Luke yang sepertinya sudah lumayan sadar.