Verotica's Secret

andra fedya
Chapter #13

12. THE GUARDIAN

“ASTAGA, bagaimana bisa kau memberitahu hal seperti itu terlalu mendadak,” keluhku setelah Sam memberitahuku bahwa besok adalah hari ulang tahun Alex ketika aku membantunya mengelap peralatan makan yang habis dicuci. Kini, satu minggu sudah berlalu. Meskipun sekarang luka para korban telah pulih dan hanya menyisakan garis-garis merah dan lebam samar, bagiku memori itu tak pernah memudar; hanya terseret berlalu, menyisakan sesuatu yang pahit—sisanya tidak perlu kujelaskan. Well, tentu saja, yang mengalami cedera terparah dari tim Alex adalah Jade dan Luke, tapi mereka dipulangkan rumah sakit hanya dalam semalam. Jadi mereka punya lebih banyak waktu untuk menyombongkan diri kepada semua murid lain selama satu minggu belakangan.

    “Kupikir aku sudah memberitahumu—entahlah, mungkin kau yang lupa,” kilah Sam sambil mengangsurkan gelas basah kepadaku untuk dikeringkan. “Kita beruntung Alex memutuskan pergi kamping kemarin—well, dia tidak begitu suka kejutan, tapi bagaimanapun kejutan itu penting, betul tidak?”

     Kemarin Alex dan teman-temannya pergi sebelum matahari muncul. Mereka mempercepat rencana kamping ke danau di Gavel Hills menjadi kemarin karena khawatir badai turun setelah Sam memberitahu mereka tentang ramalan cuaca yang didengarnya dari radio. Aku baru tahu kalau Sam berbohong tentang ramalan itu demi menyingkirkan Alex lebih awal.

    Aku kembali menaruh dua buah gelas kering ke rak di atas konter. “Tapi sekarang aku tidak tahu akan memberikan kado apa untuknya,” aku melanjutkan gerutuanku. “Tetap terlalu mendadak.”

    “Kau ini pesimis sekali, sih. Percaya padaku, masih banyak waktu untuk mempersiapkan semuanya,” ujar Sam sambil lalu.

    Setelah menyelesaikan tugasku, aku naik ke kamarku untuk menghitung persediaan uangku dan berganti pakaian. Jam menunjukkan pukul satu siang lewat lima belas menit. Karena khawatir akan tersesat, aku meminta Sam membuatkanku peta untuk pergi ke pusat kota.

    Berbekal peta seadanya, aku meminjam dutch bike Sam untuk pergi di pusat kota. Butuh waktu lebih lama dari harapanku karena aku terpaksa harus berhenti beberapa kali untuk memastikan bahwa rantai sepeda Sam tidak akan putus mendadak. Ditambah, kemampuan mengenali arahku yang tidak terlalu bagus membuat segalanya melambat. Setelah berbelok di monumen sekitar Noelan Spring, aku sampai di daerah pertokoan yang lebih mirip rumah-toko ketimbang kios-kios kecil seperti yang kutemui di Wiggywamp atau The Blackbows. Aku memutuskan memarkirkan sepeda Sam di parkiran khusus sepeda di dekat taman sebelum menyebrang dan berjalan kaki untuk mampir ke toko demi toko. Di toko pakaian bernama The Sizzle Lizzard aku menemukan sepotong sweter biru sederhana yang sangat cocok untuk kado Alex, harganya juga relatif murah dengan kualitas benang sangat baik.

    Setelah mengira-ngira ukuran yang pas, aku membawa sweter pilihanku ke kasir untuk membayarnya. Aku menemukan masalah ketika merogoh tasku—dompetku tidak ada di sana. Dompet itu pastilah tertinggal di atas tempat tidur waktu aku mengeluarkannya dari ransel dan lupa memindahkannya ke dalam tas yang kubawa.

    Pelayan yang tadinya sangat ramah padaku mendadak tampak jengkel karena menunggu terlalu lama; di sebelahnya pelayan yang berambut keriting mendongak dari balik tumpukan dus, matanya yang cembung menatapku dengan awas berlebihan.

  Melihat reaksi mereka, aku buru-buru minta maaf dan pergi secepat mungkin dari toko itu, mengenyakkan diri di atas bangku kayu tak jauh dari toko kaset yang pertama kali kudatangi. Di sana aku bermaksud istirahat sebentar sebelum kembali untuk mengambil dompetku.

    Baru saja aku akan berjalan pulang, aku dikejutkan oleh bunyi “KAAKKK!” keras yang datangnya dari arah pepohonan di depanku.

    Aku melihat sekitar lima atau enam ekor burung gagak menjerit dan terbang dengan kalang-kabut seolah pohon beech besar tempat mereka hinggapi diguncang seseorang. Untungnya kehebohan itu tidak berlangsung lama, dan saat aku kembali melihat ke jalan, tiba-tiba saja aku melihat sesuatu yang berwarna hijau kepucatan bergulir di permukaan aspal, terseret oleh angin yang mendadak bertiup. Mulanya aku mengira itu daun, tapi mengingat hampir semua daun kini berwarna lebih gelap, aku menyadari bahwa itu adalah selembar uang. Aku mengejar kertas segiempat itu, terkejut begitu melihat nominal yang tercetak dikertasnya: pecahan seratus dolar.

    Sambil bertanya-tanya dalam hati apakah aku layak menerima uang temuan itu, aku berjalan kembali ke bangku tadi. Aku mengerutkan kening sambil meneliti uang itu, mencari petunjuk kemungkinan orang lewat menjatuhkan uangnya. Hanya ada angin yang mendesir seperti napas, tak ada satu pun oran yang melintas di dekatku. Dengan adrenalin yang berpacu deras, otakku otomatis berpikir cepat. Dengan uang ini aku bisa membeli hadiah yang jauh lebih bagus dari benda-benda usang yang dijual di toko sial tadi. Mungkin inilah yang disebut keberuntungan nomplok, kesialan yang mendatangkan keuntungan besar. Aku tak tahu apakah aku berdosa jika aku mengambilnya bukannya melapor pada polisi, tapi aku yakin tujuanku tidaklah buruk jadi itu mungkin termaafkan. Lagian, genggaman jari-jariku pada uang itu terlalu kuat, aku memang membutuhkannya.

    Aku memutuskan berjalan melawan arah, berharap di blok selanjutnya menemukan toko yang menjual hadiah yang lebih bagus. Dalam hati aku mendoakan si pemilik uang yang hilang agar mendapatkan ganti yang berlipat ganda.

    Di Crookedwands, Shrew Street, aku menatap ruko-ruko tua di sana dengan napas lega. Aku berjalan dengan lebih ringan ketika memasuki toko yang kupikir cukup bagus. Kali ini toko aksesori yang di depan pintu masuknya memajang lampu kerlap-kerlip sisa Halloween.

Aku menemukan gelang anyaman yang tertulis pada boksnya terbuat dari tangkai anyelir kering (Sam pernah memberitahuku bahwa Verotica memiliki mitos tersendiri tentang anyelir dan mawar). Anyelir sendiri adalah lambang persahabatan. Aku langsung mengambil dua buah gelang dengan dua warna cokelat yang sedikit berbeda, membungkusnya di konter yang menyediakan jasa bungkus kado. Tugas selesai. Tapi karena sangat kelaparan, aku memutuskan makan sore di sebuah restoran mungil di dekat toko barang-barang antik. Lebih dari separo sisa uang temuanku yang sudah terpecah kusumbangkan kepada biarawati yang kebetulan berpapasan denganku di tempat aku memarkirkan sepeda.

Dalam perjalanan pulang, hari sudah agak menggelap. Tapi aku beruntung sepeda Sam tidak berbunyi keretak-keretak seperti sebelumnya sehingga aku tidak perlu sering berhenti untuk mengecek keadaannya. Lagian, untuk apa aku terlalu khawatir? Sam sering menggunakan sepedanya untuk berangkat ke tempat kerja yang jaraknya lebih jauh. Aku mengemudi dengan cukup ngebut sehingga aku tiba di rumah Eve sebelum bulan mengambil alih malam sepenuhnya. Sebetulnya, aku bukanlah pengemudi yang cukup ahli, tapi sepertinya sepeda Sam yang berat banyak membantu menstabilkan kemudiku dalam kecepatan yang tinggi. Lain kali, aku mungkin akan meminjam sepeda Sam lagi; mungkin aku bisa berpetualang sendiri, pasti mengasyikkan. Tentu saja setelah aku menyembuhkan diri dari pegal-pegal hari ini—taruhan malam nanti aku akan tidur pulas.

    Setelah melakukan ritual bersih-bersih dan mengecek e-mail, aku meletakkan kadoku di atas tempat tidur Alex yang kosong dan bergegas kembali ke kamarku. Aku sengaja langsung mematikan lampunya sebelum naik ke atas tempat tidur—sangat yakin akan cepat tidur pulas karena terlalu capek. Namun, saat aku memandang ke jendela, aku melihat siluet dahan-dahan menari-nari di luar sana, terembus angin bagaikan jemari yang siap menyergap dari balik kegelapan. Dengan susah payah, aku berusaha melenyapkan pikiran-pikiran konyol yang mencoba menakutiku. Tapi seperti biasa, ada saja yang berhasil menembus ke dalam mimpiku. Aku jadi bertanya-tanya kapan jiwaku sendiri berhenti mengkhianatiku ...

    Esoknya, Sam membangunkanku pagi-pagi sekali. Setelah mencuci muka dan gosok gigi aku mengenakan kardigan rumahku yang paling nyaman dan turun ke bawah. Eve sudah menyiapkan kue ulang tahun Alex sejak kemarin—tar tebal berlapis cokelat dan ceri. Kue kesukaan Alex.

    “Ah, itu dia!” pekik Sam, setengah menahan napas begitu mendengar suara mobil berhenti di pekarangan depan. “Mom, sekali ini boleh, ya? Kita harus melakukannnya dengan cepat, bukan?”

    Eve berjengit enggan. “Kau yang melakukannya, Samantha, sebab Mom tidak mau lagi mengotori—”

    “Oke, oke, aku mengerti,” potong Sam dengan cepat. Setelah Sam menjentikkan jarinya, semua lilin di atas kue tar yang kuangkut menyala serentak. Itulah kali pertama aku melihat Sam menggunakan sihirnya.

    “Ayo,” ajak Sam, mengarahkan bahuku menuju pintu depan. Aku berjalan hati-hati agar tidak menjatuhkan kue tar yang sudah dibuat Eve dengan susah payah. Sementara aku mengatur posisiku, Eve menyibakkan gorden, mengintip ke luar melalui celah kecil di sisi kiri jendela. Aku melihat alis pirangnya tiba-tiba mengerut.

    “Entah mengapa sepertinya ekspresinya agak ganjil ... oh, dia menuju kemari!” bisik Eve, mundur dengan tergesa-gesa.

    “Sandy, kau di sini, cepat!” Sam menukar posisinya denganku. “Begitu aku bilang tiga, semuanya berkata ‘kejutan’.”

Lihat selengkapnya