HIDUPKU akan sulit setelah ini, aku tahu itu; napasku tidak akan selonggar dulu, langkahku tidak akan seringan saat Alex berjalan di sampingku. Aku betul-betul seperti koin cacat yang hanya memiliki satu sisi sementara sisi satunya kosong. Kesepian terlalu indah untuk menggambarkan perasaanku sekarang.
Tololnya, walaupun aku tahu aku akan lumpuh setelah ini—setelah Cadillac-nya lenyap tersapu debu jalanan—aku tetap membiarkannya pergi. Aku bahkan mengantarkan kepergiannya sampai ke pekarangan, memakaikan dua buah gelang tangkai anyelir kering, hadiah ulang tahunnya dan membantu mengecek daftar bawaannya.
“Sudah semuanya,” ujarku, mengamati kertas berisi daftar keperluan Alex seperti obat-obatan, peralatan mandi, bekal makanan, dan lain-lain sebelum Alex memasukkan barang-barang itu ke bagasi mobil. “Kira-kira apa ada sesuatu yang lupa kautulis di sini?”
Alex mengamati catatanku sejenak. “Kurasa sudah semua.” Ia nyengir, mengancingkan kemeja flanel kesayangannya. Kemeja yang digunakannya ketika menjemputku untuk pertama kalinya di Halte Maggot Tallow.
Setelah berpamitan dan memeluk Eve dan Sam, Alex kembali menghampiriku. “Sandy,” ujarnya. “Baik-baiklah di Verotica. Jangan buat Sam atau ibuku mencemaskanmu—aku akan tahu kalau kau buat masalah.”
“Aku mengerti,” kataku pelan, berusaha menyamarkan getaran yang mulai terdengar dalam suaraku. “Kau juga hati-hati, Alex.”
“Aku pasti akan berhati-hati,” janjinya.
“Sandy,” panggilnya lagi lima detik kemudian. Kali ini mata birunya yang sewarna langit pagi itu menatapku penuh tuntutan—keningnya menyusul mengkerut. “Saat aku kembali kelak, apakah hubungan kita masih tetap sama, tidak ada yang akan berubah? Apa kau bisa memastikan itu untukku?” Kelihatannya ia betul-betul cemas untuk hal satu itu.
“Tentu,” janjiku, merasa tidak perlu berpikir untuk menjawab permintaannya. “Tidak ada yang akan berubah.”
Ia tersenyum lebar, sinar matahari yang menyinari wajahnya membuat senyumnya tampak bercahaya. “Terima kasih, itu memudahkan segalanya,” gumamnya. “Aku pergi sekarang.” Dan itulah saat-saat terakhirku melihat teman seperjuanganku—jagoanku yang berambut pirang. Malaikat Botticelli-ku ....
Aku segera menghapus air mataku ketika aku menutup pintu kamarku. Aku mendesah seharian, merasakan perlahan-lahan kegelapan mulai memayungi hidupku. Apa jadinya hidupku setelah ini? Apa jadinya jika satu-satunya orang yang kuandalkan pergi meninggalkanku?
Aku membuka jendela kamarku dan membiarkan matahari pucat memberi sedikit nuansa untuk kamarku yang putih dan tak berwarna. Tapi saat hari berganti senja, saat emas pucat berganti oranye, waktu kuamati langit yang membentangkan cakrawala kelam, aku merasa Verotica terlalu berbahaya untukku ....
Berikutnya hanya kehampaan yang menyertai hari-hariku di sekolah—sebetulnya Eve sempat mengusulkan supaya aku berhenti sekolah sampai Alex kembali nanti (ia dan Sam bisa membuatkan alasan yang logis)—tapi aku menolak tawaran itu; menjalani hari dengan banyak waktu luang di rumah bukanlah ide bagus mengingat aku akan menghabisi hariku dengan memikirkan masalahku.
Berita baiknya; skenario yang disebarluaskan Lee tentang kepergian Alex ke Virginia untuk mengikuti seleksi pemain basket untuk sebuah klub ternama di sana berhasil. Semua orang percaya, termasuk guru-guru dan Mrs. Morris yang memang sebelumnya sudah menerima surat cuti sekolah Alex secara langsung dari Eve.
Pada akhirnya aku mulai terbiasa menjalani hari-hariku dengan perlahan-lahan, tidak terlalu ingin tampak tersesat. Meskipun tanpa Alex hidupku seperti berjalan di jalan setapak yang kosong, malam hari, tanpa cahaya. Di kelas Spanyol, aku tidak bisa berkonsentrasi karena Clarice terus mengawasi setiap gerakanku bagai kucing lapar menatap tikus sekarat. Aku memohon agar Lee menukar tempat duduk kami supaya tubuh berototnya bisa menghalangi seringai jahat Clarice padaku. Aku berhasil melewati kelas Spanyol dengan mulus setelah Clarice menyerah mencari celah untuk mengintimadasiku. Tapi aku masih menyeret langkahku sepanjang sisa waktu yang lain.
Meskipun di sekolah nasibku hampir bisa dikatakan tragis, aku cukup senang karena di rumah Eve dan Sam sudah lebih ceria dari sebelum-sebelumnya setelah Alex menelepon lusa lalu. Aku tahu mereka ikut senang dengan keputusan Alex itu, mereka hanya merasa kehilangan, dan sedang berusaha mengobati perasaan itu dengan perlahan.
Esok harinya, sama seperti hari-hari sebelumnya, aku pergi menggunakan bus sekolah. Namun, karena bus sekolah tidak menjangkau Randall, setiap pagi aku harus berjalan kaki sekitar dua ratus meter ke tempat penjemputan bus sekolah bersama murid lain yang sering bertemu di jalan.
Carey Bloomberg—berambut kuning dan bermata bundar besar seperti kancing—salah satu yang kebetulan berjalan bersama denganku hari ini. Di tengah percakapan mengenai toko pakaian di Crookedwands yang baru saja dibuka, ia memberitahuku kalau minggu depan sekolah kami akan mengadakan acara yang bernama Perayaan Pangan di Hudson Park.
Aku tidak senang mendengarnya. Aku benci SMA Verotica yang sering menyelenggarakan pesta. Pesta terakhirku berakhir dengan tragis. Setelah malam Halloween itu, pernah beberapa kali aku berpapasan dengan Victor Colter di sekolah. Ternyata memang sangat mudah memutuskan untuk wajib menjauhinya. Dari caranya menatapku, sepertinya ia menjadi sangat membenciku—begitu pun aku.
Carey memandangiku dengan pandangan aneh waktu aku mengaku belum mendengar tentang acara itu—toh, bukan salahku kalau akhir-akhir ini aku jarang berkomunikasi dengan orang lain; anak-anak cowok sibuk dengan urusan basket, Melissa sepanjang waktu berduaan terus dengan Lee, sementara anak-anak Klub Sinema, yah, mana mau sih, mereka membicarakan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan proyek film?
“Well, ini adalah Perayaan Pangan keenam yang dirayakan di luar sekolah,” Carey mulai menjelaskan. “Tadinya acaranya selalu diadakan di sekolah. Tapi, sejak ada kembang api nyasar hampir membakar salah satu gedung, acaranya dipindahkan.”
“Jadi, seperti apa acaranya?” tanyaku tanpa benar-benar merasa perlu tahu.
“Seperti ... begini deh, aku punya istilah kuno yang sering diucapkan nenekku, ‘kalau kau pergi berdua ke Perayaan Pangan kau akan pulang dengan hati gembira, sedangkan kalau kau datang sendirian kau akan pulang berdua’.”
“Terdengar seperti Valentine,” desahku muram.
“Percayalah, di Perayaan Pangan nanti tidak akan ada warna pink dan balon-balon mengerikan yang bisa meledak setiap saat,” tukasnya. “Intinya Perayaan Pangan di Verotica adalah waktu untuk kita makan apa pun yang kauinginkan di festival makanannya dan bersenang-senang dengan cowok-cowok yang memakai topeng.” Carey membuat gerakan memakai topeng di mata dengan jari-jarinya. “Tempat lain mungkin memiliki Thanksgiving bersama keluarga mereka, tapi tidak di tempat ini. Selama kita masih remaja, banyak keseruan menunggu kita.”
Ia tiba-tiba seperti tersadar akan sesuatu ketika menangkap tatapan jemu yang kulayangkan padanya.
“Oh, ya, aku harus memberitahumu satu lagi tentang keunikan acaranya,” Carey buru-buru menambahkan. “Semua cowok yang datang sendirian diharuskan memakai topeng. Sedangkan untuk para ceweknya, kalau kau datang sendirian, kau diharuskan memakai bros mawar merah di dada kanan. Tapi kalau kau datang bersama pasangan kau diwajibkan memakai pita ungu di dada kiri bersama pasanganmu. Saat lonceng berdentang, sekitar jam sepuluh malam, setelah ada cowok yang mengajakmu turun ke lantai dansa—“
“Ada acara dansanya juga?” selaku kecewa. Kalau tidak ada Alex, aku cuma sebongkah daging tolol di lantai dansa.
“Ampun deh,” decak Carey jengkel karena aku memotong ucapannya terus.
“Baiklah, itu bagian buruknya. Teruskan.”
“Kalau kau sudah dapat pasangan, ketika lonceng dibunyikan, kau diharuskan mencium pasanganmu setelah kau melepas topengnya!”
“Ci-cium?” Aku shock. “Jadi, semua murid akan saling berciuman dalam serentak?”