SIAPA kau? Ingin sekali aku bertanya begitu, tapi seperti direkatkan dengan lem mulutku begitu kaku. Aku hanya meletakkan jari-jariku pada telapak tangannya tanpa berkata apa-apa lagi, dan ia tanpa basa-basi menarikku menuju lantai dansa. Ketika kami bergabung, seperti sebuah kebetulan, DJ memutar musik slow pertanda acara dansa dimulai. Aku sempat melihat Melissa dan Lee menjadi salah satu pasangan yang kini membentuk pagar hidup yang membentengi para pedansa yang mengenakan bros mawar di dada. Melissa menatap ke arahku dengan terkejut, matanya membelalak penasaran.
Kuabaikan tatapan Melissa. Kutatap bibir pasanganku. Ia tersenyum. Dan saat itulah kurasakan jantungku mendadak berdegup-degup tak terkendali. Aku tiba-tiba merasa mengenalinya. Tapi aku tak bisa mendapatkan jawabannya ketika aku menggali pikiranku; senyumnya betul-betul mengacaukan semua syarafku, mematikan kerja otak di dalam kepalaku.
Ia meletakkan jemariku di bahunya, dan aku harus menggapai tinggi-tinggi supaya bisa menyentuh bahunya yang bidang. Paling tidak tinggi badannya 185 sentimeter. Kupandangi ia sampai dari balik topeng sutra hitamnya kurasakan dahinya mengernyit menegurku. Aku buru-buru mengalihkan tatapanku ke dadanya—aroma tubuhnya langsung melesak menggetarkan rangsangan lain dalam diriku. Sementara itu, melodi musik mengalun dengan indahnya, menambah romantisme yang terjalin kuat. Sekali lagi, kuhirup aroma tubuhnya dalam-dalam—wangi apel, pikirku, atau anggur?; yang jelas sangat murni bahkan melebihi oksigen, barangkali—dan aku langsung menyesal melakukannya begitu terang-terangan karena ia langsung menarik mundur tubuhnya. Tapi untunglah itu tidak berlangsung lama. Beberapa detik setelahnya, kami kembali dalam posisi semula. Begitu dekat, nyaris tanpa jarak. Aku menolak ketika ia menurunkan tanganku dari bahunya, mungkin tadinya ia mau mengubah posisi—tapi aku terlanjur salah paham. Aku meringis malu, ia balas menyeringai.
Siapa cowok ini? batinku lagi-lagi meronta.
Meskipun tidak tahu siapa orang yang berdansa denganku, aku tak ingin kesempurnaan ini berhenti. Kali ini ia mengarahkanku menuju tempat yang gelap, sedikit jauh dari pedansa-pedansa lain (lingkaran sudah terputus sejak tadi karena terlalu banyak pagar hidup yang tergiur untuk berdansa). Jantungku menusuk-nusuk dadaku ketika ia menunduk mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Lalu, aku merasakan tiba-tiba tubuhku menggigil—bukan dingin seperti ada angin dingin yang berembus atau apa, tapi sepertinya ini semua bersumber dari dalam tubuhku sendiri; lalu kepalaku mendadak terasa pening, sakit sekali seolah seseorang baru saja menghantamku dengan martil. Bibirku bergemelatukan, dan bersamaan dengan itu aku merasakan tenggorokanku tersumbat dan gatal sekali.
Ia menatapku lekat-lekat, bulu matanya berkedip sekali.
Jika pencahayaan di sini baik, harusnya aku bisa menemukan warna mata di balik topengnya.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya, memastikan.
Aku terkejut karena aku mengenali suara itu walaupun aku tak begitu yakin karena telingaku mulai berdenging.
“Harusnya aku baik-baik saja,” ujarku dengan suara serak karena perih dan sempitnya tenggorokanku. “Aku tidak makan makanan yang aneh-aneh tadi.”
“Apa kau alergi terhadap sesuatu?” tanyanya lagi, nadanya diselimuti kecemasan.
“Beberapa jenis makanan,” aku memberitahunya. “Aku alergi kacang dan beberapa jenis keju ...” Aku tidak meneruskan kata-kataku—tidak dapat, tepatnya. Bibirku, rahangku, lalu leherku semuanya terasa berdenyut-denyut. Aku mulai panik. Oksigen dalam dadaku terasa seperti racun yang mencekik.
Cowok itu menyentuh keningku dengan telapak tangannya. Meskipun sekilas, anehnya menimbulkan perasaan seperti tersengat listrik. “Suhu tubuhmu agak naik.”
Dengan kikuk aku meraba keningku juga. Panas sekali. “Sepertinya aku demam ...”
“Aku yakin kau memakan sesuatu yang salah kurang dari sejam ini. Reaksi alergi semacam ini setahuku kadang datang lebih cepat lagi jika cuacanya sedingin sekarang.”
Aku mengingat-ingat. Aku tidak sempat makan di rumah, jadi makanan yang mungkin memicu alergiku ... “Oh, kemungkinan besar cupcake yang kumakan mengandung kacang atau keju.”
“Di mana kau menaruh obat antialergi-mu?”
“Aku tidak membawa obat apa pun,” ucapku tersenggal, memegangi kepalaku dengan jemari, berusaha menekan sesuatu yang berdenyut-denyut di sana. Sekarang aku positif alergiku kumat—walaupun kandungan pemicu yang ada di dalam tubuhku tidak banyak, tapi cukup merangsang peradangan tenggorokanku.
“Aku akan membawamu ke rumah temanku. Aku yakin Esther bisa mengobatimu dengan ramuan tradisionalnya,” ia mengusulkan. “Percayalah, ia mampu mengobatimu lebih cepat dari dokter di rumah sakit atau klinik.”
Lewat belakang panggung dengan sigap ia membopongku menuju gerbang Hudson Park. Ia menurunkan aku di bangku taman yang ada lampunya. “Aku akan pergi sebentar mengambil kendaraanku. Dua menit,” janjinya. “Ini. Kau harus tetap hangat.” Ia melepas tuksedonya dan memasangkannya di bahuku, ternyata selain tuksedo. Ia segera menghilang menembus kegelapan ke arah pabrik tua di seberang jalan.
Ia menepati janjinya. Aku mendengar suara dengungan lembut mobil berhenti di depanku tak lama kemudian. Mataku sudah membengkak ketika aku menengok untuk melihat dan meyakinkan cowok yang tadilah yang sekarang sedang menggendongku, membantuku naik ke mobilnya—tapi aromanya cukup untuk meyakinkan hal itu. Ketika kurasakan ia mulai menancap gas, aku dihantui perasaan malu yang cukup besar untuk menyingkirkan semua rasa sakit di dalam kepalaku. Aku tahu persis dengan apa yang terjadi pada penampilanku sekarang; kalau tidak mataku seperti orang yang baru tersengat lebah, pada pipi dan daguku akan bermunculan bentol-bentol sebesar biji semangka, memenuhi semua wilayah di wajahku. Bahkan terkadang, jika aku betul-betul sial, bibirku akan membengkak seperti dot bayi. Aku betul-betul pasrah mengetahui bahwa cowok ini melihatku dalam keadaan semengerikan itu.
“Kita sudah sampai,” ia memberitahu, segera mematikan mesin mobilnya dan turun untuk membantuku keluar dari dalam mobil. Seperti sebelumnya, ia mengangkatku dengan mudah sekali seolah aku ini terbuat dari kapas.
Walaupun aku sudah tidak dapat melihat apa-apa lagi, aku yakin perjalanan tadi tak sampai tiga menit. Sedekat itukah tempat orang yang katanya bisa mengobati alergiku? Ataukah kemampuan mengemudinya memang sangat superior? Tapi bukankah tak ada pemukiman di daerah perindustrian? Aku berhenti bertanya-tanya ketika mendengar ia berkata pada seseorang seraya membaringkanku di atas sebuah tempat tidur yang kupikir sangat empuk dan lembut.
“Apa yang kaurasakan sekarang?” Ia kembali memastikan keadaanku. Nada cemasnya membuatku betul-betul merasa bersalah dan tak enak.
“Hehalaku hakit hekali—hihirku pehih. Ahu minha maah, hungguh, hadi mehepotkan hau,” jawabku kacau dengan bibir bengkak.
Ia menyentuh keningku lagi, mengusapnya dengan sebuah sentuhan ringan. “Sebentar lagi Esther datang dengan penawarnya. Coba pikirkan hal-hal yang menurutmu bisa mengalihkan rasa sakitnya.”
“Di mana ... a-ahu?” aku bertanya tak jelas karena bibirku yang bengkak.
“Kamar,” jawabnya singkat. Aku terkejut karena ia mengerti ucapanku meskipun aku mengucapkannya dengan menekan lidah ke langit-langitnya. “Jangan khawatir, aku akan mengantarmu pulang setelah Esther memberimu penawarnya.”
Dan siapa kau? Sebelum aku sempat bertanya, aku mendengar suara langkah mendekat ke tempat tidur. Dari suara sol sepatunya pastilah perempuan—mungkin yang bernama Esther.
“Oh, ya, ini semacam alergi pada stroberi yang dialami Matthew kecil minggu lalu. Ramuan ini akan sangat membantu. Coba duduk sebentar, Miss,” ujar si wanita, membantuku duduk dan bersandar ke bantal-bantal yang ditumpuk tinggi untuk menyangga kepalaku. Bau rempah-rempah merayap masuk mengusik penciumanku.
Perlahan-lahan aku menyeruput ramuan itu—rasanya mirip sekali teh basi dicampur madu. Tapi jauh lebih banyak kesat dan asamnya daripada manisnya.
Setelah menghabiskan satu gelas ramuan, wanita bernama Esther itu membantuku berbaring lagi.
“Obatnya bereaksi cepat sekali, Anda bahkan akan terkejut dengan kecepatannya menyembuhkan Anda,” katanya dengan baik hati.
“Sa—Sandy.” Aku merasa bibirku sudah lumayan baikan. “Nama saya Sandy Swolley.” Sambil masih terpejam karena mataku yang belum pulih dari bengkaknya, aku berusaha menggerakkan bibirku untuk berterima kasih pada Esther atas ramuannya yang mujarab. “Terima kasih banyak untuk pertolongan pertama ini.”
“Tidak usah sungkan, Miss. Anda beruntung, kebetulan saya tidak perlu membuat ramuan yang baru karena keponakan saya juga sering mengalami masalah alergi pada beberapa jenis makanan tertentu,” gumamnya dengan suara sopran yang lembut sekali. “Istirahatlah sebentar. Saya harus kembali mengerjakan beberapa pekerjaan. Permisi, Miss—tuan-tuan, saya harus kembali ke dapur.” Suara langkah kaki Esther terdengar kembali, kali ini menjauhi kamar. Pintu ditutup. Esther sudah pergi.
“Well, aku masih tidak percaya semua ini karena makanan,” gumam suara cowok lain—bukan yang berdansa denganku—yang tampaknya berdiri tidak jauh dari bagian kaki tempat tidurku. Namun anehnya, lagi-lagi aku merasa mengenali suaranya. “Apa hal ini pernah terjadi sebelumya?” ia bertanya padaku.
“Terakhir dua tahun yang lalu. Malam ini sepertinya aku agak ceroboh,” aku mengakui dengan malu-malu.
“Hm, betul-betul mengerikan kalau itu terjadi padaku,” gumamnya dengan nada simpati. Siapapun yang melihat tampangku sekarang pasti akan mengasihani diriku.
“Tidak akan terjadi kalau kau menuruti pantangannya.” Aku mulai berani menyentuh kelopak mataku. Tapi belum berani membukanya. Kelihatannya beberapa menit lagi baru akan pulih.
“Dan bagaimana ceritanya kalian bisa bersama—bagaimana sampai sahabatku yang baik ini membawamu kemari?” Aku tak mengerti mengapa nada gelinya terpancar jelas dalam suaranya.
“Um, kami bertemu di pesta dansa Hudson Park,” jawabku gugup teringat acara dansa tadi—sebelum alergi sialan ini mengacaukan semuanya.
“Maksudmu kalian berdansa bersama?” Ia terdengar terkejut. “Wow, eh, harusnya tadi aku ikut dan menyaksikan itu ....”
“Lalu kenapa kau memilih tidak datang?” tanyaku.
“Sudah cukup, dia harus istirahat—dengar pesan Esther barusan?” tegur suara yang jauh lebih tenang tetapi tegas itu. Suara pahlawanku. Cowok yang berdansa denganku dan kemudian menyelamatkan hidupku: alergi adalah masalah serius jika tidak cepat-cepat ditangani. Aku bisa saja mati kalau cowok itu tidak cekatan membawaku. “Bukankah ada hal yang ingin kaubicarakan denganku?”
“Kita sudah membicarakannya, kok,” sahut cowok yang tadi bicara padaku. Sepertinya ia lebih tertarik berbicara denganku, mengorek-orek ceritaku.
“Kita belum selesai,” tukas cowok itu tegas. “Ayo, kita minum teh di luar—ayo, Chris.”
Oke. Jadi nama cowok satunya adalah Chris, aku menyimpulkan sebelum otakku mendadak berputar.
Chris? Hei, dia bilang Chris, kan?
Astaga ... mendadak aku menyadari sesuatu dan jantungku otomatis berdegup lebih cepat. Mengapa aku begitu terlambat menyadarinya? Chris yang barusan bicara denganku adalah Chris, Christopher Lucas. Ya, aku yakin dengan segenap jiwa dan ragaku—kalau boleh kupertaruhkan nyawaku untuk keyakinan itu. Aku mengenali suaranya. Aku pernah berbicara dengannya beberapa waktu lalu saat ia membantu membetulkan mobil Melissa, waktu itu ia mendadak aneh setelah menjabat tanganku ....
“Tunggu!” seruku ketika kudengar pintu berderit membuka. “Apakah kau ...” Aku memaksa kelopak mataku yang masih terasa berat membuka, “Chris Lucas?”
Samar-samar aku menatap cahaya kekuningan dari lampu tidur bergaya victoria di samping tempat tidur besar bertiang dan berkelambu yang sangat megah. Aku berkedip satu kali, kali ini langsung menatap ke arah dua sosok jangkung yang berdiri selurusan dengan tempat tidur. Tapi segalanya masih buram dan bergerak-gerak. Kucoba menyesuaikan mataku dengan cahaya kekuningan dan warna-warna kalem di sekitarku sebelum menatap dua sosok yang tak bergeming di depanku.
“Kau baik-baik saja, Sandy?” tanya sosok yang berambut merah keunguan—Chris Lucas mengerutkan dahinya padaku; tampak tampan, berkulit putih cemerlang, dan berwajah aristokrat.
Lalu, detik berikutnya aku menyadari kekhilafan terbesar yang pernah kuperbuat ketika menatap sosok di sebelahnya—beberapa senti lebih jangkung dan pucat. Victor Colter menatapku dengan ekspresi superiornya yang tak biasa; luar biasa tampan namun tetap memancarkan kesombongan dan kekejaman yang membuat marah, takut, dan takluk dalam waktu bersamaan—padahal mungkin ia tidak bermaksud begitu. Sekonyong-konyong aku merasa tubuhku menciut dan dadaku berhenti memompa oksigen ketika menyadari pakaian yang membalut tubuh sempurnanya; kemeja hitam, celana gelap, sepatu kulit mewah yang memantulkan cahaya kekuningan dari semua lampu di ruangan itu ... dan ... tuksedo berpotongan elegan yang tersampir di lengannya. Tuksedo itu. Oh, tidak, jadi cowok barusan itu ... cowok yang berdansa denganku, yang mempermainkan detak jantungku ketika aromanya terhirup olehku, yang kemudian dengan sigap membawaku ke sini ketika aku hampir saja mati—orang itu adalah Victor Colter.
Victor Colter: cowok jahat yang menghinaku di pesta Halloween. Sekarang menghampiriku, sedikit menggerakkan bibir untuk tersenyum padaku seolah kejadian waktu itu tak pernah terjadi ....
“Maaf aku melepas topengku sebelum kau memintanya, well, itu menyalahi aturan sebetulnya, tapi ...” Ia tidak meneruskan kata-katanya, gantinya matanya yang luar biasa indah dan berwarna abu-abu keperakan itu mengamati wajahku. “Kau sudah tampak jauh lebih baik. Sebentar lagi aku sudah bisa mengantarmu pulang,” ujarnya dengan sopan—begitu sopan hingga aku merasa nadanya menghinaku.
“Er, baiklah,” jawabku tolol. Dalam hati aku langsung sibuk memaki diri sendiri seperti leksikolog yang jadi sinting karena lupa satu kata dalam kamus. Harusnya aku bisa mengenali aksennya yang tidak biasa—perpaduan antara gaya Amerika elit dan aksen Inggris bawaan yang masih kentara itu ....
Sekitar tiga puluh menit kemudian, aku merasa ramuan Esther telah melakukan tugas yang luar biasa dalam menyembuhkanku. Victor membantuku turun menuju halaman depan rumah keluarga Lucas setelah aku berkata sudah siap untuk diantar pulang—aku mengatakannya dengan sangat canggung. Dengan luwes ia membukakan pintu mobil hitam mengilapnya untukku—bukan kendaraan biasa. Mobilnya adalah Lamborghini, salah satu dari mobil terkeren dan termahal di dunia saat ini, yang kukenali pernah dipamerkan sebuah majalah otomotif internasional di tumpukan majalah otomotif milik Oct. Lamborghini Victor terlihat sangat mencolok bagaikan bongkahan granit dibandingkan dengan Mercedes klasik putih milik Chris Lucas yang diparkir persis di sampingnya. Dan aku yakin Chris sendiri memilih mobil klasik karena ia memang menyukai yang klasik-klasik bukannya tak punya cukup uang untuk membeli sebuah Bugatti terbaru.
Aku menatap keluar jendela mobil Victor sambil mengagumi mansion keluarga Lucas yang tampak anggun, serbaputih, dengan lusinan pilar-pilar yang menyangga atap teras depannya yang terang benderang. Aku merasa seperti sedang bermimpi. Tapi mimpi tidak akan memberikan penderitaan yang terasa begitu nyata seperti alergi yang kualami tadi. Jadi, ini pastilah nyata.
Sambil mengusap-usap pipiku usai mengenyakkan diri di atas jok kulit empuk berwarna hitam itu, aku memerhatikan ketika Victor sedang berbicara dengan Chris di samping salah satu pilar putih yang paling menjorok ke luar—apa pun yang mereka bicarakan kelihatannya serius sekali—sebelum berjalan ke arah mobil dan kemudian duduk di kursi kemudinya tanpa melirikku.
Ia menarik sabuk keselamatannya. “Keselamatan yang utama.” Ia menyeringai singkat, lagi-lagi terkesan agak mengejek, lalu menarikkan dan memasangkan sabuk keselamatanku sebelum aku sempat menjangkaunya. Aroma tubuhnya masih seperti sesuatu yang sejuk dan murni. Setelah memutari kolam air mancur sebagai rute jalan keluar, Lamborghini Victor meninggalkan gerbang kediaman Chris Lucas, melewati pagar besi tempa hitam yang sangat tinggi dengan sepasang singa besi di kedua sisi gerbangnya. Pagarnya menutup otomatis begitu mobil keluar, pasti seseorang mengaturnya dengan sistem canggih tertentu.
Jalanan yang kami lalui selanjutnya luar biasa sepi. Barulah ketika aku teringat di mana aku sekarang, aku tahu kenapa tak satu pun mobil berpapasan dengan kami; kami berada di Kota Tua—kawasan suram yang terletak di sebelah utara Verotica. Daerah yang konon sangat angker, mistis, dan hanya dihuni keluarga-keluarga kuno—tiga di antaranya yang diketahui adalah keluarga Colter, Lucas, dan Goldfine. Mungkin memang hanya tiga itu, tak ada yang lain.
Ketika mobilnya—dengan kecepatan yang mengerikan sekaligus mengagumkan—menembus jalanan yang gelap gulita dan hanya mendapatkan penerangan dari lampu mobil, kami hanya berdiam diri satu sama lain. Suasana betul-betul hening. Aku merasa dengung mesin mobilnya yang terlampau halus dan mulus itu tidak menimbulkan bunyi yang sewajarnya untuk menyamarkan keheningan kami seperti yang kudapat dari Cadillac Restoin Alex. Bahkan untuk bernapas sekalipun, aku merasa canggung.
Akhirnya dengan segenap keberanian, aku memberanikan diri untuk membuka topik.
“Well,” aku bergumam aneh. Aku sempat ragu untuk berterima kasih, tapi kuputuskan untuk mengatakannya sekarang. “Terima kasih kau sudah berbaik hati menolongku ....”
“Sudah seharusnya aku melakukannya. Aku bisa dipenjara kalau pasangan dansaku mati di pesta tadi, kan?” ujarnya dengan datar.
Ugh, kasar sekali! Aku tak percaya jawaban itu yang kudengar setelah dengan tulus aku berterima kasih padanya. Mana gaya bicara sopannya barusan? Aku benar, ia berbicara begitu lembut sekadar hanya untuk mencemoohku.
Untuk sesaat aku memerhatikan kegelapan di luar jendela, berharap menemukan sesuatu untuk mengalihkan perhatian dari keharusan mengajak bicara Victor Colter, cowok sombong nan angkuh di sampingku. Tapi dari kaca jendela yang hitam pekat, aku menangkap pantulan ia sedang melirikku diam-diam. Akhirnya aku tidak tahan untuk balas meliriknya.
Amarahku muncul begitu saja ketika melihat tampang datarnya yang sok suci.
“Mengapa tadi kau memilihku untuk berdansa denganmu kalau tujuanmu hanya untuk mempermainkanku?” tanyaku dengan nada, kupikir, agak kasar setelah ia menyelamatkan nyawaku. “Kalau kau mau, kau bisa menarik gadis mana saja untuk berdansa denganmu. Aku yakin seratus persen gadis itu tidak akan menyulitkan dan menghancurkan acaramu.”
Ia tidak langsung menjawab, tapi menekan salah satu dari sekian banyak tombol rumit di bawah kanan kemudi. Kelihatannya mobil ini sudah dimodifikasi—atau memang secanggih mobil-mobil superhero dalam film Hollywood sejak ia membelinya. Mendadak suhu mobil terasa hangat (aku yakin karena ia menyalakan pemanasnya) lalu aku merasakan jokku bergerak; sandaranku mundur sedikit, dan sesuatu di bawah kaki joknya membuat kakiku terangkat beberapa senti dari semula. Ia membuat posisiku senyaman mungkin.
“Lebih nyaman?” ia bertanya, tidak menghiraukan pertanyaanku.
“Sedikit,” gerutuku. Berusaha tidak tampak terkesan dengan kecanggihan mobilnya. “Kau belum menjawab pertanyaanku,” aku mengingatkannya.
“Well, aku melihatmu sendirian,” akhirnya ia bergumam, “dan memakai bros mawar merah di dada kanan—kupikir kau belum punya pasangan.”
Mau tidak mau aku menunduk; bros mawarku masih menempel di dada kanan—tampak konyol dan memuakkan. Aku segera mencopot dan meletakkannya di atas dasbor.
“Sebetulnya sebelum kau menarikku, aku sudah berpasangan dengan orang lain,” aku berdusta.
Ia melirikku dengan sudut mata. “Dengan siapa kalau aku boleh tahu?”
“Luke Crowley.” Kenapa aku tidak bilang Jorge saja?
“Kalau begitu apa menurutmu aku harus datang untuk meminta maaf pada bekas pasanganmu karena telah merebutmu?” Ucapannya sama sekali tidak terdengar sungguh-sungguh.
“Tidak perlu, sebetulnya aku sendiri tidak ingin berdansa dengan Luke,” gumamku pelan, tak berani menatap wajahnya.
“Berarti aku sudah menyelamatkanmu dari keharusan yang tidak kau inginkan,” gumamnya tanpa emosi.
“Well, tadinya kupikir kau sangat tidak menyukaiku,” desahku, menyuarakan isi hati. “Kupikir kau sangat tidak ingin mengenalku, seperti aku ini penderita penyakit menular yang akan memberimu penyakit atau apa.”
Aku mendengar ia mendengus pelan. “Aku tidak tahu imajinasimu begitu luas.”
“Kau tahu betul yang kukatakan bukan berasal dari imajinasiku. Kau memandangku dengan pandangan semacam itu—asal kau tahu, aku ingat betul semua ekspresi dan kata yang kauucapkan padaku di pesta Halloween sialan itu.”
“Aku minta maaf tentang itu, aku sungguh tidak bermaksud berkata kasar padamu,” katanya dengan tulus.
Sebetulnya aku sudah memaafkannya sejak tahu ia yang menolongku barusan.
“Kalau boleh aku tahu, kenapa waktu itu kau sepertinya marah sekali padaku. Aku memerhatikan caramu menatapku ... kau sepertinya benci sekali padaku. Apa aku pernah melakukan kesalahan yang tidak kusadari padamu?”