Verotica's Secret

andra fedya
Chapter #16

15. RENCANA DI BALIK RENCANA

“APA kau makan sesuatu yang salah?” cetus Carey sambil menautkan alis di bus dalam perjalanan menuju sekolah esok harinya.

    “Er, tidak.” Aku buru-buru menyentuh pipi dan kelopak mataku—tidak bengkak. Tapi memang suhunya agak panas.

     “Oh, kau tak perlu sepanik itu. Kau masih tetap cantik. Aku cuma tak habis pikir karena sejak tadi aku memerhatikanmu, kau tampak asyik senyum-senyum sendiri. Apa ada seseorang yang membuatmu sangat bahagia?” tanya Carey ingin tahu.

    Pipiku merona mendengar pertanyaannya. “Tidak ada,” aku berdusta. “Mungkin karena aku sudah menyelesaikan seluruh makalahku dalam satu malam dan yakin guruku akan memujinya.” Aku meminjam jawaban Melissa tempo hari ketika kutanya mengapa ia tampak sangat cerah hari itu.

    Bus sekolah sudah memasuki pelataran sekolah dan berhenti sebelum areal parkir mobil siswa. Murid-murid turun dengan tertib. Setelah berpisah dengan Carey di depan taman, aku berjalan menuju kelasku sendirian.

    Pelajaran pertama bahasa Prancis, Mrs. Dale menyuruh kami membaca buku cetak dan menghafal sebuah dialog. Aku membuka buku karangan Nicodēme-ku tanpa benar-benar membacanya. Setelah waktu membaca habis, Mrs. Dale menyuruh anak-anak mengarang sebuah cerita masa kecil dalam bahasa Prancis. Aku mempelajari bahasa Prancis di sekolah privatku sejak kelas tiga SD, jadi seharusnya ini mudah.

    Ketika mengingat-ingat pengalaman masa kecilku, mendadak saja sebuah memori terbit di kepalaku—memori yang membawaku berkelana menembus waktu. Aku ingat sekali, Oct yang memang lebih tua empat tahun dari aku sering mengajakku bermain—kilasan-kilasan kenangan semasa kanak-kanak itu perlahan menyeruak di kepalaku. Kami bermain di padang rumput di belakang vila keluargaku di Lagrads, kota kecil di pinggir Lexington. Ketika itu orangtua kami asyik mengobrol, meminum teh impor yang dibawa orangtua Oct dari Inggris. Kala itu umurku enam tahun dan October Landford sepuluh.

    Aku menuntutnya supaya bermain pengantin-pengantinan. Aku mengumpulkan boneka-bonekaku di hamparan rumput yang penuh dengan bunga buttercups, menjajarkannya di atas tikar piknik milik ibuku. Boneka beruang cokelat sebagai saksi. Boneka yang lain sebagai tamu undangan pernikahan kami. Oct kerepotan mencari bunga, akhirnya ia menyihir sejumput rumput sehingga ujungnya berbunga—ia sudah pandai menyihir sejak kecil. Aku berjalan di samping kolam renang, persis di bawah pohon besar yang rindang namun tua sekali, menghampiri Oct kecil yang tampan. Tangan kananku mengapit boneka kucing, satunya sejumput rumput yang ujungnya berbunga. Oct menungguku di tikar, berdiri sambil memberengut—kurasa ia sebetulnya tidak ingin main pengantin-pengantinan denganku tetapi tak tega mematahkan hatiku. Ia memang suka mengalah sejak kecil.

     “Cassandra Anne Swolley, er, maukah kau menikah denganku, menjadi istriku, mh, kelak menjadi ibu untuk anak-anakku, dan selalu menemaniku dalam keadaan sehat maupun sakit?” tanyanya ragu-ragu. Matanya yang berwarna hijau zamrud menatapku. Alisnya bertautan, malu-malu.

    “Aku mau!” jawabku riang gembira. “Tentu saja aku mau punya anak-anak yang banyak sekali. Yang matanya hijau sepertimu!”

    Aku merasakan sengatan kepanikan yang luar biasa ketika kilasan memori masa kecil itu menghilang dari kepalaku. Akulah ... batinku panik, akulah yang memintanya untuk menikahiku. Akulah yang menuntut Oct supaya berjanji suatu hari nanti ia menikahiku ....

    Sekepul kabut baru dengan cepat menarik memori lain, menyusup menggantikan memori sebelumnya. Hatiku langsung mencelos dibuatnya; aku pernah menyatakan cinta kepadanya, ya, aku ingat setelah makan malam itu aku mengajaknya ke dapur. Kuberikan dia Chocopolagie terakhirku. Aku masih mengenakan rok mengembang biru yang kupakai di permainan nikah-nikahan sore harinya.

    October kecil tampak ragu-ragu saat menerima cokelat yang kuberikan. “Bukankah kau menyukai cokelat ini? Kenapa kau memberikannya padaku?”

    Aku mengangguk membenarkan dengan polos. “Itu untukmu! Aku lebih menyukaimu ketimbang cokelat itu, Oct. Aku menyukaimu ... sangat menyukaimu!”

    Serbuan perasaan bersalah segera menghantamku. Apakah Oct melakukannya, terpaksa menikahiku, karena ia merasa wajib menepati janji yang dibuatnya denganku? Janji semasa kecil kami. Aku sudah mengacaukan hidupnya.

    Aku mengangkat tangan ketika Mrs. Dale sedang mencatat sesuatu di mejanya. Setelah mendapat izinnya, aku langsung membereskan buku-bukuku dan memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Aku beruntung Mrs. Dale percaya keluhan tentang alergiku—kubilang padanya tiba-tiba aku merasa dadaku agak sesak dan tenggorokanku terasa menyempit. Aku lega, bukannya menyuruhku pergi ke UKS, ia menyuruhku segera berobat ke klinik terdekat karena khawatir alergiku akan bertambah parah kalau tidak segera ditangani dengan serius. Itu amat mempermudah segalanya.

    Dengan surat izin tambahan dari Mrs. Dale, Lee bermurah hati menawarkan diri untuk mengantarku ke klinik, tapi di tempat parkir aku memberitahunya kalau aku berbohong tentang alerginya dan memang berniat untuk membolos pelajaran. Lee tetap mengantarku sampai dengan Crookedwands dengan motor besarnya. Aku segera mengucapkan terima kasih dan turun, berakting buru-buru supaya ia tidak bertanya macam-macam. Aku tidak menyiapkan satu kebohongan tambahan.

    Di persimpangan jalan, aku bertanya pada seorang pria jangkung berkulit merah di mana aku bisa menemukan telepon umum. Ia memberitahuku kantor pos menyediakan jasa telepon. Aku langsung berlari menuju kantor pos yang ditunjukkan pria tadi, mengungkapkan keinginanku kepada salah satu karyawanya. Ia mengantarku menuju tempat duduk yang tersedia telepon hitam. Penjaganya adalah seorang pria tua dengan jenggot panjang berwarna abu-abu, pria itu menatapku sebelum memencet tombol di samping teleponnya. Aku menekan nomer ponsel Oct dengan terburu-buru.

    Tak lama kemudian terdengar suara nada sambung di telingaku. Perutku seperti diobrak-abrik saking gugupnya.

    “Halo,” sahut suara di seberang telepon. Itu suara Oct, aku langsung mengenalinya.

    Gelembung-gelembung kesedihan mendadak membengkak di dadaku. Semakin membesar dan menekan apa pun di dalam perutku. Mataku mulai berlinang air mata; suaranya meluruhkan semua kenangan lamaku yang selama ini tersimpan rapi di relung-relung hatiku, yang kupikir telah kucampakkan di perjalanan menuju ke sini.

    “Halo, Oct, ini aku, Sandy,” ujarku, napasku tertahan.

     “Sandy? Betulkah ini kau?” Sepertinya ia sangat terkejut sampai-sampai suaranya tercekat. Tentu saja ia terkejut, hubungan terakhir kami cukup buruk. Dan sekarang aku meneleponnya setelah menghilang cukup lama.

    “Benar, Oct, ini aku,” kataku menahan semburan emosi di dalam dadaku. Napasku agak terengah-engah karena mencegah tangis pecah. “Oct, dengar, aku mau mengatakan sesuatu padamu.”

    “Eh—oke. Apa pun itu aku akan mendengarkan,” ucapnya sigap.

    “Oct, apa kau ingat waktu aku berumur enam tahun dan kau sepuluh, aku pernah memaksamu bermain pengantin-pengantinan denganku—kau jadi calon suaminya?”

    Ia mengingat sejenak.

    “Mh, yeah, aku ingat,” jawabnya kemudian.

    “Kau juga ingat waktu itu aku bilang apa?”

    “Mh-mh—”

    “Aku bilang padamu suatu saat nanti kau harus menikahiku—memiliki anak yang banyak dan bermata hijau sepertimu.”

    Ia mendesah. “Kau meneleponku cuma mau mengenang kembali masa kanak-kanak kita?” Ia mulai curiga.

    “Dengarkan aku, aku belum selesai,” protesku. “Bukan itu tujuan utamaku meneleponmu, tapi itu penting sekali. Jadi aku mohon kau dengarkan aku saja dulu.”

    “Baiklah.”

    “Setelah itu, apa kau masih ingat waktu aku menyeretmu ke dapur dan memberimu Chocopolagie-ku?” lanjutku.

    “Itu cokelat kesukaanmu,” ujarnya. “Kau memberiku jatah terakhirmu untuk bulan itu. Aku tidak mungkin lupa.”

    “Tidak, itu benar-benar Chocopolagie terakhirku sebab setelahnya ibuku melarang aku makan cokelat lagi,” ralatku.

    “Oh, ya?” Ia terdengar bingung.

    “Oct, aku minta maaf, aku betul-betul bersalah kepadamu. Aku meminta kau berjanji ... janji yang dengan susah payah kau tepati karena kau tidak ingin mengingkarinya. Aku tahu kau tidak pernah berniat mengecewakanku—sejak dulu kau selalu baik padaku. Tapi, Oct, kau tidak perlu melakukannya untukku. Kau tidak perlu menerima rencana mereka karena kau sudah terikat janji denganku. Janji semasa kecil kita. Ini konyol, Oct. Kau harus mencari kebahagiaanmu sendiri,” aku mengatakan itu semua dengan sangat cepat. “Saat aku memberimu Chocopolagie-ku dan mengatakan aku menyayangimu, aku bersungguh-sungguh. Hanya saja ... perasaanku padamu sekarang“—kutegaskan kata “sekarang”nya—“aku mencintaimu sebagai seorang sahabat—lebih dari itu, aku menganggapmu sebagai kakak lelakiku sendiri. Sekarang kau paham, kan? Aku membebaskanmu dari janji itu. Kau tidak harus menikahiku.”

    “Sandy kau salah paham,” ujarnya langsung begitu aku selesai bicara. “Aku setuju untuk menikahimu bukan karena kau memintanya di taman waktu itu—itu konyol sekali. Ada alasan lain yang belum kaupahami. Tapi perlu kutegaskan, ini semua bukan karena kau memintanya—dan aku berusaha mengabulkannya dengan susah payah.” Ia tenang ketika menjelaskan itu semua. “Sandy aku tahu persis bagaimana perasaanmu padaku. Bahkan tanpa kau mengatakannya, aku tahu hanya dari melihat ekspresimu. Kita lebih dari saling mengenal. Aku mengenalimu luar dan dalam.”

Lihat selengkapnya