MAKAN sekitar lima puluh menit untuk tiba di kota sebelah, Malton. Sementara Tipplepot, tempat yang kami tuju, adalah bagian di sebelah timurnya. Aku masih belum tahu apakah kami sudah tiba di Tipplepot atau belum, sampai Victor memberitahuku.
Sebetulnya Tipplepot tidak berbeda jauh dengan Verotica, hanya sedikit lebih padat, lebih banyak bangunan modern, mobil-mobil bagus, papan reklame yang terang benderang karena lampu sorot, dan penduduk yang mengenakan pakaian sesuai zaman—paling tidak, tidak ada yang memakai jubah dan topi aneh dan berkeliaran di kota dengan anjing St. Bernard yang dimanteli.
Akhirnya kami sampai di restoran yang dimaksud. Victor memarkirkan Volkswagen Beetle-nya di depan sebuah bangunan dua tingkat berdinding batu bata merah yang setiap jendelanya dipayungi kanopi hijau tua garis-garis putih. Ia turun untuk membukakan pintu mobil untukku ketika aku sibuk melepas sabuk pengamanku yang keras. Kutinggalkan tas selempang dekilku di jok yang kududuki.
Di dalam restoran penuh dengan cahaya kekuningan. Meskipun ini masih siang hari, tapi banyak sekali lilin yang dinyalakan dan menghias setiap mejanya. Seorang pelayan berpakaian resmi berwarna putih dengan senyum runcing di bawah kumisnya memilihkan meja untuk kami berdua. Ia mengantar kami pada meja paling pojok yang dindingnya dipenuhi berbagai lukisan warna hitam-putih dan bernuansa kemerahan. Victor menarikkan kursi untukku—sengaja berpaling ketika aku hendak berterima kasih—kemudian menarik kursinya sendiri. Gerak-geriknya begitu tertib, tangannya terkepal, tanda orang yang menutup diri.
Aku mengamati bunga mawar merah dalam gelas langsing yang terisi cairan kuning yang menata meja kami. Alangkah cantiknya kelopak-kelopak itu, menguncup, enggan memamerkan dirinya yang telanjang. Sebatang lilin berwarna vanila yang kuncupnya berwarna emas mulai menari-nari sejak kami duduk, tertampar napas dan intensitas. Victor duduk anggun di hadapanku, laksana malaikat meskipun dengan busana berduka. Segalanya terasa tidak nyata; aku takut ia berubah menjadi asap pekat yang perlahan menghilang bersama udara.
Mengendalikan detak jantung, kubuka buku menunya dan membaca daftar makanannya. Setelah kubaca sekilas-sekilas, aku memberitahu Victor apa yang mau kumakan. Victor lalu menyebutkan semua pesanan kami pada pelayannya yang dengan profesional mencatat ucapannya dengan saksama.
“Dan mungkin segelas anggur Bordeaux yang paling ringan,” tambahnya, menyunggingkan senyum segaris pada pelayan bernama Antonie yang langsung mengangguk paham.
Antonie mengangguk hormat lagi pada Victor sebelum meninggalkan kami.
“Kau sering kemari?” tanyaku membuka pembicaraan. Sepanjang perjalanan tadi kami tidak terlalu banyak bicara. Ia sering tampak fokus merenungi jalanan yang kami lalui setelah mengajukan pertanyaan atau mengomentari pendapatku mengenai beberapa hal, sementara aku sibuk mengendalikan diri supaya tidak terlalu kentara ketika meliriknya.
“Kadang-kadang. Tak banyak tempat yang bisa dikunjungi di Verotica,” akunya.
“Menurutku beberapa restoran di Verotica cukup lumayan. Orangtua Sharpinne Sparks membuka restoran kecil di Wiggywamp,” ujarku. “Makanan di sana cukup lezat.”
Ia sedikit mengangkat alis. “Oh, ya?”
Aku mengangguk. “Mrs dan Mr. Sparks sendiri yang melayani.”
“Aku terkejut dengan mudahnya kau menyesuaikan diri. Kau bahkan lebih tahu dari aku ada restoran yang enak di Wiggywamp,” pujinya.
Aku menggeleng. “Aku hanya beruntung karena punya Alex,” desahku sambil menarik napas. Segelintir puing kesedihan berputar di dadaku—tapi aku buru-buru mengatasinya dengan menambahkan, “Dia guide yang baik sekali,” dengan nada yang jauh lebih ceria.
“Aku mendengar kabar bahwa Brower pergi ke Virginia,” ujarnya, tidak mendeteksi suaraku yang sempat berubah.
“Yeah, dia ikut seleksi basket untuk salah satu klub di sana,” ujarku, berusaha terlihat rileks sambil menghindari menatap matanya. Entah mengapa aku selalu merasa sedang di-X-ray setiap kali ia menatapku, seolah-olah ia tahu persis apa yang sedang kupikirkan—kebohongan dan perasaanku.
“Ia kapten basket yang bisa diandalkan, kemampuan olah bolanya pun terbilang sangat baik,” pujinya, terdengar cukup tulus.
Tiba-tiba bagaikan ada setruman di kepalaku, otakku berdenyut menyadari sesuatu. “Boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi matanya menungguku.
“Apakah kau pernah memiliki masalah dengan Alex—maksudku dengan Alex dan teman-temannya? Apa kalian pernah terlibat pertengkaran?” Alex terlihat sangat membenci Victor dan teman-temannya—terutama Victor, tentu saja. Sampai sekarang aku tak pernah benar-benar mendapatkan alasan mengapa ia memiliki perasaan itu. Kebencian yang tak masuk akal dan bukan sekadar iri hati.
Aku melihat sepercik kilat samar di dalam mata kelabunya—tapi itu mungkin tipuan cahaya atau apa. Ia tersenyum tak terbaca—sebetulnya banyak ekspresi wajahnya yang belum sanggup kuidentifikasi—sebelum menjawab pertanyaanku. “Maksudmu Brower dan teman-temannya mengatakan bahwa mereka membenci kami?”
“Aku tidak bilang kalau mereka membenci kalian. Aku cuma mau tahu kenapa sikap mereka begitu defensif.” Defensif adalah kata yang aman untuk mengungkapkan situasinya, pikirku. “Oke, sebetulnya ini tentang Alex,” aku memperjelas setelah melihat mimik wajahnya yang meragukan kata jamak yang balas kugunakan.
“Mengapa kau penasaran tentang itu? Banyak orang yang bersikap antipati pada orang lain, dan itu bukanlah persoalan besar di dunia ini,” ujarnya sama sekali tidak tampak terganggu dengan ucapanku.
“Itu persoalan. Kau tidak berbuat sesuatu yang salah dan tidak sepantasnya ada orang yang membencimu.” Sial, aku keceplosan. “Aduh.”
Ia menyeringai puas. “Rupanya Brower memang membenciku.”
“Bukan itu maksudku,” tukasku lemah. Aku menghela napas. “Aku berani bersumpah, ia tidak pernah berniat jahat padamu. Ia hanya ...” Aku bingung mencari kata yang tepat. “Tidak tahu apa pun.”
“Kau tidak perlu mencari pembelaan apa pun untuk itu, sejujurnya aku menyukainya; kebencian, kefrustasian, iri hati adalah perasaan yang bergelora,” katanya, terdengar lebih puas.
Aku mengerutkan kening. “Kau orang pertama yang kukenal yang senang mengetahui bahwa ada orang lain yang membencimu.”
“Aku sudah melihat perasaan yang lebih buruk dari sekadar kebencian; banyak yang jauh lebih mengerikan,” gumamnya. “Kebencian hanyalah sedikit energi negatif yang tidak tersalurkan.”
“Kau aneh—dan rumit,” aku berkomentar.
“Terima kasih,” gumamnya, sedikit tersenyum.
“Ceritakan sesuatu tentangmu,” desahku.
Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke depan. “Kau betul-betul mau tahu sesuatu?” bisiknya, sudut bibir atas kirinya berkedut.
“Ya, aku mau,” jawabku sungguh-sungguh.
“Aku tidak terlalu yakin,” gumamnya penuh pertimbangan, wajahnya kembali menjauh. “Masalahnya aku sangat khawatir kau akan bermimpi buruk setelahnya.” Nadanya ganti mencemooh.
“Aku tidak takut dengan mimpi.”
Mendadak ia menyeringaikan deretan gigi bagian kirinya—ada percikan perak di bola matanya. “Jangan menyangkalnya. Kau tahu apa maksudku.”
Sekonyong-konyong kurasakan bahuku bergidik. Aku merasakan tatapan dan senyumnya mengancamku. Aku sendiri memang pernah bermimpi buruk tentang Victor. Aku ingat sedikit kilasan-kilasannya mimpi buruk itu, tapi terlalu takut untuk mengingat detailnya.
“Belum apa-apa kau sudah takut,” katanya, membuyarkan lamunanku. Matanya sudah tidak berpendar-pendar lagi. Ia tampak senang dan rileks.
“Kata siapa aku takut?” Suaraku bergetar.
Ia tersenyum. “Bagaimana kalau kita ganti topiknya?” Ia tahu aku ketakutan.
Aku tidak mau topiknya diganti, tapi aku tak punya pilihan—setidaknya untuk sekarang. “Aku lebih setuju kita menunda topiknya.” Kutekankan kata “menunda”nya.
Ia memutar setengah bola matanya. “Bagaiamana kau bisa terdampar di kota ini?” Jadi sekarang ia membalikkan keadaannya ....
“Entahlah, tadinya aku bermaksud kembali ke Venus tapi kemudian aku tersesat ke planet ini; makanya rambutku seterang ini, seperti warna planet asalku jika dilihat dari planetmu,” ocehku, tapi berusaha terlihat sungguh-sungguh.
Saat itulah Antonie mengantarkan pesanan kami. Setelah ia pergi barulah Victor mengomentari jawabanku.
“Tak heran kau sangat ajaib, kau bukan berasal dari planet bumi,” komentarnya.
Aku lalu memerhatikan ketika ia memotong steik-nya. Sangat anggun dan teratur. Aku tak mungkin dapat melakukan gerakan sesempurna itu tanpa berlatih seumur hidup, batinku.
“Dan apa alasan kau meninggalkan New York? Tidak relavan rasanya membandingkan kota megapolitan dengan kota tidak dikenal ini,” sambungnya. Aku tahu akhirnya kami akan sampai ke pertanyaan itu.
Aku terdiam sejenak seraya berpikir.
“Well, ibu dan ayahku ...” Tadinya aku mau menuturkan skenario karangan Alex tentang alasan bisnis orangtuaku di Los Angeles, dan karena aku mau tetap tinggal di negara bagian yang “sejuk”, aku memutuskan menumpang sementara di rumah Samantha Brower, sahabat karibku—seperti yang biasa kuutarakan jika ada yang bertanya. Tapi aku malah mengatakan, “Sebetulnya aku kabur dari rumah—keluarga Brower berbaik hati menampungku.”
Victor tidak tersedak makanan seperti harapanku ketika mendengar ucapanku. Gantinya ia memandangiku lama sekali dengan roman wajah berusaha menebak perasaanku.
“Kau pasti memiliki pertimbangan tertentu melakukannya,” ujarnya akhirnya.
“Tentu saja,” aku membenarkan. Kupotong steik-ku sebesar mungkin dan memasukannya ke dalam mulut untuk menyibukkan diri; supaya Victor tidak bertanya macam-macam lagi.
“Apa orangtuamu memaksamu melakukan hal yang tidak kauinginkan?” tanyanya dengan penuh makna beberapa waktu kemudian. Rupanya ia menunggu aku menelan steik-ku dulu.
Entah mengapa tiba-tiba aku mau bercerita—mungkin karena ekspresinya yang tidak terlihat mengasihani itu membuatku nyaman. Kuteguk air putih sebelum memulai. Aku menceritakan semuanya kepadanya. Kukatakan sejujurnya, meskipun mengedit beberapa hal yang berkaitan dengan dunia sihirnya.
“Dan karena kau tidak menemukan titik temu atas masalahmu akhirnya kau memutuskan untuk pergi,” ia menyimpulkan.
Aku mengangguk. “Aku marah sekali pada orangtuaku—Oct dan keadaan yang membuat itu semua terjadi. Aku tidak memikirkan hal lain yang lebih baik dari meninggalkan mereka dan memulai hidup baru di tempat lain.”
“Jadi tadi itu kau pergi untuk menghubunginya, October?”
Aku tersentak. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku tidak tahu. Cuma menebak.”
“Yeah, aku perlu bicara dengannya. Hal yang benar-benar penting.”
“Pasti sangat penting, barusan itu kau seperti kebakaran jenggot.”
Aku juga menceritakan tentang tugas Mrs. Dale tadi—dan dugaan yang melesak karena mengingat janji yang kuminta dari Oct dulu. Aku tak tahan untuk tidak tertawa mendengus menertawakan ketololan kami waktu masih kecil.
“Tapi ternyata aku keliru. Tapi toh, itu tidak terlalu penting lagi. Ia sudah berjanji mau melepasku asalkan ...” aku mengentikan kalimatku, ragu meneruskan ucapanku.
Victor masih menunggu aku melanjutkan kata-kataku yang terpotong.
Aku menelan ludah. “Asalkan ada seseorang yang mampu menahanku untuk tetap tinggal di Verotica. Seseorang yang kucintai—dan mencintaiku.” Kalau aku seberuntung itu, kutambahkan dalam hati.
Kami lalu bertatap-tatapan cukup lama sebelum ia menghindari tatapanku duluan.
Dalam suasanan yang rumit, kami melanjutkan makan dalam tenang. Antonie datang untuk menuangkan anggur dalam gelas kristal untuk Victor beberapa saat kemudian. Victor menghirup anggurnya dengan anggun seperti cara pangeran mencicipi minumannya. Aku menelan ludah ketika memerhatikan minuman itu berpindah melewati bibirnya.
Antonie kemudian memberikan hidangan penutup setelah melihat aku menghabiskan makananku. Ia cekatan dan profesional sekali. Namun agak membuat risi karena dari tempatnya di pojok ruangan, ia terus memerhatikan kami. Siap memberikan pelayanan terbaik.
“Kau selalu kemari dengan teman-temanmu?” ujarku sambil menyuap es krim stroberiku. Menikmati setiap kesejukan yang perlahan-lahan berpindah dari lidah ke tenggorokanku.
“Percayalah mereka senang membuntutiku kemana pun aku pergi.” Victor meneguk anggurnya sampai habis. “Tapi ada kalanya aku pandai meloloskan diri.”
“Bodoh tidak kalau aku berpikir Chris adalah tangan kananmu dan Oliver adalah tangan kirimu—semacam setan dan malaikat di pundak manusia, memberikan keseimbangan?”
“Kenyataannya memang seperti itu.” Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Aku tidak tahu Victor betul-betul suka bergurau. “Sejak kapan kalian selalu bersama seperti sekarang? Aku selalu melihat kalian bertiga bersama-sama hampir sepanjang waktu.”
Ia mengangkat bahu. “Entahlah, mungkin sejak aku dirasa memerlukan orang lain. Maksudku, sahabat. Kami bersahabat sejak kecil,” ia segera meralat ucapannya.
“Ceritakan juga mengapa kau memilih Verotica? Apa kau juga lari dari rumah?”