Verotica's Secret

andra fedya
Chapter #18

17. BERLARI DAN MENGEJAR

ESOKNYA, sesudah berpamitan pada Eve dan Sam—aku beralasan berangkat lebih pagi karena harus berkumpul dengan teman-teman Klub Sinematografi—aku berjalan cepat menuju Pussnavel. Kata Sam, aku bisa mendapatkan taksi kalau aku menyeberang di persimpangan jalan antara Pussnavel dan distrik sebelas, di sana banyak orang yang bekerja di Malton dan harus pergi naik taksi kalau tidak ingin terlambat.

    Matahari belum muncul sepenuhnya ketika aku memasuki areal sekolahku, tapi burung-burung kecil yang hinggap di dahan-dahan pohon dan gerbang sudah saling berkicauan menyambut pagi hari. Aku menghela napas untuk menenangkan diri. Jika aku punya bukti, ia tak lagi dapat menghindar. Hari ini ia akan mengatakan kebenarannya padaku dengan mulutnya sendiri.

    Di dalam taksi barusan, aku sudah menyusun apa yang akan kulakukan begitu aku sampai di sekolah, jadi setelah melihat lapangan parkir yang masih kosong itu, aku otomatis berjalan menuju gedung enam dan duduk di atas tangga, persis di samping taman kecil dengan semak-semak tinggi yang belum dipangkas. Dari sini aku bisa melihat gerbang dengan jelas. Aku terkesiap ketika melihat mobil pertama memasuki pelataran sekolah, dan langsung lega saat itu juga—itu mobil Ford tua milik Mr. Peterfellie. Ia parkir di tempat parkir khusus guru dan karyawan. Aku kembali mengatur napas. Victor Colter dan teman-temannya selalu datang lebih awal dari semua murid di SMA Verotica—alasan kenapa aku sengaja datang lebih pagi dari semua orang.

    Setelah lima mobil lainnya datang, akhirnya aku melihat Mercedes klasik Chris memasuki pelataran sekolah—tentu saja—dengan cara normal seperti mobil-mobil yang lain; melewati gerbang sekolah, melaju lebih pelan setelahnya, lalu berhenti di areal parkir murid. Aku segera bersembunyi di balik semak-semak dari celah-celah tumbuhan yang saling mengait sambil mengamati mereka keluar dari mobil. Satu per satu, nyaris bersamaan, mereka keluar dari dalam mobil. Victor seperti biasa tampak rupawan dan tak bercela, berjalan teratur seperti khasnya—seolah-olah berjinjit padahal tidak. Aku buru-buru membungkuk ketika Oliver Goldfine memandang tajam ke arahku, membuatku membeku di tempat untuk sedetik sebelum menyadari ia tak mungkin melihatku bersembunyi di sini; semak-semak yang menyembunyikanku sangat rimbun, dan aku tak bergerak sama sekali sejak kemunculan mereka. Kecuali Oliver bisa melihat tembus pandang barulah ia bisa melihatku, pikirku. Anehnya aku merasa takut sendiri ketika memikirkan kemungkinan itu.

    Setelah yakin mereka sudah menghilang ke gedung lima, aku segera melompat dari dalam semak-semak dan berjalan mengendap-endap menuju pintu yang barusan mereka lewati. Mungkin hari ini mereka sedang memilih pergi ke sekolah dengan cara yang manusiawi, dugaku.

    Samar-samar aku melihat beberapa bayangan hitam di depanku—aku segera bersembunyi di pilar terdekat. Oliver yang menaiki tangga belakangan, sempat berhenti untuk menoleh sebelum kembali menaiki tangganya, membuatku panik setengah mati. Kalau harus memilih dipergoki, Oliver adalah harapan terakhirku. Entahlah, tapi aku memiliki perasaan tak menyenangkan yang kuat padanya sejak pertama kali melihatnya. Padahal, kami belum pernah berinteraksi. Kupikir jika reinkarnasi itu memang ada, sebelumnya Oliver pernah terlahir ke dunia sebagai orang yang sangat kejam.

    “Sandy!” Aku membeku seketika itu juga saat mendengar seseorang memekik memanggilku. Hampir bersamaan dengan itu aku mendengar bunyi jendela ditutup dan pintu ruang di sebelahku terbuka—Melissa menjulurkan kepalanya dari celah pintu yang membuka itu. “Ha, kena! Sedang ngapain kau?”

    “Sttt!” Aku segera menghambur dan membekap mulut Melissa, menariknya masuk ke dalam ruangan di belakangnya. Aku menekan bibirnya. “Jangan mengeluarkan suara apa pun, mengerti?”

    Ia mengangguk. Matanya membeliak ngeri.

    “Oke.” Aku segera melepas bekapan tanganku dari mulutnya.

    Melissa langsung megap-megap mencari oksigen. “Sial! Oh, Sandy, kau ini gila apa?” pekiknya tertahan, ia kemudian mundur selangkah sambil melotot menatapku. “Mengapa kau menutup mulutku?”

    “Sori, Mel,” ucapku pendek. Aku buru-buru mengintip jendela untuk melihat keadaan kalau-kalau suara Melissa barusan itu menarik perhatian. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi mereka semua sudah pergi.

    “Ngapain kau membuntuti Victor Colter dan teman-temannya? Barusan aku melihatmu mengendap-endap dan bersembunyi di pilar itu sesudah mereka bertiga naik tangga,” tuntut Melissa ingin tahu.

    “Aku tidak membuntuti mereka,” sergahku. “Aku cuma ... um, barusan aku melihat Mr. Peterfellie lewat! Aku tidak ingin suaramu menarik perhatiannya sebab kau tahulah ....”

    “Ya ampun, kau masih belum menyerahkan surat-surat identitas untuk peminjaman buku-buku itu, ya?”

    “Begitulah.” Aku mengangguk berusaha terlihat bersalah.

    “Kau ini pelupa amat, sih! Lain kali aku akan menelepon untuk mengingatkanmu.” Melissa kemudian melompat ke atas meja. “Aku belum pernah melihatmu tiba di sekolah sepagi ini. Apa ada yang mau kaulakukan?” tanyanya.

    Aku mendadak mendapatkan seberkas ide. “Well, sebetulnya aku memang sengaja ingin bertemu denganmu. Aku ingin memastikan satu hal,” kataku, teringat tujuanku yang lain berangkat ke sekolah hari ini. “Aku dapat informasi bahwa mereka—ada kemungkinan kau ada di dalamnya juga—merencanakan sesuatu di belakangku. Bahwa sesuatu itu mungkin menyangkut kepentinganku. Apa itu betul?”

    Melissa mengedip tiga kali mendengar ucapanku sebelum pandangannya fokus kembali. “Aku kan, sudah bilang padamu aku tidak tahu menahu,” ujarnya sambil membuang muka. “Memangnya siapa sih, yang bilang begitu padamu?”

    “Siapa yang bilang itu tidak penting,” tukasku. “Yang terpenting adalah kebenarannya. Aku cuma mau tahu apakah kau tahu sesuatu sebab aku tidak akan pernah memaafkanku jika ternyata kau adalah salah satu dari mereka.”

    Melissa menggigit bibir bawahnya dengan gerogi.

    “Mel,” desahku. “Katakan padaku, ada apa sebenarnya?”

    “Aku ... aku tidak ... sebetulnya aku tahu sesuatu, tapi ... aku minta maaf sekali, Sandy, aku tidak bisa memberitahumu sekarang,” Melissa akhirnya mengaku.

    “Mengapa tidak?”

    “Karena sebentar lagi kau juga akan tahu. Emma sendiri yang hari ini akan memberitahumu.”

    Emma? Berarti memang berkaitan dengan hal buruk.

    Detik itu juga aku langsung memasrahkan diri. Mereka mungkin sudah mengetahui kebohongan tentang piagam itu dan memutuskan untuk mengeluarkanku dari klub. Tentu saja aku harus menerima keputusan itu dengan lapang dada. Itu memang kesalahanku. Bagaimanapun juga kebohongan memang pasti terbongkar. Tapi bukan itu yang betul-betul aku cemaskan. Sama sekali bukan.

Di dalam kelas pertama, aku menghela napas dalam-dalam ketika duduk di bangkuku—rencanaku hari ini betul-betul tidak berjalan dengan mulus. Seharusnya aku sudah berhasil menemukan setidaknya satu fenomena ganjil yang bisa menguatkan dugaanku. Secuil pembuktian yang bisa menutup rangkaian puzzle yang bolong. Kalau saja tadi Melissa tidak memanggilku, aku mungkin sedang melihat Victor atau salah satu temannya meletupkan api atau apa ....

    Pada jam pergantian kelas selanjutnya, aku tidak sengaja bertemu dengan Luke di koridor gedung empat. Kelas yang kami tuju sama, jadi meskipun tanpa persetujuan kami berjalan bersama. Ketika kami menyusuri selasar di gedung empat, aku terkejut karena melihat Victor sedang berdiri Chris dan Oliver di depan pintu laboratorium. Ia melihatku tapi dari ekspresinya sepertinya ia tidak ingin aku mendekat. Aku berusaha bersikap setenang biasanya ketika melewatinya. Begitu berbelok, aku menyuruh Luke masuk ke kelas duluan. Aku lega Luke tidak ambil pusing. Setelah melihat Luke menaiki tangga di ujung koridor, aku memantapkan diri kembali ke koridor tadi.

    Aku berusaha menahan diri ketika tidak melihat Victor di tempat tadi. Sembunyi-sembunyi, aku mengintip ke ruang laboratorium melalui kaca jendela paling pojok yang tirainya tidak ditutup. Kelas belum dimulai, tapi baik Victor ataupun teman-temannya tidak ada di manapun. Secepat itukah mereka menghilang? Bukankah barusan Chris memakai jas laboratorium tanda mereka memang akan mengikuti kelas di dalam lab? Aku mengamati ruang lab sekali lagi dengan lebih teliti, memastikan tidak ada yang kulewatkan. Tapi mereka memang tidak ada di sana.

Seusai jam kelas selanjutnya yang kulalui dengan pikiran hampa, aku mendapati Hannah sudah menungguku di luar kelas. Melihat ekspresinya, seharusnya tidak ada yang perlu kucemaskan; senyumnya tersungging dengan lebar dan sepertinya ia sama sekali tidak atau akan marah. Hanya saja aku merasakan firasat buruk waktu ia meminta maaf begitu aku mendekat.

    “Maaf untuk apa?” Kontan aku memicing curiga padanya.

    Senyum Hannah otomatis memudar. Ia menggeleng suram sebagai respons atas kecurigaanku. Aku sengaja berjalan lebih lambat dari seharusnya ketika hampir sampai di sekretariat klub. Sebelum mendorong pintunya, Hannah menarik sikuku.

    “Sandy, dengar,” katanya dengan serius. “Tolong, untuk kali ini saja kau harus ... masalahnya kau tidak boleh tidak setuju, sebab kau harus ...”

    “Cukup.” Aku membalikkan badan langsung mendorong pintu. Pintu menjeblak terbuka dengan dramatis—bukan rencana, tapi aku tidak menyesal melakukannya. Dengan defensif aku langsung melipat tangan di dada ketika Melissa menghampiriku.

    “Duduklah, Sands,” usul Melissa dengan gaya pawang menghadapi singa buas yang siap mengamuk.

    “Aku sedang tidak ingin duduk,” kataku dingin.

    “Baiklah,” ujar Melissa mengalah. “Emma yang akan menjelaskan semuanya padamu sekarang.”

    Tanpa basa-basi Emma memungut setumpuk kertas yang bagian ujung kirinya diberi penjepit kertas dan mengulurkannya padaku. “Baca ini, kau akan tahu.”

    Aku segera mengambilnya dan membaca judulnya—naskah film yang akan kita buat. Jantungku seperti mau copot ketika mataku menangkap sebaris kalimat—di sanalah muncul namaku dengan jelas: Sandy Swolley sebagai Helena Waite.

    “Yep, kau akan menjadi pemeran utamanya,” ujar Emma tanpa perasaan, menegaskan apa yang tertulis di kertas itu.

    “Tapi aku tidak pernah menyetujuinya,” protesku meletakkan kertas-kertas itu ke atas rak besi dengan asal dan marah.

    “Sandy, kami sungguh minta maaf, mungkin selama ini sikap kami terkesan menjauhimu, tapi percayalah kami tidak bermaksud melakukannya sama sekali. Kami sengaja ingin membereskan semuanya tanpamu karena Emma sudah memberimu tugas yang kupikir paling berat,” jelas Melissa dengan nada menenangkan. “Kami mau kau tahu beres saja karena kau ini aktrisnya.”

     “Aku yakin kau bisa melakukannya. Kau hanya tinggal melakukan apa yang ditulis di naskahnya,” sambung Hannah dengan mimik memohon.

    “Yeah,” Melissa membetulkan dengan nada lebih rendah. “Kau tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun nantinya karena perlombaan yang kita ikuti adalah festival film bisu.“

    “Tunggu, film apa kaubilang?” Otakku memproses lebih cepat.

    “Well, yeah, film bisu, kau tahu, kan?”ulang Melissa

    “Er ... Charlie Chaplin?” cetusku ragu-ragu. Mereka tidak mungkin meminta aku melawak, kan?

    “Aku tahu ini mungkin kedengaran sama sekali tidak keren untukmu. Di New York kau memenangkan festival film besar, tapi di sini kau hanya akan memerankan tokoh lokal di festival film bisu, tapi ... yah, selama ini kita bahkan belum memenangkan penghargaan apa pun,” keluh Melissa.

    “Film bisu itu sebetulnya keren kok,” Caitlin berusaha meyakinkan aku. “Penonton hanya akan menangkap alur ceritanya melalui gerakan tubuh para pemain sehingga pada proses pembuatannya konsep kita harus sangat jelas. Kau pasti pernah mendengar film bisu terkenal tahun 1915 besutan D.W. Griffith, The Birth of a Nations?”

    “The—apa?”

    “No way,” erang Caitlin, sepertinya terluka dengan jawabanku.

    “Barusan kau menyebut tentang Chaplin, bukan? Kalau begitu kurang-lebih kau paham teorinya,” sambar Melissa.

    “Tapi teori saja jelas tidaklah cukup,” tukasku jengkel.

    “Tidak ada orang yang lebih tepat memerankan dia selain kau,” bujuk Caitlin dengan suaranya yang sengau.

    “Ayolah, filmnya hanya akan diputar selama dua puluh menit,” Hannah menambahkan penuh harap.

    Aku menatap mata-mata penuh harap itu dengan jengkel—lalu mengerang. “Seperti apa konsepnya?”

    Begitu mendapatkan persetujuanku, Hannah dan Caitlin dengan penuh semangat menyeretku ke kursi dan membahas konsep filmnya sementara Emma menulis sesuatu ke secarik kertas dengan buru-buru.

    “Sebentar,” aku buru-buru menyela ucapan Hannah tentang film bisu yang pertama kali ia tonton di video. “Apakah kalian sudah memberitahu Agatha mengenai festival film ini? Kupikir sekarang ia sudah layak mendapatkan sebuah posisi, bukan?”

Lihat selengkapnya