Verotica's Secret

andra fedya
Chapter #19

18 . CLAUDIUS

SETELAH merapikan ruang keluarga yang berantakan usai kedatangan teman-temanku yang mampir untuk menyelesaikan progres film kami, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku untuk mempelajari naskahku. Tidak tertulis dialog dalam kertas itu sih, tapi dengan baik hati Melissa mau menambahkan beberapa detail ekspresi di sana-sini untuk membantuku mendalami peran.

    Jujur saja, sulit berkonsentrasi pada naskahnya ketika di luar jendela hujan rintik-rintik perlahan mulai membasahi halaman rumah dan aspal. Dari dulu aku selalu menghindari situasi di mana hujan turun kala suasana hatiku sedang buruk ... Sialnya, tak sulit mengubah situasi hati yang buruk menjadi lebih buruk ketika ucapan Victor kemarin menari-nari kembali dalam pikiranku, mengikis sedikit demi sedikit benteng yang sudah berlubang.

    Dilihat dari sudut manapun tuduhan Oliver kemarin padaku jelas tanpa alasan. Kalau tujuannya hanya untuk membuatku menjauhkan diri dari Victor, kurasa ia sudah melakukan hal yang sia-sia. Sebab aku sudah memutuskan untuk meneruskan perjuanganku sampai titik darah penghabisan. Meskipun peluangnya nol koma nol, nol, nol, nol, nol satu; perbandingan antara kekalahan dan kemenanganku satu banding satu juta; meskipun Victor sudah memperingatkanku berkali-kali untuk menjauhinya, mengatakan nyawaku berada dalam bahaya jika aku tetap meneruskan taruhan ini—aku akan melakukannya sampai tidak ada lagi yang patut perjuangkan.

 Masih ada enam hari lagi ....

Empat hari lagi ... lusanya ketika aku membatinkan waktu yang tersisa itu, aku merasakan sengatan aneh menyambar hatiku. Tinggal empat hari lagi dan Victor masih bisa meloloskan diri dengan mudahnya dariku. Penyergapan demi penyergapanku selalu berakhir sia-sia. Bahkan ketika aku yakin melihatnya di tengah kerumunan orang, yang tentunya akan menyulitkan dirinya untuk menghindariku, ia masih bisa memperdayaku.

    “Kau yakin kau tidak apa-apa, Sandy?” tanya Melissa ketika aku kembali ke ruang sekretariat dengan napas tersenggal-senggal setelah berlari naik-turun puluhan anak tangga untuk menghadang Victor yang yakin sekali terlihat di beranda gedung enam. Seperti yang sudah-sudah, sesampainya di sana aku hanya menemukan secarik kertas bertuliskan “keras kepala” dengan huruf meliuk-liuk yang tegas.

    “Aku baik-baik saja,” dustaku, segera mengenyakkan diri di kursi untuk mengatur napas dan menenangkan diri.

    “Sandy, kau sudah tahu belum kita akan ke mana hari ini?” tanya Caitlin yang sedang membereskan perlengkapan syuting dan koper berisi kostum para pemain ke sudut dekat pintu. Hari ini adalah syuting terakhir kami. Aku belum tahu di mana lagi lokasi yang akan kami gunakan setelah sebelumnya dilakukan di halaman belakang rumah Emma dan padang rumput di Barbedant.

    “Belum.” Aku menggeleng nyaris tidak peduli.

    “Kota Tua,” lanjutnya dengan suara dibuat-buat seram. “Agatha tahu hutan yang cocok untuk syuting film kita.”

     “Yeah, kakak lelakiku pernah mengajakku mencari jamur di sana.” Aku tidak sadar Agatha duduk di depanku sejak tadi. Aku terkejut bercampur lega akhirnya seseorang berbaik hati melibatkan Agatha dalam pembuatan film ini meskipun hanya pada bagian akhirnya.

    “Mh, kurasa itu ide bagus, Kota Tua begitu identik dengan mitos menyeramkan,” ujarku langsung setuju, berusaha menghargai idenya.

    “Mudah-mudahan saja lancar, ya!” ucap Agatha tampak senang sekali mendengar dukunganku. “Aku, Tom, Emma, dan Hannah sudah pergi ke lokasi kemarin. Dan tempatnya memang cukup suram. Tepat sebelum jembatan Magolinne.”

    “Dad mengizinkan aku ke sana setelah aku berjanji tidak akan melewati jembatan Magolinne terkutuk itu,” ujar Hannah.

    “Ngeri juga sih, tapi untuk syuting tempatnya betul-betul keren. Gelap dan sangat mistis,” tambah Caitlin.

    Akhirnya setelah melewati jalanan suram yang berkelok-kelok dan diapit pohon-pohon besar kami sampai di hutan yang ditandai oleh Tom dan Bockley. Kedua cowok itu memberi isyarat supaya Hannah memarkirkan mobil di lahan sebelah kiri sebelum jembatan yang sepertinya berumur ratusan tahun, persis di sebelah pikup biru Tom. Sepulangnya tempo hari dari kediaman keluarga Lucas, aku ingat melewati jembatan itu, jembatan yang tampak seolah melayang di atas gulungan kabut (well, sebenarnya tadinya aku berpendapat kalau jembatan itu sangat indah, sebelum teman-temanku menceritakan bahwa seorang gadis bernama Magolinne pernah bunuh diri di sana). Jadi itu artinya jika aku terus berjalan lurus mengikuti jalan ini, aku akan sampai di rumah Chris Lucas. Atau barangkali kastel Victor. Atau kediaman keluarga Goldfine. Aku merinding sendiri ketika teringat percikan kilat merah dalam mata Oliver ketika mengancamku beberapa hari yang lalu.

    Begitu selesai memberi instruksi kepada yang lain, Emma segera memintaku berganti pakaian dengan kostum yang sudah disiapkan Hannah di dalam vannya. Dibantu Melissa dan Caitlin, dalam setengah jam aku sudah siap dalam riasan sederhana di wajah dan rambut ala wanita abad sembilan belas—gaun mengembang kuno putih dan rambut yang diikal dan diberi hiasan permata imitasi.

    Setelah scene terakhir yang mengambil Helena beres, Emma dan yang lainnya pergi mengambil gambar Tom dan Bockley—Tom berperan sebagai Emerthan, sahabat kecil sekaligus tunangan Helena sedangkan Bockley sebagai temannya—di bagian hutan lain tak jauh dari lokasi terakhir pengambilan gambar yang pertama.

    Aku dan Agatha yang tidak begitu senang menyusup ke hutan yang lebih gelap dan berkabut, memutuskan duduk-duduk di atas batu tak jauh dari sungai, mengambil waktu luang untuk beristirahat sejenak. Sebelum pergi tadi Melissa berpesan supaya aku dan Agatha tidak pergi terlalu jauh dari batu-batu besar yang menandakan posisi kami, tentu saja kami akan menurut. Tersesat di hutan purba bukanlah pilihan bijak. Kami pun tidak berpikir untuk kembali dan menunggu di mobil sementara van Amy sendiri diparkir dekat dengan jembatan Magolinne yang konon angker.

    “Aku harap syutingnya cepat selesai,” cetusku, mencari topik pembicaraan sambil dengan waspada memilih pijakan kaki ke batu yang tampak lebih kering.

    “Kita semua bekerja dengan sangat baik, aku yakin prosesnya akan lebih cepat,” hibur Agatha. “Jaketmu, Sandy. Di sini dingin sekali nanti kau bisa beku.” Ia mengulurkan jaket yang tadi kutitipkan padanya. Aku tak sadar kalau buku-buku jariku sudah begitu memucat. Agatha pastilah juga melihat bintik-bintik wajahku yang menjelas akibat suhu dingin hutan.

    “Trims,” ucapku, kemudian buru-buru memakai jaket itu.

    Agatha lalu mengeluarkan jurnal kumal dari dalam tas selempangnya dan mulai menulis dengan posisi sedikit defensif—agak membelakangiku—aku tahu Agatha menulis segalanya di dalam jurnal itu, jadi ia kurang suka jika ada orang yang mencoba mencari tahu isinya. Ketika ia mulai menulis, aku memilih untuk berjalan-jalan di sekitar batu-batu, mengagumi keanekaragaman hayati yang tumbuh di bawah naungan pohon-pohon besar dan kuno yang menjulang di sekitar kami.

    Dari sela-sela cakar-cakar ranting yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, aku masih bisa melihat langit petang di atasku tampak sedikit berlapis mendung—warnanya menjadi campuran oranye dan merah pekat. Aku yakin sentuhan awan kelabu yang beriakan itu sedikit-banyak berperan dalam terciptanya warna langka itu.

    Dari posisiku di bawah pohon berakar raksasa, aku bisa melihat Agatha yang sedang sibuk berkutat dengan jurnalnya. Agatha yang berwajah mungil dan pucat terlihat sempurna berlatarkan pepohonan kuno di belakangnya. Seolah-olah, ia memang ditakdirkan menghuni hutan tak terjamah ini.

    Tetesan air yang dialirkan daun-daun yang sudah melembap sesekali mengejutkanku, pasti bulir sisa hujan semalam atau embun tadi pagi yang gagal menguap karena pijar matahari tak sanggup menerobos padatnya kanopi hutan. Tak heran cahaya pun takluk, pikirku, pepohonan di hutan ini sudah ribuan tahun berkuasa. Saking tuanya sehingga semuanya tampak mengerak—terkutuk oleh waktu.

    “Sandy, berhenti, jangan terlalu masuk ke dalam hutan,” tegur Agatha. Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Agatha sudah berdiri di belakangku sambil memeluk jurnalnya dengan rapat. “Lebih baik kita kembali ke batu-batu itu saja, oke?”

    Agatha betul. Karena kabut sudah menghalangi lansekap, segalanya jadi tampak memudar. Aku tidak tahu kalau pohon-pohon bisa membuai manusia. Kami lalu kembali ke batu tadi dan duduk. Agatha memasukkan jurnalnya ke dalam tas sebelum menumpukan sikunya di atas lutut lalu memalingkan sepenggal wajahnya padaku.

    “Apa kau baik-baik saja?Sepertinya suhunya turun beberapa derajat,” ujarnya.

    “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

    “Baik. Tapi harus kuakui kalau aku menyesal menyarankan supaya kita menunggu di sini,” ujarnya terdengar agak muram.

    “Itu bukan salahmu,” ujarku berusaha terdengar ceria.

    “Well,” gumam Agatha kembali memulai pembicaraan beberapa waktu kemudian, “beberapa waktu lalu aku pernah melihatmu turun dari tangga belakang gedung gimnasium ... Karena penasaran, aku menunggu—aku melihat Colter turun setelah itu ... Apa ... apa sekarang kalian berdua um, sengaja berhubungan diam-diam atau apa?”

    Pengakuan sekaligus pertanyaan Agatha membuat darah surut dari kepalaku. Selama ini kukira tidak ada yang tahu kalau aku dan Victor sering bertemu secara diam-diam di atap gimnasium. Well, itu memang bukanlah hal yang wajar mengingat reputasinya. Selama ini Victor dan teman-temannya dikenal sangat dingin dalam memperlakukan orang lain. Sudah tentu pertemuanku yang diam-diam dengannya itu akan mengundang banyak perhatian jika ada yang melihatnya.

    “Um, kau sepertinya salah paham,” aku mencoba menjelaskan dengan tenang. “Sejauh ini aku dan Victor, kami hanya ... well, mencoba untuk berteman.” Aku nyengir untuk menambahkan kesan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang patut dibesar-besarkan, meskipun jika aku yang jadi Agatha aku pasti sudah terkejut setengah mati. Berinteraksi intens dengan Victor Colter bukanlah hal biasa, semua tahu itu.

     “Tapi kupikir hubungan kalian lebih serius dari itu—” Namun Agatha segera menangkap perubahan ekspresiku, maka dengan gugup ia segera menambahkan—“Sandy, aku sungguh, oh, maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk memata-matai kalian! Aku ... aku hanya melihat sebentar ... maafkan aku kalau perbuatanku itu sangat tidak pantas.”

    “Ayolah, Agatha, jangan merasa seperti itu,” aku segera meredakan kepanikannnya.

    “Tapi aku tetap merasa tidak enak padamu,” ujarnya muram.

    “Well, pertama kali ia mengajakku bicara aku bahkan hampir terkena stroke, tapi selanjutnya ia baik juga—baik dengan caranya sendiri,” aku terpaksa mulai bercerita. “Hanya saja pertemuan kami biasanya tidak bermula atau berakhir dengan baik-baik.” Aku segera menambahkan dengan cengiran ketika melihat Agatha mengerutkan keningnya yang licin dan pucat itu.

    “Kau menyukainya.” Aku tak yakin yang Agatha lontarkan itu adalah sebuah pertanyaan—ekspresinya dan nada suaranya begitu datar hingga aku tak yakin ia betul-betul mau tahu jawabannya—bisa jadi jika ia menanyakan hal itu pada orang lain, orang akan menyangka ia sudah tahu jawabannya.

    “Sepertinya memang begitu ...,” aku mengakui, malu-malu.

    “Kurasa Victor Colter juga menyukaimu,” celetuk Agatha dengan mimik tak terbaca. “Masalahnya sepanjang pengetahuanku, sangat sulit menarik perhatiannya.”

    Aku menggeleng perlahan. “Kurasa Victor cuma sedikit berbaik hati kepadaku.”

    Agatha mengamati ekspresiku untuk beberapa saat. “Mm, kurasa kau agak benar,” ia mengiyakan ucapanku dengan mimik dingin, “Colter tidak mungkin menyukai gadis manapun… karena… well, apa kau tahu desas-desus itu? Rahasia yang mengatakan Colter dan teman-temannya bukanlah ... um, mereka itu bukan manusia biasa.”

    “Betul, mereka memang bukan manusia biasa,” aku menyetujui ucapannya sambil meletupkan tawa putus asa.

    “Aku tidak bercanda, Sandy,” protes Agatha, meringis sambil memeluk tubuhnya sendiri. “Bukankah itu terlalu jelas, Colter memiliki sesuatu yang tak wajar—begitu juga dengan Goldfine dan Lucas. Remaja seusia kita, dengan berkah seperti yang kita tahu.” Aku sangat paham apa maksud Agatha. “Dan dari sekian banyak wilayah yang bisa ditempati, mereka memilih tinggal di tempat yang paling dihindari manusia. Kota Tua—wilayah ini. Pikir saja, siapa sih, yang mau tinggal di tempat menyeramkan seperti ini kalau tidak untuk alasan tertentu, misalnya ... menjaga identitas rahasia barangkali.”

     “Bukankah konon leluhur mereka tinggal di tempat ini?”

    “Iya sih, tapi tetap saja semua itu masih kelewat aneh,” tukasnya. “Apa kau pernah melihat tempat tinggal Colter?”

    Aku menggeleng. “Tapi Melissa pernah memberitahu kalau ia tinggal di sebuah kastel.”

    “Tepat. Sebuah kastel tua di tepi danau sebelum pemakaman kuno di sebelah utara sana,” katanya sambil mengedik asal ke sisi kanannya. “Menurut desas-desus ia hanya menempati kastel itu sendirian. Bayangkan, seorang diri menempati kastel berumur ratusan tahun ... Bagiku itu terdengar agak aneh—tapi tunggu sampai kau mendengar yang satu ini. Kalau kau jeli kau akan paham koherelasi semuanya.” Ia berdeham, menatapku dengan lebih intens. “Kau tahu tidak mengapa wilayah ini ditinggalkan oleh penduduk setempat dan dianggap terkutuk?”

Lihat selengkapnya