HUTAN tak pernah semenyeramkan ini dalam benakku—tempat terakhir yang akan kupilih jika aku bisa memilih di mana aku akan mati. Terutama hutan ini, di mana pohon-pohonnya yang gelap itu tampak menyembunyikan sesuatu dariku. Sebuah rahasia kuno. Sebuah ketakutan purba yang telah mengerak dan berubah menjadi lapisan batu yang melapisi setiap batang dingin itu. Dan aku terus memacu langkahku, melewati batu-batu hidup itu, berjuang menghindari para pengejarku yang teramat sangat sakti—yang tak pernah kubayangkan sebelumnya akan muncul dalam hidupku yang fana ini.
Yang sulit dari semua ini bukanlah berlari, tersaruk, dan bangunnya—kemudian memulai pelarian tak berujung ini kembali, menembus setiap celah di antara pepohonan rapat dan kelam dengan darah yang mengucur deras. Tapi karena kau tahu betul dengan memacu kakimu secepat itu, mengikuti perintah para penyihir itu, entah bagaimana caranya kau akan mengundang seseorang yang amat berarti bagi hidupmu menuju tempat di mana ia akan dibinasakan—itu teori mereka.
Aku sendiri tak tahu kenapa aku masih terus berlari sementara aku tahu mereka sedang bersenang-senang sekarang, bersembunyi di suatu tempat untuk menyergapku, bersiap-siap menyiksaku dengan sihir seperti yang nyaris menyakitiku kalau Agatha tidak bersikap patriotik untuk menghadangnya. Keputusan bodoh—menyelamatkan seorang teman yang nyaris tidak mempercayai dirinya bahkan tega menuduhnya memiliki niat jahat.
Alasan yang membuat kakiku terus berlari, ada bagian dalam diriku, entah sebesar apa, yang menginginkan kebenaran dan jawaban dari teka-teki ini. Jika Victor muncul sekarang untuk menyelamatkan aku—ambil hal terburuk yang mungkin terjadi, meskipun itu bukan harapanku—aku akan mengetahui satu hal, tidak, dua hal sekaligus; jika ia datang, itu artinya Victor peduli pada diriku, itu jelas keadaan yang rumit baginya, ia tak akan bisa berkelit dan terpaksa harus mengakui bahwa sesungguhnya sebuah perasaan lain telah mengalahkan egonya sendiri, ego untuk menjauhiku, tetap mematuhi perjanjian kami.
Di sisi lain, aku sendiri tidak tahu apa yang akan kulakukan setelahnya meskipun bendera kemenangan nyaris di tanganku—sebagian dalam diriku tak menyangkal ada ketakutan instingtif untuk merasa terancam ... Victor bukan hanya pembunuh yang mengakhiri hidup korbannya, tetapi juga malaikat maut yang menghancurkan jiwa korbannya setelah si korban melewati kematian yang paling menyengsarakan—aku tidak bisa membayangkan cara mati dan siksaan setelahnya yang lebih menakutkan dari itu.
Aku terjatuh di tengah hutan yang seolah mengembuskan kabut. Samar-samar aku mendengar suara tawa terkikik di belakangku, yakin seratus persen penyihir-penyihir itu sudah memulai permainan yang mereka janjikan. Tawa itu jelas, mengancam, menakutkan—tapi tak lebih menakutkan dari apa yang melesak dari dalam kepalaku. Apakah itu merupakan kilasan masa depan yang terjadi jika aku salah mengambil keputusan? Apakah itu artinya aku harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan—bergabung bersama para penyihir ini, melakukan apa yang Helena Waite lakukan; ada di balik penjebakan sang Qweider?
Penyihir bernama Alagor tadi berkata ia sudah tahu titik kelemahannya, sesuatu yang bisa melemahkan kekuatan mahadahsyatnya. Masalahnya dulu mereka keliru, mengira perak bisa melumpuhkan Qweider—aku yakin para penyihir itu sudah belajar banyak dari kekeliruan penyihir-penyihir terdahulu tersebut. Apakah kali ini mantra-mantra itu akan mampu menembusnya?
Tidak, itu tak boleh terjadi!
Inilah saatnya aku menebus tindakan bodohku melibatkan orang-orang yang kusayangi ke dalam bahaya, sekaligus menyelamatkan dirinya, orang yang kucintai, apa pun dia dan seberapa besar nafsu membunuhnya menjadikannya monster paling kejam di dunia ....
Aku berbalik arah persis ketika Panola yang tengah berdiri di belakangku sedang mengangkat tangannya yang dipenuhi energi besar berwarna biru elektrik, bersiap-siap melancarkan kutukan kepadaku. Kutukan yang seharusnya bisa kutangkis dengan mantra perlindungan andaikan kemampuan sihirku bekerja. Setidaknya, aku bisa melakukan sesuatu yang berguna, menjaga diriku sendiri. Meskipun aku tahu aku tidak akan berhasil menghalau yang lain, aku akan membuat wanita jahat ini dalam masalah. Dengan kemampuan sihir yang diwariskan leluhur Swolley dalam darahku, bukan hal sulit seharusnya membuatnya mengalami cedera serius. Seharusnya. Andaikan aku bukan penyihir cacat genetis dan tidak berguna.
“Teruslah berlari, kelinci bodoh!” teriaknya. “Pancing dia keluar!”
Aku muak sekaligus mual mendengarnya. Kemudian, aku melakukan hal yang nyaris bisa dikatakan sebagai gerakan spontan atas kebencian yang melanda diriku akan pemaksaan ini, rencana tergila ini. Aku bermanuver, berlari berlawanan arah persis ke arah wanita itu. Segera saja kami bertubrukan. Dengan suara berdebam keras ia terjatuh di tanah, kekuatan sihirnya terlepas ke belakang hingga menumbangkan batang yang disambarnya. Panola bangkit dengan murka, menarik jaketku hingga terlepas kemudian kakiku persis sebelum aku akan melarikan diri.
Ia mencekik leherku tapi aku berhasil menarik tangannya dan mengentakkannya ke tanah hingga ia menemukan batang pohon lepas untuk memukul bahuku dan merubuhkanku ke atas pecahan batu. Aku bisa melihat matanya memancarkan kemurkaan.
“Bukan begini rencananya, tolol!” bentaknya. “Berengsek.” Ia buru-buru menyentuh pipinya yang tergores dan mulai meneteskan untaian darah—pasti terjadi saat aku menubruknya barusan. “Gadis keparat!” Dengan sekuat tenaga ia menendang lututku yang berdarah.
Aku tak dapat merasakan kakiku lagi, tapi tendangan yang didaratkan penyihir itu pasti memperparah lukaku. Aku meringis, mencoba berdiri dengan menjadikan batu di sebelahku sebagian tumpuan.
“Aku tak akan membiarkan kalian melakukan apa pun padanya,” geramku. “Tidak akan pernah!”
Kilat dari telunjuk Panola menyerang pipiku, dan perlahan-lahan aku mulai merasakan rasa terbakar hebat di sana. Cairan berwarna merah kental segera menetes menuruni daguku.
“Tahukah kau siapa yang baru saja kaubela? Ia monster! Monster yang sama yang telah membantai kaum kita!”
“Victor bukan monster!” Entah dari mana datangnya, tapi mendadak keyakinan itu menguatkan sekaligus menghilangkan semua rasa sakit di sekujur tubuhku. “Victor bukan lagi Claudius yang keji membantai satu perkampungan dengan satu kutukan mematikannya—atau paling tidak ia berhak mendapatkan kesempatan untuk membuktikan penyesalannya. Ia sudah berubah. Claudius dan Victor adalah dua orang yang berbeda sekarang.”
“Berubah? Siapa yang pernah melihat seekor serigala berhenti memangsa kelinci dan memilih memakan buah ceri yang tumbuh di samping sarangnya? Sekali monster ia tetaplah monster!” erangnya.
“Aku tidak akan berlari atau merasa takut lagi. Dengan begitu Victor tidak akan datang,” ujarku lantang. “Yang ia butuhkan merasakan keadaan gentingku, kan? Karena kalian berpikir Victor mampu mengenali energiku.”
Ia tampak hilang kesabaran, tapi berusaha menahan diri untuk tidak membunuhku. “Terserah. Kenyataannya kau akan tetap berlari karena jika kau tidak melakukannya Alagor akan mencongkel mata teman kecilmu itu dan memberikannya ke anjing hutan.”
Aku mengejang. “Kalian sudah berjanji untuk melepaskannya!”
“Kalau kau berhasil memancing Claudius kemari,” koreksinya dengan licik. “Sayang sekali kau tidak punya pilihan. Sepuluh detik lagi Alagor akan kemari dan sebaiknya kau mulai berlari atau kau akan kehilangan kesempatan untuk melihat temanmu dalam keadaan hidup-hidup.”
Air mataku perlahan-lahan melumpuhkan benteng yang sedaritadi kupertahankan. “Mengapa kalian kejam sekali? Aku bahkan tidak mengenal kalian—“