Senja. Tidak sulit untuk mengenali cahaya keemasan yang menyapu kelopak mataku sekarang. Tapi bukan itu yang membuatku panik dan langsung terduduk tegak di atas tempat tidur berlapis sutra yang mengalasiku.
Sudah senja lagi? Berapa lama aku tertidur? Kalau kepala ini tidak salah memperkirakan waktu, kemarin itu aku tertidur sekitar jam delapan sampai sepuluh malam—paling terlambat mungkin jam sebelas, tak mungkin lebih dari itu. Kutangkupkan telapak tanganku ke pipiku, dan mendadak saja terlintas di benakku tentang kejadian yang baru saja kualami; wajah-wajah antagonis para penyihir tak berperasaan yang mengejarku tanpa henti di tengah kedalaman hutan yang tak berjiwa—Flame penyihir paling jahat yang tampaknya pemimpin para penyihir itu, mencoba membakarku ketika ia yakin usaha terakhirnya, yang mengundang kematianku, akan memancing kemarahan Victor.
Atau Claudius.
Dan ia berhasil melakukannya.
Aku meringis ketika menyibakkan selimut besar yang menutupi tubuhku—kaget bercampur ngeri dibuatnya; aku tak lagi mengenakan gaun kuno yang kupakai untuk keperluan syuting film bisu Helena Waite; sekarang aku mengenakan gaun tidur biru muda cantik berlengan dan sepanjang betis. Luka-lukaku ... aku mengangkat sedikit gaunku untuk menemukan robek menganga di lututku yang kemarin mengalirkan darah yang menembus ke gaun putih itu. Luka itu sembuh total, tak menyisakan bekas barang segaris luka samar ataupun goresan tipis. Aku buru-buru melompat dari tempat tidur menuju cermin berbingkai perak yang berada cukup jauh dari tempat tidurku.
Aku menunggu saat-saat menyakitkan ketika aku menyentuh bahu kiriku (aku yakin kemarin bahuku remuk—atau paling tidak salah satu tulangnya patah) tapi tak ada yang terjadi, tak ada rasa sakit apa pun yang terasa. Penasaran, aku mencoba dengan menekannya sekuat tenaga. Selain rasa sakit akibat tekanan bertenaga oleh diriku sendiri, aku tak merasakan sakit apa pun. Pelan-pelan aku mendekatkan wajahku ke cermin itu ... mengamati luka yang seharusnya menganga di wajahku akibat serangan penyihir yang bernama Panola kemarin—pembalasan atas luka yang sama yang tak sengaja kutorehkan saat aku menerjangnya.
Selain kepalaku yang masih dibebat dengan semacam kain berwarna putih, tak ada lagi tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa aku baru saja mengalami hal yang sangat buruk—serangan, kecelakaan, atau peristiwa di mana aku hampir saja terbunuh; wajahku mulus tanpa noda meskipun bercak-bercak terutama di daerah hidung, tulang pipi, dan kening mulai bermunculan karena ketegangan ini. Bahkan rambutku yang merah menyala tampak sehalus dan selembut satin, tergerai bebas sampai siku, sedikit lebih mengempis dari sebelumnya—sempurna tanpa potongan kecil daun kering ataupun noda lumpur yang yang seharusnya menempel setelah berkali-kali terjerembab ke tanah.
“Apa Anda sudah merasa lebih baik?” ujar suara serak yang nyaris membuatku melompat karena terkejut.
Esther berdiri tak jauh di ambang pintu. Aku mengenali suaranya. Ternayata sosoknya hampir sesuai dengan apa yang ada di bayanganku; wanita paruh baya, kurus, dengan wajah yang menampilkan raut cerdas meskipun agak terkesan galak. Ia memakai gaun sutra kuno selutut dengan jubah lilac sepanjang mata kaki. Jika kau Dumdey, dalam selayang pandang pertamamu kau akan memiliki kecurigaan bahwa Esther kemungkinan seorang cenayang.
“Um, saya rasa ini kedua kalinya Anda merawat saya. Terima kasih banyak ... semua luka saya sudah sembuh dengan sangat ajaib,” ucapku dengan tulus segera setelah aku dapat mengendalikan keterkejutanku barusan.
“Dan semoga saja tidak ada yang ketiga kalinya,” gumam Esther dengan nada mendoakan—atau menyindir. “Meskipun luka luar mudah sekali sembuh, tapi luka dalam membutuhkan proses sedikit lebih lama untuk pulih. Untuk sekarang, saya sarankan Anda beristirahat di tempat tidur. Setidaknya sampai saya yakin Anda sudah tidak merasa pusing lagi,” sarannya. “Ramuan yang saya buatkan akan lebih bekerja saat tubuh Anda rileks. Terutama luka akibat mantra di kepala Anda dan luka dalam yang cukup kompleks di bahu Anda. Mungkin baru besok luka-luka itu bisa sembuh total. Anda baru beristirahat selama tiga hari.”
Ada serbuan aneh seolah-olah sekawanan lebah sedang menyerang syaraf otakku. Kepalaku terasa seperti baru dilubangi. “Anda bilang tiga hari? Apa maksud Anda saya sudah tertidur selama tiga hari?” tuntutku tak bisa menguasai diri. Dengan limbung aku berjalan cepat ke arah pintu—tapi sebelum aku mencapai gagang pintu, Esther sudah menahanku dengan melingkarkan lengannya di pinggangku.
“Jangan khawatir, Mr. Colter dan Mr. Lucas sudah mengurus semuanya.”
Aku berbalik dengan frustasi. “Bagaimana mungkin Anda berkata pada saya jangan khawatir sedangkan di Randall keluarga saya mungkin sudah gila memikirkan saya. Sudah tiga hari saya tidak pulang ataupun memberi kabar kepada mereka dan—bagaimana Agatha?—dia, dia sendirian di hutan sana waktu para penyihir itu mengejar saya. Dia luka parah—saya bersumpah, lukanya jauh lebih parah dari luka saya ... bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpanya? Bagaimana kalau Agatha tewas? Tewas karena saya! Saya harus mencari tahu!”
Esther tampak tak bergeming. “Saya sudah bilang mereka sudah mengurus semuanya,” ulangnya tak berperasaan—cuping hidung dan alisnya naik seperti rubah. “Saya hanya kemari untuk mengecek keadaan Anda—itu yang diperintahkan Mr. Colter kepada saya dengan sangat jelas.”
“Anda sudah lihat, kan? Saya baik-baik saja,” aku berkeras putus asa, sudut mataku bersiap-siap meleburkan air mata.
Esther menatap tajam ke dalam mataku, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah pintu kayu gelap di belakangku kemudian memandanganku lagi.
“Saya sungguh menyesal, tapi saya memang tidak diperkenankan mengatakan apa pun. Saya akan kembali sekitar dua jam lagi. Sekali lagi saya sarankan supaya Anda beristirahat di tempat tidur dan tidak terlalu banyak—“
Tapi sebelum ia menyelesaikan ucapannya, aku sudah berbalik untuk menarik daun pintu—ketika pintu berderap terbuka, sesaat semuanya terasa memusingkan bagiku; ruangan itu temaram nyaris gelap, lebih temaram dari kamar Victor. Mataku harus beradaptasi dengan sangat cepat untuk menangkap semua gambar dan detail yang berlatarkan tembok batu kelabu. Hamparan karpet Persia merah tua menjuntai di sepanjang koridor luas itu, lampu-lampu gas menyala lembut membuat bayangan kecil di sekitar kaca yang melapisinya—tapi tetap tak cukup banyak untuk membuat koridor itu seterang seharusnya; di ujung dinding, aku melihat kaca mosaik raksasa yang didominasi warna merah menjadi penghantar buruk untuk cahaya matahari, dan saat aku berjalan meninggalkan koridor itu, aku menemukan percabangan jalan di tengah ruangan; satunya berupa koridor temaram seperti yang kulalui sebelumnya tetapi tidak kelihatan ujungnya, sedangkan yang satunya adalah selasar panjang yang kelihatannya menghubungkan ruangan dengan ruangan lainnya. Aku hampir menjerit putus asa. Kastel ini besar dan penuh liku—sebagian dalam diriku mengutuki kenapa ada yang mau tinggal di tempat seperti istana jebakan ini.
Aku mengambil keputusan cepat menyusuri selasar itu. Dari situ aku bisa melihat dengan jelas danau yang sehitam dan seberkilau granit itu memantulkan lukisan langit berwarna jingga gelap, matahari sudah lebih jauh tergelincir ke balik bukit.
Masih berlantai batu, tak jauh dari ruangan yang dihubungkan selasar tadi, aku melihat tangga megah berpegangan besi dengan dua arah dari lantai atas yang kemudian menghubungkanya ke hamparan anak-anak tangga berlapis permadani menuju lantai dasar.
“Miss Swolley!” Itu suara Esther memanggilku dengan tak sabar, yang disertai bunyi kelotak-kelotak teredam dari tumit sepatu kayunya. “Keadaan Anda belum memungkinkan untuk berlarian seperti itu—luka dalam Anda belum sepenuhnya pulih!”
Dari bayangan yang dibuat lampu-lampu gas mewah yang berjajar setiap beberapa meter itu, aku bisa melihat siluet bayangan Esther bergerak menuju ke arahku. Aku segera berlari menuruni tangga superluas itu, lalu berbelok ke arah pintu besar yang sudah menjeblak terbuka ke sisi yang berlawanan—menuju ruangan bernuansa keemasan suram lainnya; daun pintunya besar sekali, terbuat dari tembaga yang dibuat meliuk-liuk. Dengan ragu, aku memasuki ruangan megah itu—untuk alasan tertentu aku cukup lega selop tidurku tidak menimbulkan bunyi apa pun ketika beradu dengan lantai yang kuinjak.
Aku bisa mendengar lamat-lamat musik instrumental yang sedang dimainkan dari ruangan lain tak jauh dari aula ini ... salah satu melodi indah yang kukenal. Aku tahu siapa komposer genius di balik terciptanya gugusan melodi indah ini, Francouis Choperin.
Seolah tersihir oleh musiknya, aku bermaksud untuk menghampiri ruangan itu. Dengan perlahan, aku berjalan di antara puluhan rak tinggi yang memasang segala jenis perabot kuno, sepasang sabre—sejenis pedang bersarung menyilang di dinding, berderet-deret lukisan pemandangan berwarna sephia dan hitam-putih dengan pigura-pigura tua dari perak dan emas—beberapa terbuat dari sejenis kayu tua. Di sanalah, di ujung ruangan, aku menemukan pemutar piringan hitam tua sedang memutar musik instrumental milik Choperin. Terkejut karena tiba-tiba menangkap bayangan siluet manusia di belakangku, aku sontak membalikkan badan dengan cepat.
Dia. Sosok ini. Yang sebelumnya tidak pernah kupercaya, atau akan sanggup kuyakini untuk seterusnya—sosok yang keindahannya selalu mengejutkan akal sehat—melayangkan senyuman menawan padaku.
“Untuk kesembuhan peri tidur kita,” sambutnya mulus seraya mengangkat gelas berisi anggur merah yang dipegangnya dengan liukkan bersulang ke arahku. Seperti topeng, wajahnya tidak tampak sedang senang atau marah. Dan lagi-lagi, itu membuat nyaliku kecut.
Tanpa sadar aku terus mengamati kala bibirnya yang nyaris sewarna dengan minumannya bersentuhan dengan permukaan gelas kristal itu. Aku refleks menelan ludah. Bukan karena aku menginginkan minumannya. Tapi teringat kecupan lembut itu. Kecupan yang mengantarku menuju tidur panjangku ....
Selama tiga hari.
“Victor,” desisku nyaris dengan suara memekik—setelah tersadar gelombang kekhawatiranku kembali mengerubungiku—dan kata-kata selanjutnya berhamburan tak terbendung bagaikan serangan peluru, “Kau tahu apa yang sudah kaulakukan? Kau mengurungku di kastelmu selama tiga hari! Astaga, Sam dan Eve bisa gila karena sibuk mencariku—mereka mungkin sudah melapor polisi! Belum lagi Agatha! Akulah yang membuatnya terluka parah—ia terluka karena melindungiku saat sebuah kilat mendadak meluncur dari dalam kabut! Melissa, Hannah, Caitlin—oh, tidak ... mereka akan kebingungan sekali! Apakah mereka, orang-orang yang kusayangi itu, baik-baik saja?”
“Mereka aman,” ujarnya dengan nada janggal.
“Aku mau mendengar cerita lengkapnya, bagaimana mereka bisa aman?”
Dengan luwes Victor berjalan memutari sofa, dan duduk di atasnya yang menghadap ke arahku. “Ceritanya akan panjang,” gumamnya. Ia melambaikan tangannya ke arah perapian, membuat api membesar kemudian melambaikan jari-jarinya yang panjang itu ke arah kotak pemutar piringan hitam. Aku terlonjak karena sebelum benar-benar diam alat pemutar itu mengeluarkan bunyi berdecitan tajam.
Saat aku baru saja duduk, aku melihat Esther muncul di ambang pintu raksasa yang membuka.
“Saya minta maaf, Tuan, saya sudah melakukan apa yang diperintahkan, tapi ...” Mata pucat Esther mendelik tajam ke arahku, dan aku buru-buru menunduk untuk menghindari sorot matanya. “Miss Swolley ....”
“Begitu keras kepala, memang, dia sangat keras kepala.” Victor melirikku sekilas. “Istirahatlah di salah satu kamar, Esther, tenagamu masih sangat dibutuhkan.”
Esther membungkuk hormat pada Victor sebelum berbalik dan pergi bersama bunyi sepatu kayunya yang kian lama kian memelan.
“Kata Esther kau sudah mengurus semuanya,” aku kembali memulai dengan agak gugup. “Jadi, bagaimana kau mengurus semuanya itu, pertama-tama, izin menginapku kepada Eve?”
“Mengingat siapa sebetulnya aku seharusnya itu mudah sekali, bukan?” Bibirnya menyeringai penuh makna.
Aku menelan ludah. “I-iya sih ... tapi aku tetap mau penjelasan. Secara rinci. Aku harus menceritakan skenario yang sama ketika pulang nanti, bukan? Mereka pasti tetap bertanya.”
“Itu tidak perlu; Chris sudah menyelesaikan semuanya. Kau hanya perlu bertingkah seperti biasanya, seolah kau tidak pernah menghilang selama tiga hari. Satu masalah beres.”
Aku bengong beberapa detik mendengar penjelasannya. “Mana mungkin?” seruku setelah kepalaku dapat mencerna ucapannya. “Kecuali kalian meminumkan penghilang memori kepada keluargaku ....”
“Apa maksudmu adalah ramuan untuk menghilangkan ingatan?”
Aku mengerang putus asa. “Jelas, apa lagi?”
Sekarang tampak olehku ia tertawa mencemooh. “Betapa repotnya jika Chris harus membuat ramuan untuk kegiatan kecil itu. Dan setahuku ramuan-ramuan semacam itu sering tidak bekerja dengan baik, mudah dipatahkan dengan ramuan penetralisir. Sangat tidak berguna.”