CHRIS segera mengapit sikuku, begitu juga Oliver—meskipun ia kelihatannya benci melakukannya—mengapit lenganku yang lain, mengatur jarak dengan gazebo putih marmer yang tegak bediri di samping danau, tempat di mana Victor membungkuk dan mengerang kesakitan. Aku meringis, geraman demi geraman mengoyak kalbuku. Andai saja aku sanggup mengentakkan kedua lenganku hingga terbebas, aku akan memeluknya seperti yang kulakukan tadi, meredakan sakitnya.
“Chris, aku butuh penjelasan!” tuntutku putus asa, hatiku seperti dicabik-cabik setiap kali aku mendengar geraman rendah itu. Geraman kepedihan. “Kenapa Victor begitu kesakitan, apa yang terjadi padanya?”
“Ini yang kau inginkan, bukan?” Oliver menyambar pertanyaanku dengan gusar. “Harusnya kau tidak pernah ada. Kau membuatnya begitu lemah—bahkan sekarang, kau membuat musuh-musuhnya menemukan titik lemahnya. Harusnya kau terbunuh hari itu agar semua ini tidak pernah terjadi.”
“Oliver!” tegur Chris tajam. “Sekarang bukan saatnya kita membahas hal itu. Victor mau kita fokus menjaga Sandy. Nyawanya lebih penting dari apa pun—tugas kita mematuhi apa yang ia perintahkan.”
“Kau dengar, nyawamu lebih penting dari apa pun,” desis Oliver padaku. Ia lalu memalingkan wajahnya—masih mengapitku, sangat kasar. Tapi sekarang itu tidak terlalu penting lagi.
“Kau sudah mengetahui hal itu, kan?” Chris memastikan dalam suara dalamnya.
Aku mengangguk.
“Yang kau lihat sekarang adalah konsekuensi atas pilihanmu. Tidak. Sebetulnya Victor masih memberikan pilihan. Kau masih punya kesempatan—aku bisa membawamu pergi,” Chris menawarkan.
“Aku tidak ingin pergi dari sini,” sahutku tegas, tidak berkompromi sama sekali bahkan dengan diriku sendiri.
“Sebetulnya bukan itu yang ingin kudengar,” katanya dengan nada putus asa dan ekspresi wajah yang dibingkai mimik prihatin. “Kau akan melihatnya sendiri. Bagian tergelap yang tak mungkin pernah kaubayangkan sebelum ini. Ini kedua kalinya terjadi ... hal paling mengerikan. Masih ada waktu untuk mengubah pikiran.”
“Chris! Bukan aku yang perlu kaukhawatirkan,” geramku, “tapi Victor.”
“Chris,” seru Oliver mendadak dengan nada memperingatkan—bersamaan dengan itu aku mendengar suara ledakan teredam, lalu dengan ajaib Victor sudah berdiri di hadapanku. Wajah malaikatnya yang sempurna itu tampak tenggelam di dalam kegelapan; bola matanya yang berwarna kelabu digantikan cahaya perak di seluruh matanya bagaikan kristal yang mencair di bawah matahari.
“Pergi,” katanya padaku. Suaranya menggeram sekaligus mendengkur. “Jangan tolol.”
“Aku tidak akan pergi,” tantangku. “Tidak akan pernah kutarik keputusanku.”
“Kau menorehkan jalanmu malam ini dengan darah. Takdir akan murka padamu karena menyia-nyiakan kesempatan hidupmu,” desisnya. Aku merasakan separo diri Victor bukanlah dirinya sendiri ketika mengatakan itu padaku. Itu adalah setengah dirinya yang lain, yang ingin menghabisiku.
Semuanya kembali berlangsung begitu cepat—ia sudah melesat menembus angkasa, menghilang bersama kabut hitam, menembus lidah kegelapan.
“Turuti ucapanku, sekarang juga kau mundur sejauh mungkin. Kembali begitu aku memanggil atau memberikanmu aba-aba untuk mendekat,” Chris menyuruhku bersembunyi. “Raganya belum dikuasai sepenuhnya olehnya—ia bisa meledak dan menghancurkan kita semua. Sekarang, Sandy—cepat!”
“Si-siapa yang berusaha menguasai tubuhnya sekarang?” tanyaku.
“Bagian jiwa yang tergelap. Qweider.”
Aku ragu-ragu sejenak sebelum dengan tersaruk-saruk berlari menuju sebuah pohon paling menjorok di belakangku, mengamati Chris dan Oliver dengan waspada—menunggu instruksi berikutnya. Seluruh tubuhku gemetar hebat. Ditambah udara dingin yang menusuk, napasku berubah menjadi kabut pekat persis di depan wajahku. Tapi bukan mati beku yang kutakutkan.
Di lahan terbuka di depanku, mulanya Chris kemudian Oliver—meraung-raung kesakitan. Chris membungkuk begitu dalam, yakin ia sedang menahan nyeri di bagian perutnya. Sementara itu geraman keras Oliver—bukan geraman seperti suara marah, melainkan geraman seperti seseorang yang sekarat—membuatku merasa begitu tidak aman berdiri di sini.
Apa yang sebetulnya sedang terjadi? Nyatanya yang terjadi berikutnya lebih menakutkan lagi. Garis-garis hitam seperti nadi-nadi muncul di wajah mereka—mulanya dari telinga, daerah mata, sampai pelipis—membentuk motif meliuk-liuk yang rumit. Chris mengerang sengit sekali lagi, dan entah apa itu, sesuatu yang melengkung runcing mirip tanduk sewarna baja mendadak muncul di kedua bahunya, merobekan kemejanya. Sesuatu yang serupa juga tumbuh di kedua siku Oliver, mencabik lengan kemeja putihnya. Dan erangan demi erangan, geraman demi geraman berulang terus menerus.
Lalu beriringan dengan erangan pilu yang membuat hati ciut, muncul kembali sesuatu seperti baja tajam-tajam di bagian luar telapak tangan Chris—yang ketika dia mengepalkan tangannya, tampak begitu runcing dan berbahaya. Darah gelap melesak-lesak, bermuncratan seperti keran yang bocor. Sama halnya dengan Chris, belati-belati itu juga muncul di bagian luar telapak tangan Oliver, hanya saja berwarna lebih gelap, dan percikan merah di matanya redup beberapa waktu lebih terlambat. Kini mata mereka berubah menjadi hitam sempurna tanpa pupil.
Aku masih menatap keduanya dengan terpaku. Sekarang aku hampir tidak mengenali kedunya sebagai manusia. Kecuali fakta lain bahwa mereka masih terlihat rupawan dengan perubahan ini, aku yakin aku bisa pingsan karena ketakutan.
Selama tiga menit berikut aku masih membeku di tempatku. Ada pikiran selintas yang menyuruhku untuk lari dan berlindung di dalam hutan—sekalipun penyihir-penyihir jahat itu menungguku di sana, mendadak aku merasa lebih aman berada di dalam hutan bersama mereka ketimbang makhluk-makhluk ini; Flame atau Alagor jelas bukan apa-apa, pikirku, setidaknya aku yakin mereka masih manusia, meskipun manusia tanpa nurani .... tapi Chris dan Oliver ... makhluk apa sesungguhnya mereka?
Sedetik saja Chris sudah berdiri di sampingku—dan aku spontan terlonjak karena kaget. Kecepatan yang menakutkan ... yang hanya sanggup ditandingi oleh angin.
Ternyata garis-garis yang meliuk-liuk yang muncul di wajahnya yang semula kukira berwarna hitam pekat, dari jarak sedekat ini, berwarna ungu gelap berkilauan; garis-garis itu sebetulnya transparan, sesuatu yang mengalir di dalamnyalah yang berwarna ungu. Darah mereka. Aku bahkan bisa melihat cairan berwarna ungu itu sedang mengalir deras di dalam saluran bening itu—lebih pantas dikatakan indah daripada menakutkan. Matanya, meskipun berwarna hitam utuh, tidak memancarkan kekejaman—mungkin karena Chris memang tipe yang sangat bersahabat ketika menjadi manusia. Atau aku yang tidak ingin memikirkan kemungkinan buruk.
Dalam sekejap baik Chris maupun Oliver sudah dalam posisi melindungiku. Meskipun aku yakin Oliver mengharapkan aku mati, ia tetap berhati-hati dengan tanduk runcing yang tumbuh di sikunya—tapi mungkin hanya khawatir tidak sengaja membunuhku. Oliver pasti tahu dibandingkan dirinya, aku serapuh kelopak bunga.
Oliver dan Chris tampak sangat waspada, membeku namun menajamkan naluri ketika Victor muncul dan berjalan ke arah kami, keluar dari bayang-bayang hitam yang dibuat tepian tebing runcing yang mengelilingi padang terbuka. Ia bertelanjang dada, matanya memancarkan cahaya perak, dan setelah lumayan dekat aku melihat ukiran-ukiran keunguan muncul juga di wajahnya—bukan saja di wajahnya, tetapi juga di seluruh bagian tubuhnya yang terlihat—memoles kulitnya yang liat dan pucat dengan alur-alur rumit dan dramatis.
Aku bisa merasakan tubuh dua pelindungku menegang. Seolah kehadiran Victor adalah ancaman yang sesungguhnya, alasan dari tindakan keamanan berlebihan ini.
Victor berhenti empat-lima meter dari tempat kami. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat ekspresi terluka di wajahnya—ekspresi yang mengalahkan semua perasaan yang harusnya menjadi serangan ketakutan bagi orang normal. Aku tidak takut dengan perubahannya ... garis-garis ungu gelap itu bukanlah masalah buatku ....
Lalu sekali lagi ia membungkuk kesakitan di hadapanku, tiba-tiba saja menyemburkan pendar serupa halo yang membuatnya seolah terbuat dari cahaya. Namun sepersekian detik sebelum refleksku bekerja, jari-jari kokoh Chris sudah menyambar pergelanganku, menahanku jauh lebih kuat. Jadi, aku tahu aku hanya dibiarkan berdiri di sini melihatnya menderita—
Omong kosong! Kukejangkan lenganku sekuat-kuatnya, memberikan perlawanan terakhir. Aku baru berhenti setelah Chris menggeram padaku.
Menyusul selanjutnya erangan kepiluan memecah malam. Jauh lebih menyakitkan dan menyayat hati ketimbang rintihan dan nyanyian malam sendiri. Angin dingin mendesir bagai siulan hantu. Danau beriakan dengan air yang meronta marah. Hutan di sekeliling kami tak kalah mengadu; dahan-dahan dan dedaunan kering berterbangan menyapu kuncup rumput, memecah kabut tipis yang mengelilingi arena pengakuan. Sang rembulan hanya menyeringai dingin di atas singgasananya—mungkin berharap akan ada yang mati. Dengan pengecut bintang-bintang bersembunyi kian dalam di balik hamparan hitam topeng langit. Victor menunduk pasrah dengan mata terpejam—cahaya seutuhnya telah terserap kembali ke dalam tubunya. Giginya saling menekan kuat-kuat, dan saat itulah perlahan-lahan kulihat satu per satu pisau hitam tumbuh dari punggungnya—merobek kulitnya dan mencipratkan darah gelap—sebelum melesak keluar dan merentang dengan dramatis.
Bersamaan dengan penderitaannya, salju yang selembut dan seputih kapas turun dari Surga untuk pertama kalinya.
***
Semua dongeng dan kisah tak pernah benar-benar meyakinkan aku bahwa malaikat hidup di sekitar kita—tidak sampai saat ini aku melihatnya berdiri di hadapanku.
Dengan kasatmata.
Bukan dalam alam mimpi atau sekadar suara dari intuisi semata. Atau mungkin ilusi ...
Ia bersayap seperti yang diceritakan dalam dongeng. Tapi tidak berwarna putih yang melambangkan kesucian, melainkan hitam yang identik dengan kegelapan. Hitam legam dan mengilap karena bulu-bulu lembut tidak tumbuh seperti yang digembar-gemborkan orang-orang—itu adalah ratusan sesuatu mirip kristal pipih runcing yang digabungkan membentuk sayap, yang ketika melesak menembus kulitnya, memuncratkan darah segelap timah. Dan meskipun tampaknya lukanya memulihkan diri seketika, tak akan mengobati penderitaannya, ingatan akan rasa sakit.
Ia indah, tentu saja. Jika indah hanya sekadar untaian kata, ia lebih indah dari pengucapannya. Ia sempurna. Sungguh sangat sempurna. Kesempurnaan yang membuat seseorang yang mengucapkannya sampai menitikan air mata. Terharu dan tak percaya, ada keindahan yang ratusan kali di atas akal sehat dan logika.
Victor tidak menatapku. Ia sengaja membuang pandangan suram ke arah danau. Tampaknya ia tidak ingin beradu pandang denganku. Ada keheningan yang panjang di antara kami berempat setelah seluruh gejolak alam tadi surut. Di sekitar kami salju turun semakin lebat—bukan badai, tapi jumlahnya semakin banyak. Puncak-puncak kepala kami menjadi pendaratan sempurna bagi salju-salju mungil sebelum akhirnya mencair—setidaknya di kepalaku yang panas. Karena salju-salju itu tetap menjadi kapas putih di atas kepala ketiga makhluk indah di hadapanku.
Aku menyadari tangan dingin Chris masih mencengkeram pergelangan tanganku. Sebetulnya ia mau melindungiku dari apa, sih?
Dengan agak keras kepala aku mengentakkan tanganku—aku terkejut karena Chris akhirnya menyerah dan melepaskan cengkeramannya. Geramannya melunak, wajahnya tertunduk. Ia mundur. Matanya sudah kembali seperti biasa, hijau dan hangat.
“Terima kasih,” bisikku. Chris hanya balas menggeleng suram seolah ia tak akan lagi melihatku.
Aku merasakan ketegangan makhluk-makhluk itu ketika aku memutuskan untuk berjalan beberapa langkah—bahkan Victor sendiri menoleh terkejut saat mendapatiku berjalan ke arahnya. Matanya yang berwarna perak berkilat mengancam—giginya meletupkan geraman. Aku sangat senang mendapatkan perhatiannya—tanpa dapat kucegah bibirku melengkungkan senyuman. Ekspresiku membuat Victor menautkan alisnya yang hitam dan mengilap, membentuk ekspresi bingung yang agak kekanakkan kali ini. Ia berdiri lebih tegap dan defensif ketika jarak kami hanya satu meter. Saat itu tak ada hal lain yang kupikirkan selain menghambur ke dalam pelukannya, menikmati semua gejolak primitif ini dengannya.
“Jangan ceroboh,” ia memperingatkanku dengan galak. Meskipun garis-garis keunguan gelap tipis itu kini melukis sebagian wajahnya, sama sekali tidak mengurangi ketampanannya—ia bahkan jauh lebih mengagumkan dengan metamorfosis ini.
Aku tidak lagi mendengarkan peringatan itu—dalam sedetik aku sudah meluncur ke dalam pelukannya dan terbenam di permukaan dada telanjangnya yang terasa beku. Ia tidak membalas pelukanku—bahkan dengan sikunya ia menahan kedua tanganku ketika hampir menggapai punggungnya.
“Ujung sayapku bisa mengoyak kulitmu dalam satu kali sentuhan kecil yang ceroboh itu,” ia memperingatkan dengan mendesis. “Aku ini bukan malaikat seperti dalam fantasi itu.”