CAHAYA emas mentari segera menyabotase penglihatanku, barulah setelah itu aku menemukan sesuatu yang lebih indah dari sekadar cahaya matahari; Victor berdiri di hadapanku, sedikit membungkuk, wajahnya begitu dekat dengan wajahku, hingga begitu menyakitkan menyadari bahwa wajah bangun tidurku mungkin tak lebih baik dari balon yang terlalu banyak udara.
“Bermimpi indah semalam?”
“Aku hanya bermimpi melihat segalanya bersinar,” ujarku jujur.
“Semoga itu pertanda baik.”
“Tentu saja itu pertanda baik!”
“Kau selalu memiliki ekspektasi positif mengenai segala hal, aku khawatir kelak sesuatu mengecewakanmu,” renungnya.
“Aku malah khawatir aku mendapatkan terlalu banyak keberuntungan,” tukasku, dan kulihat ia spontan memutar bola matanya.
“Well, Sebastian sedang menyiapkan sarapan untukmu. Aku sudah memintanya mengantarkannya kemari,” ia memberitahuku.
“Kau tidak perlu memperlakukanku seperti orang sakit,” protesku.
“Esther yang menyarankan agar setelah kau bangun tidur kau tidak langsung beraktifitas. Setidaknya sebelum kau meminum ramuan yang terakhir,” ia menjelaskan dengan sabar.
“Kalau persoalannya menyangkut Esther, apa yang bisa kulakukan?” keluhku.
Well. Rasanya agak asing melihat Victor dalam keadaan normal, tanpa sayap kristal yang tumbuh menembus punggungnya dan nadi ungu yang menyerupai alur-alur meliuk yang bermunculan di permukaan kulitnya. Setelah melihat metamorfosisnya semalam, aku tahu perubahan itu tak mudah dan sangat menyakitkan—jelas bukan pilihan yang mudah untuknya. Victor tidak seperti Claudius, andaikan ia diberikan pilihan untuk tidak menjadi Qweider, aku yakin ia akan mengambilnya dengan senang hati. Yang terjadi di dermaga itu bukanlah kemauannya—Victor masih sangat polos dan keadaan saat itu mendesaknya. Ayahnyalah yang menanamkan berbagai pikiran keji dan gelap di kepalanya. Claudius makhluk berdarah dingin itu ... Aku buru-buru membuang jauh-jauh pikiran itu saat perutku mulai terasa mual ....
“Apa aku boleh bertanya satu hal?” tanyaku lamat-lamat. Aku menaruh kedua tanganku di atas bantal dalam dekapanku.
“Tentu.”
“Apa yang terjadi pada Chris dan Oliver kemarin? Mereka juga mengalami ... metamorfosis.” Aku memandangnya dengan waswas, takut topik ini merusak mood baiknya. Victor tidak selalu secerah hari ini. Tapi aku tidak dapat menyingkirkan keingintahuanku lagi. Tak ada lagi informasi yang boleh kulewatkan—tidak jika itu nantinya akan mengerucut kepada dirinya. “Aku melihat sesuatu seperti tanduk baja tumbuh di bahu Chris dan siku Oliver ... dan pada punggung telapak tangan mereka ketika mengepal, aku melihat ....”
“Chris dan Oliver adalah Grimlock. Mereka bukan penyihir biasa; mereka adalah keturunan para Black Shadow—penyihir-penyihir terkuat yang pernah ada,” ia menyelaku, menjelaskan itu semua dengan cepat dan suara tak terbaca. Kontan aura cerahnya sirna; aku sudah menduga topik ini akan merusak mood-nya. Dengan perlahan Victor berjalan menghampiri perapian, menuju ke jendela, menghalangi sinar marahari yang masuk ke dalam ruangan dengan posisi memunggungiku. “Namun darahkulah yang mengubah mereka menjadi seperti itu. Claudius membuat perjanjian dengan ayah mereka untuk mengubah anak mereka menjadi pendampingku—penyeimbangku.”
Seperti tertarik ke dalam pusaran, ingatanku mendadak mundur untuk menggali kembali memori yang tertinggal. Victor pernah mengatakan itu di restoran Prancis di Tipplepot. Ia menyebut-nyebut tentang Chris dan Oliver, bagaimana dirinya membutuhkan penyeimbang—aku terkejut karena jauh sebelum hari ini Victor telah mengungkapkan kebenaran tentang dirinya kepadaku.
“Penyeimbang bagaimana yang kaumaksud?” tanyaku, tanganku menurunkan selimut sementara kakiku menggapai-gapai selop dan memakainya. Aku lalu menghampirinya.
“Katakanlah aku tidak selalu dapat mengontrol diriku, terutama ketika aku berubah. Hanya jika Chris dan Oliver mengubah diri mereka, kekuatan mereka sanggup menahan ledakan kekuatanku—tidak lama, tapi cukup membantu,” ujarnya. “Semalam aku sedang beruntung. Kau sangat beruntung.” Ia tersenyum ironis kemudian berpaling.
“Berapa umurmu?” tanyaku beberapa waktu kemudian. “Jika Claudius sendiri berusia ratusan tahun, paling tidak berapa ratus umurmu?” Aku menelan ludah. Aku belum pernah menyinggung usianya—usia yang sebenarnya.
Ia menatapku seperti sedang membaca ekspresiku. “Delapan belas,” jawabnya, suaranya terdengar nyaris geli.
“Delapan belas?” Aku merasakan dadaku seperti terbentur sesuatu. “Delapan belas dengan satu angka tambahan di belakang itu? Jujurlah padaku,” aku memohon.
Aku melihat kedua alisnya terangkat, ekspresinya masih terlihat geli.
“Betul-betul tidak ada angka tambahan,” jelasnya kalem. “Aku memang masih berumur delapan belas tahun. Aku akan terus bertumbuh setidaknya sampai Claudius menyerahkan takhta dan kekuatan murninya kepadaku. Ia menerima takhta dari William ketika umurnya sembilan belas tahun, dan Claudius tidak pernah menua sedikit pun sejak saat itu.”
Ia menghela napas sementara aku masih terpaku mendengarkan pengakuannya.
“Lontarkanlah. Apa lagi yang ingin kauketahui?” ia memancingku.
Aku menggigit bibir saat menggeleng. “Sebetulnya sudah cukup—eh, tidak, belum,” ralatku sedetik kemudian dengan nada yang terlalu tinggi.
Victor tersenyum melihat kehebohanku. Hari ini ia betul-betul sangat ramah. Sedikit mencurigakan, tapi membuat perasaanku nyaman.
“Kalau boleh menebak lagi, pasti soal Epso, elang hitam raksasa yang konon menjadi peliharaan si Qweider jahat itu,” ujarnya.
“Bagaimana kau bisa tahu?” Aku terpesona dengan tebakannya yang tepat sasaran.
“Kau sudah banyak mendengar mitos, kau pasti punya pertanyaan lebih banyak dari harapanku. Sebetulnya aku memang akan menunjukkannya kepadamu,” gumamnya. “Sehabis kau menghabiskan sarapan terlambatmu dan bersiap-siap pulang ke rumah.” Ia kemudian melirik ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Masuklah, Sebastian.” Dan nampan-nampan penuh makanan lezat mulai di hidangkan di atas meja mahoni kuno bundar di tengah ruangan.
Setelah sarapan, Victor meninggalkan aku sendirian untuk bersiap-siap. Sebetulnya aku belum mau pulang, tapi malangnya aku tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di kastelnya sementara lukaku sudah pulih dengan sempurna. Masih dengan jubah mandi, aku mengeluarkan semua barang dari dalam kantong kertas bermerek ke atas tempat tidur. Seseorang dengan sangat murah hati menyiapkan aku pakaian dan sepatu baru.
Sebelum turun dan meninggalkan kamar Victor, aku membiarkan diriku memindai ingatan sedalam mungkin tentang kamar ini. Victor akan menempati kamarnya lagi setelah aku pergi. Kamar ini suram, minim cahaya setelah matahari terbenam, tapi aku sangat menyukainya. Aku membayangkan Victor memejamkan mata di tempat tidur itu dan terlelap dalam damai, sementara perapian besar menyala-nyala, membuatnya tetap hangat. Apakah ia merasakan kehangatan oleh api itu juga? Ataukah ia tidak lagi membutuhkannya ... ia bukanlah manusia biasa yang akan sengsara karena cuaca-cuaca ekstrem dan membutuhkan perlindungan tertentu untuk bertahan. Ia lebih kuat dari itu. Jutaan kali lebih kuat ....
Aku menyusuri lantai batu yang luas untuk sampai d ruangan utama. Victor sudah menungguku di sana, dan di belakangnya aku melihat Esther sibuk mengisi sebuah tas bermerek dengan pakaianku; kostum Helena Waite yang terakhir kupakai untuk syuting, terlipat sempurna dan bersih tanpa noda. Sebetulnya ia tidak perlu menggunakan tas desainer seharga ribuan dolar untuk menaruh kostum murah yang dibeli Emma di toko kelontong di Wiggywamp, plastik biasa saja sudah lebih dari cukup, batinku.
“Margaret yang memilihkan semua pakaianmu. Kuharap kau merasa cocok,” ia memberitahuku begitu aku menghampirinya.
“Semuanya bagus sekali.” Bahkan celana jeans-nya dilabeli desainer Itali yang sangat terkenal. Blus dan jaket hitamnya juga sama nyamannya. Bahkan sepatunya, ia memilihkan yang benar—sepatu dengan sol datar. “Titipkan ucapkan terima kasihku yang sebesar-besarnya untuk Margaret—aku akan segera mengembalikan semuanya begitu kucuci bersih.”
“Jangan konyol,” tukasnya. “Marge akan tersinggung kalau kau mengatakan itu di depannya.”
Kami lalu berjalan menyusuri koridor megah yang di kanan-kirinya berjajar baju zirah. Ternyata kastel Victor jauh besar lebih besar dari dugaanku, banyak sekali ruangan-ruangan besar mirip aula dan koridor yang menghubungkan satu ruangan dengan ruangan yang lain. Jika aku tidak berjalan bersamanya, mungkin aku sudah tersesat sekarang. Aku belum pernah masuk ke kastel melewati pintu utama. Awal kedatanganku ke sini ketika Victor membawaku berteleportasi dari hutan, sekujur tubuhku penuh dengan luka, dan semalam Chris membawaku ke danau lewat pintu lain di ruangan bawah tanah yang langsung menghubungkan ke belakang kastel, tempat gazebo pualam itu berdiri dengan dramatis.
Di halaman depan kastelnya, aku menatap patung gargoyle yang berbentuk makhluk setengah naga dengan hati nelangsa. Aku merasa sangat sedih ketika membayangkan akan menyambut esok hari di kamarku yang seputih susu dengan rutinitasku yang lama ....
Aku ingin bersamanya, lebih lama lagi ....
Aku berusaha tidak bersikap sentimentil ketika Victor membukakan pintu mobilnya untukku. Ketika Victor memutar mobilnya melewati air mancur, di sisi tenggara halaman aku bisa melihat VW Beetle perak milik Margaret terparkir—kami pernah menggunakan mobil itu waktu ke Tipplepot—berkilauan seperti cermin ketika tertimpa cahaya matahari.
“Mobil Margaret ada di halaman kastelmu,” komentarku menunjuk ke arah mobil silver itu.
“Siang tadi Marge datang meminjam Neptune, salah satu kudaku,” ia memberitahuku.
“Kau punya kuda?”
“Aku memiliki dua ekor. Aku dan teman-temanku suka berkuda. Kuda Marge mati beberapa waktu lalu. Ia belum juga menemukan pengganti Schona sampai sekarang. Memang sulit menemukan kuda secantik itu.”
“Dan nama kudamu Neptune?”
“Mm-mh. Yang betina, Neptune, sangat cantik dan jinak. Satunya Arthur, si jantan, agak ganas dan hanya patuh kepadaku.”
“Margaret berkuda di tengah salju, apa ia akan baik-baik saja?” aku bertanya, merasa agak khawatir.
“Jangan khawatir, Marge lebih tangguh dari apa yang ditampilkannya kepada semua orang. Tentu saja ia sangat berbeda dengan gadis cengeng yang kukenal.” Aku melihat Victor melirikku ketika mengatakan kalimat ‘gadis cengeng itu’—apa itu maksudnya aku?
“Apa maksudmu?” tuntutku langsung. Jelas aku tersinggung, kehidupanku tidak mudah dijalani seperti kehidupan manusia pada umumnya. “Memangnya kau pernah melihatku menangis?”
“Kau menangis semalam,” ia mengingatkan aku.
Aku mengerutkan alis, mengingat-ingat—lalu jengkel. “Baik, selain itu.”
Ia diam sejenak. Memandang lurus jalan, mengemudikan dengan pelan. Aku berharap itu karena ia ingin bersamaku lebih lama.
“Kau juga pernah menangis di depan toko kaset di Crookedwands,” ujarnya dengan suara lebih pelan.
Aku berpikir sesaat. Lalu sebuah memori menghantamku; aku ingat saat aku sedang mencari kado untuk Alex, tapi dompetku tertinggal. Aku merasa agak frustasi hari itu. Tapi aku tidak menangis, seingatku. Atau aku menangis tapi aku tak ingin mengakuinya. “Tunggu, kalau kau melihatku menangis di Crookedwands, berarti saat itu kau juga ada di sana.”
“Ah.”
Tiba-tiba saja ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, berbelok ke kiri ketika seharusnya mengambil jalur satunya jika ia memang hendak mengantarku pulang ke rumah. Di luar keingintahuan Victor akan membawaku ke mana sekarang—jelas bukan membawaku pulang ke rumah—aku lebih ingin tahu apa yang ia lakukan di Crookedwands hari itu.
“Aku ingin kau menjelaskan sesuatu,” tuntutku. “Apa yang kaulakukan di Crookedwands hari itu? Apakah kau ... membuntutiku?”
“Apa orang Amerika tidak pernah mendengar istilah ‘kebetulan’?” keluhnya.
“Itu bukan kebetulan,” protesku. Aku yakin seratus persen. Taruhan nyawa pun aku berani. Aku mengingat-ingat hari itu di dalam kepalaku—kontan aku meringis. Kenapa takdir tidak pernah membiarkan aku terlihat sedikit indah dan dramatis di matanya?
“Oh, uang itu!” Tiba-tiba aku teringat. “Uang seratus dolar yang bergulir begitu saja di depanku,” seruku. “Apa itu kau? Kau sengaja menerbangkan seratus dolar itu agar aku memungutnya, kan?”