DENGAN panik, aku segera turun dan menghampiri Oct. Kelihatannya tidak ada yang selamat dari ledakan itu. Kekecewaan dengan lambat menyergapiku—punggungku segera digelayuti kesedihan yang tiada tara. Meskipun begitu aku merasakan secercah harapan dari keyakinanku; kata-kata Oct bergema di kepalaku, “Ia tidak akan mati semudah itu”. Benar saja, ketika asap dan kebakaran di sekitar kami mulai mereda, aku melihat Victor berdiri tegak di atas batu-batu hitam berpayung pepohonan kuno. Tanpa cela, anggun, dan mematikan.
“Aku sungguh kecewa dengan kemampuanmu dan sihirmu yang membabi buta,” decak Victor dengan nada meremehkan. “Dengan kemampuan seperti itu, aku tidak heran kenapa Sandy tidak pernah memilihmu. Kau menyedihkan, October.”
Aku merasakan kemarahan Oct menular kepada diriku. Ucapan Victor jelas bertujuan untuk memancing Oct supaya menyerangnya—tapi untuk apa ia melakukannya? Aku sibuk bertanya-tanya dalam hati ketika ledakan mobil di sekitar kami memudar. Kobaran api perlahan-lahan surut, berubah menjadi asap ketika salju meredakannya.
Mataku terpaku ketika melihat kepalan tangan Oct sudah berlapis cahaya kehijauan yang sangat menyilaukan. Jika ia melemparkan kilat itu kepada Victor, aku tak bisa membayangkan yang akan terjadi kemudian.
“Kalian tahu, semua ini sangat konyol,” aku merajuk, beringsut berdiri di tengah-tengah mereka berdua. “Victor,” aku mulai padanya lebih dulu, “apa maksudmu dengan mengatakan kebohongan itu kepada October? Aku tahu kau tidak akan menyakitiku—kau tidak mungkin melakukan hal buruk pada diriku, kau tahu itu.” Aku menyempatkan melirik Oct, merasakan ketika ia menegang. Tubuhnya kaku bagaikan palang besi, berdiri di antara kepingan mobil yang berserakan di tanah hitam dan rumput bersalju.
Mata Victor meneliti wajahku. “Omong kosong dengan semua yang sudah kukatakan padamu. Aku tidak akan pernah menjadi seperti yang kauharapkan, Sandy, aku ini ... jahat. Suatu saat nanti ketika aku mendapatkan hakku, kau akan menyesal karena memercayaiku. Kau tolol, ceroboh, gemar bermain api ... kaupikir kau benar-benar menarik perhatianku karena kau ... indah?” Victor menyeringai keji. “Kau bahkan sama tololnya dengan gadis di dermaga itu, berpikir bisa menolongku.” Victor terlihat begitu tenang ketika mengatakan itu semua. Seolah ia ingin menunjukkan betapa rendah diriku di matanya—namun aku tahu ia hanya berpura-pura. Matanya tidak bisa membohongiku, aku mengenalnya.
“Kau monster,” desis Oct. “Jiwamu dikutuk. Kau akan merana selamanya, tenggelam dalam lumpur kenistaan atas nyawa-nyawa tak bersalah yang jiwanya kaucuri. Mereka akan mengutukmu selamanya. Bahkan kekuatanmu tidak akan sanggup menyelamatkanmu. Kau berkubang dalam dosa yang tak termaafkan. Kau makhluk paling tercemar di muka bumi.”
Mulanya aku mengira kalimat-kalimat itu akan membuat Victor terbakar amarah. Tetapi di luar dugaan, ia tetap tenang, bahkan aku melihat senyum muncul di wajahnya, mengembang seperti orang yang baru saja mendengar pujian.
“Apa para petinggi penyihir yang menjabarkan fakta itu kepadamu?” gumamnya, mengerucutkan bibir dengan mimik mengejek. Kemudian sudut-sudut bibirnya kembali terangkat membentuk seringai licik. “Kita lihat saja, apakah kemampuanmu sehebat kebencianmu itu. Apakah kau layak atas Sandy atau tidak.” Lalu ia menghilang setelah mengucapkan itu, bersamaan dengan kabut yang muncul di sekitar kami.
Sontak mataku mencari-cari sosoknya di antara kabut yang perlahan memudar dan kegelapan yang membentang di hadapan kami. Tapi aku tetap tidak menemukan bayangannya sekalipun. Saat itulah, sebuah bunga api meletus di angkasa—berwarna perak; jika kondisinya tidak seperti sekarang, mungkin aku akan menganggap bunga api itu indah. Tapi aku tahu bunga api yang diletupkan tak jauh dari tempat ini adalah undangan Victor untuk October. Ajang untuk membuktikan sesuatu yang tak perlu.
“Sudah kuduga,” itu gumaman Oct sebelum ia menembus ke dalam hutan, ke arah bunga api perak itu. “Jangan ikuti aku, tetap di sini,” ia berpesan tepat sebelum sosoknya lenyap ditelan kabut.
Tanpa pikir panjang aku segera mengikuti Oct, menembus belantara pepohonan kuno yang menjulang menaungi apa saja di bawahnya dari salju. Otakku kebas dan seolah mengental ketika kutapaki langkah demi langkah tanah keras. Aku melewati jembatan di atas sungai yang setengahnya sudah mengeras menjadi es, dan setelah menapaki bertubi-tubi tangga batu aku menemukan hamparan luas pemakaman kuno dengan nisan-nisan batu menjulang di tanah berbukit-bukit. Sebagian dari nisan-nisan itu tampak tidak utuh lagi dimakan waktu. Patung-patung marmer kuno berbentuk malaikat dengan jubah panjang dan sayap berdiri di mana-mana—beberapa tanpa kepala, sayap patah, bahkan kehilangan bentuk yang lebih parah—berselimut lumut hitam yang telah mengerak.
Aku melihat sekelebat cahaya hijau ketika menyusuri undakan kedua di mana sebuah nisan dengan tugu besar berlambang burung merpati putih di bagian puncaknya berdiri. Tanpa membuang waktu, aku segera menghampiri sumber kilatan barusan—dan bongkahan apa yang hancur karena menerima kilatan tersebut. Benar saja, sesampainya di sana aku melihat sebuah patung marmer setinggi dua meter berbentuk seorang dewi baru saja terbelah, dan Victor baru saja mendarat mulus di atas tugu dengan puncak datar di sebelah timur—kelihatannya berhasil menghindari serangan Oct.
“Apa kalian gila?” Aku segera menghambur ke arah Victor. “Hentikan semua ini, October Landford!” Aku menunjuk Oct. “Victor memperdayamu hanya agar kau membawaku dari kota ini, kau akan sangat menyesal mengetahui alasannya—dan kau,” aku mengerlingkan pandanganku setajam mungkin ke arah Victor, berusaha terlihat mematikan. “Berhentilah bersikap seolah-olah kau senang menyingkirkan aku dari hidupmu.”
“Maafkan aku, Sandy,” aku mendengar Oct bergumam sebelum sebuah kilat hijau lembut menghantamku—tidak timbul rasa sakit apa pun ketika kilat itu mengenai tubuhku, hanya saja batang-batang pohon di sekitar makam mendadak menjadi hidup. Sebuah ranting berhasil membelit tubuhku dan menyeretku merapat ke inangnya. Ketika aku meronta-ronta membebaskan diri dari ranting itu, bukannya bebas, ranting itu malah mengikatku semakin kuat.
“Sialan kau, October! Lepaskan aku!”
Tak ada yang menghiraukanku lagi, dan aku sadar pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai; ketika aku harus melihat orang-orang yang kusayangi saling melukai.
Ketika kilatan-kilatan hijau mulai memenuhi pemakaman—sementara itu aku tidak melihat satupun cahaya perak di sana—aku mulai curiga dengan tujuan Victor menantang Oct berduel. Apa sebenarnya motifnya? Aku tahu, Victor bisa saja dengan mudah mengalahkan Oct; meskipun Oct sangat sakti dan menguasai seluruh sihir penyerangan, Victor tetap bukan tandingannya. Teorinya, tidak ada satu penyihir pun yang mampu mengalahkannya selain Claudius.
Aku semakin curiga pada motifnya ketika menyaksikan yang Victor lakukan hanyalah berkelit, menghindari semua kilat hijau itu dengan kecepatannya yang di luar kemampuan penyihir mana saja. Victor adalah makhluk alami dengan kemampuan sihir tak terhingga, bukan sekadar bakat yang secara khusus dilimpahkan atau keahlian yang didapat dari latihan, ia memang tercipta untuk menjadi yang terkuat; Victor selalu menghilang dan muncul di tempat lain yang tidak terduga—tepat di saat kilat Oct hampir mengenainya. Sementara itu, Oct harus berjuang keras mengerahkan seluruh kekuatan dan intuisinya untuk membuat kilatnya mengenai Victor, bukan hanya kabut asap hitam yang ditinggalkan Victor setiap kali menghilang—atau cahaya keperakan tipis ketika Victor menghilang untuk jarak yang lebih jauh.
Meskipun tak ada satupun anggota tubuh selain wajah yang bisa kugerakkan, aku merasakan setiap kali kilat Oct hampir mengenai Victor, tubuhku mengejang hebat seperti tersengat listrik.
Napasku semakin tak beraturan ketika Oct semakin pandai menebak di mana Victor akan muncul setelah ia menghilang. Teleportasi Victor yang bertubi-tubi membuat Oct belajar banyak tentang intuisinya—mengasah insting dan perasaannya—bagaimana cara menyerang musuh yang secepat kilat, memprediksi rencana dan pikirannya.
“Aku tidak akan menyerahkan Sandy kepada orang yang bahkan melindungi dirinya sendirinya tidak becus,” Victor berkata lantang—kemudian sebuah kilat berwarna perak lemah menghantam Oct dan melemparkannya ke hutan di sekitarnya.
“Tidak, Victor, jangan!” pekikku parau, ranting dan akar pohon yang membelitku mencengkeramku semakin kuat ketika aku mencoba mengentakkan diri.
“Sahabat kecilmu ini harus berlajar bagaimana mengatasi musuh yang jauh lebih kuat. Manusia dengan begitu banyak kemarahan selalu mudah ditaklukkan, ingat itu.” Victor menghilang lalu muncul tepat di atas Oct yang mencoba bangkit dari serangan barusan. “Kau akan mati sebelum bisa melakukan hal yang terbaik untuk Sandy, October. Kau lemah. Kau terlalu lemah bahkan untuk sekedar mempertahankan jiwa kecilmu yang rapuh itu. Aku bisa mencium jiwamu, terlalu banyak rahasia dan ambisi.”
Dengan gerakan kecil Victor lalu membuat Oct terangkat dan melayang-layang di udara, melemparkannya tanpa perasaan ke nisan tua hingga separo batu itu roboh.
“Victor, tidak!” pekikku lagi, tapi tetap tak ada yang menghiraukanku.
“Kaupikir kau kuat, October? Kaupikir kau sanggup melawanku?” Victor menghilang lagi, kemudian muncul di atas tugu besar di atas Oct yang bangkit dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. “Aku bisa mengoyak jiwamu ke dalam seratus bagian kecil yang terbakar hingga kau memohon-mohon padaku agar melenyapkan dirimu—bahkan jika aku menawarkan agar melemparmu langsung ke neraka kau akan menyambut usul itu dengan air mata kebahagiaan.” Victor mendengusi setiap katanya, keprihatinan dan rasa muaknya pada kelemahan Oct membuatnya tampak memiliki dua kepribadian yang saling bertolak belakang dan saling mengalahkan.
Aku melihat amarah Oct menggelegak di dalam dirinya. Di sisi lain, aku baru memahami satu situasi, kemampuan yang membedakan Victor dengan penyihir lain—Qweider mampu melakukan teleportasi yang tidak dapat dilakukan penyihir lain. Itulah yang membuatnya sangat superior, terlihat dengan jelas dalam situasi ini; perpindahan kilat dari jarak dekat maupun jarak jauh, menyerang musuh tanpa peringatan terlebih dahulu.
Kali ini kilatan hijau yang dilayangkan Oct mengenai tangan kiri Victor, lalu serangan lain dilancarkan Oct bertubi-tubi padanya.
“Mundur, Erville!” teriak Victor ke arah kegelapan hutan di belakangnya ketika berusaha meredam serangan October. “Jangan ikut campur kali ini.”
Tentu saja elang hitam itu akan datang. Ia dan Victor berbagi jiwa, atau jika jiwa tidak dapat dibagi dengan cara seperti itu. Jiwa mereka selaras dengan frekuensi yang sama, melebur menjadi satu, saling merasakan dan berbagi pengalaman. Maka dari itu, Erville akan mematuhi segala perkataan majikannya bagaikan mendengarkan pikirannya sendiri, termasuk jika majikannya memintanya untuk mundur atau bertarung hingga mati. Kali ini Victor memerintahkan agar elang itu pergi.
Pemandangan detik selanjutnya membuat perutku mual, lagi-lagi aku tidak lagi melihat kilat perak dalam pertarungan ini. Dan yang membuatku semakin panik, aku melihat Victor sengaja melambat-lambatkan gerakannya agar Oct bisa menyerangnya. Aku tahu ia bisa bergerak lebih cepat dari itu, ia bahkan bisa saja mengalahkan cahaya sekalipun dalam urusan kecepatan. Ia memberi kesempatan untuk Oct mengumpulkan tenaga, membiarkan Oct menyerangnya kembali dengan kilat-kilat yang sanggup menghancurkan apa saja. Sama sekali bukan duel yang adil.
“Aku mohon, hentikan, Oct! Aku bersumpah akan melakukan apa saja agar kau mengentikan serangan itu! Apa saja!” Aku berteriak dengam frekuensi yang tertinggi yang sanggup dikeluarkan pita suaraku; yakin, Victor sudah memilih membiarkan dirinya diserang tanpa perlawanan balik.
“Jangan dengarkan dia,” Victor menyela semua teriakan dan permohonanku. “Yang kauinginkan adalah aku. Ayo, kita lihat sampai di mana kekuatanmu. Aku tidak akan membiarkan Sandy memiliki pelindung yang—“ Cahaya hijau yang menyerangnya mengentikan kalimatnya—Victor terpelanting cukup jauh hingga tubuhnya menghantam dua nisan kuno sekaligus, menghancurkan keduanya dalam bunyi gelegar kehancuran yang mengerikan.
“Tidak,” seruku parau dan lemah karena shock. “Bunuh saja aku, Oct, kalau itu yang kauinginkan! Jangan dia, jangan sakiti Victor! Aku mencintainya, Oct! Aku mohon, aku akan pergi bersamamu kalau itu yang kauinginkan—itu yang dia inginkan.” Air mataku luruh tak tertahankan seperti hujan salju yang mendadak turun dengan lebih deras di pemakaman. “Victor ingin kau membawaku pergi dari kota ini karena ia berpikir aku akan berada dalam bahaya jika bersamanya; semua serangan para penyihir itu belum berakhir—dan ia beranggapan ialah yang memicu semua hal itu. Victor ingin aku tetap aman, dan ia memilihmu melakukannya—menjadi penyelamatku. Ia hanya memperalatmu.”
“Aku sudah pernah memberitahumu, October.” Alih-alih terbaring, Victor sudah berada di antara dua nisan kuno besar di sebelah barat dari tempatnya sebelumnya, memandang melamun ke arah hamparan nisan, seolah berharap nisan-nisan itu memberitahunya sesuatu. “Enam orang penyihir hampir membunuhnya—karena aku. Karena mereka memanfaatkan Sandy untuk memancingku,” lanjutnya. Aku melihat goresan luka di ekspresi wajahnya, membeku bagaikan dipahat dengan kesakitan yang tidak ingin dibayangkan siapapun. “Dan mereka tak akan pernah berhenti, terutama setelah menemukan apa yang mereka pikir adalah titik lemahku. Masalahnya, aku tidak selalu mampu melindunginya—terutama dari ... diriku sendiri.” Tanpa disangka-sangka, berlainan dengan ekspresi kepedihannya yang melekat pada wajahnya, Victor lalu mendesiskan tawa. “Andaikan seribu tahun yang lalu Willliam tidak mendapatkan kutukan itu, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Seharusnya malaikat itu dibuang ke Neraka, tapi karena William memotong tenunan takdir, Neraka murka dan mengutuknya. Malaikat terbuang itu pastilah begitu didambakan para penghuni Neraka—ksatria Surga yang membelot. Neraka mengutuk darah dan jiwa William hingga hanya kenistaan yang tersisa untuk diwariskan.” Victor menghilang, lalu muncul lagi di belakang Oct—Oct segera membalikkan badannya dan beringsut mundur dengan waspada.
“Mudah saja menghancurkan para penyihir itu—yang kemarin muncul hanyalah segelintir kecil dari penyihir yang menaruh dendam pada kebrutalan yang terjadi pada tahun 1848, ratusan yang lain menunggu di suatu tempat, terorganisir namun tetap tak sebanding dengan kekuatanku. Masalahnya, pertarungan sengit melawan mereka hanya akan mengundang perhatian kekuatan yang tak sebanding dengan apa pun.” Aku melihat raut wajahnya membeku. “Tak ada yang bisa kuperbuat jika Claudius tertarik untuk kembali ke Verotica. Semua orang akan berada dalam bahaya—terutama Sandy, parasit yang membuat lubang pada pertahananku, itu akan sangat menarik minatnya.”
Aku terkejut dengan pemikiran dan prediksi Victor itu. Ternyata bukan para penyihir yang mencoba membunuhku satu-satunya yang ia khawatirkan. Masalahnya jika penyihir-penyihir itu mendapatkan Victor karena aku, Claudius akan muncul untuk menyelesaikan semuanya; ia akan mencari tahu sendiri bagaimana putranya, darah dagingnya, makhluk lain yang mewarisi susunan genetisnya dapat ditaklukkan—menyerah kepada keadaan? Makhluk dengan ego sebesar itu pasti amat murka mengetahui fakta bahwa pewarisnya memiliki lubang di mana musuh-musuhnya bisa memanfaatkan itu. Dengan kata lain, Victor ingin aku menghilang dari Verotica agar lubang itu pergi bersamaku. Agar Claudius tidak akan pernah menemukan lubang itu. Dan Oct adalah penyihir yang dipercaya Victor mampu membawaku pergi dengan selamat dari tempat ini, menggantikan posisinya untuk melindungiku…
Masalahnya jika penyihir-penyihir itu tetap akan mengejarku—aku yakin mereka akan melakukannya—meskipun aku tak lagi tinggal di kota ini, itu artinya meskipun aku menghilang aku tetap menjadi lubang bagi Victor. Penyihir-penyihir itu akan tetap menemukanku, dan itu artinya Claudius tetap akan mencium keterlibatanku. Jadi, apa bedanya aku tetap di sini dan menghilang dari kehidupannya?
“Kau ...” Aku melihat Oct mendekati Victor—kemudian melayangkan kilatan hijau lemah persis ke dadanya, membuatnya terseret beberapa kaki. “Kenapa? Kenapa kau menjerumuskan Sandy ke dalam lingkaran masalah segelap ini?” tuntutnya dalam kemarahan yang tak terduga. “Kau tahu ia tidak berdaya, lemah, dan kau mendekatkan dirinya ke arah kematian karena kepolosan itu.”
“Aku tahu itu salahku—aku tidak benar-benar mencegahnya masuk ke dalam kehidupanku,” jawab Victor suram. “Tapi, aku tahu masih ada yang bisa kuperbuat.”
“Kau benar-benar iblis egois!” Dengan kemarahan yang membakar dirinya, Oct melemparkan kutukan berbentuk kilatan hijau itu lagi ke arah Victor—lagi-lagi mengenainya. Victor tidak lagi menghindari serangan itu; aku tahu ia berkubang dalam penyesalan yang mendalam hingga merasa pantas mendapatkan hukuman. Meskipun ia tidak patut dipersalahkan atas kejadian itu, akulah yang memilih jalan berbahaya ini. Ketika Victor menerima serangan lagi, tubuhnya akhirnya terpelanting ke tanah kosong bersalju.