“BIAR aku saja yang bicara pada mereka,” Oct mengajukan diri. Aku belum bicara padanya sejak di pemakaman. Ia menyembunyikan pakaian yang penuh darah dan robekan itu dengan mantelnya.
“Terserah kau,” desahku sambil menekan bel rumah Eve.
Aku tahu Eve dan Sam tidak bisa lebih terkejut lagi ketika October—orang yang hanya namanya yang pernah mereka dengar dari ceritaku dengan kesan tertentu—muncul di depan pintu rumah mereka dan langsung mengutarakan niatnya untuk membawaku pulang kembali ke New York malam ini juga.
“Apa? Kenapa mendadak sekali?” Mulanya Eve menuntut penjelasan itu dariku, tapi aku menggeleng singkat dan membiarkan Oct yang berbicara.
“Mrs. Brower—“
“Tolong, Eve saja,” koreksi Eve ketus. “Jujur, aku tidak berniat menyambutmu dengan ramah jika tujuanmu mau membawa Sandy pergi dengan paksa, Sandy anakku ....”
“Anda sama sekali salah memahami maksud Saya. Sama seperti Anda, saya adalah orang yang peduli pada Sandy. Saya datang menjemputnya kemari karena Sandy sudah terlalu lama meninggalkan New York, harap Anda mengerti bahwa saya tidak sanggup lagi merahasiakan keberadaan Sandy dari kedua orangtuanya. Mereka sama cemasnya dengan Anda ...” Oct kemudian menjelaskan alasan-alasan masuk akal mengenai nenekku yang sakit di California yang ingin aku mengunjunginya, penyihir-penyihir di komite yang dikerahkan Dad mencariku hingga ke perbatasan Meksiko, dan ibuku yang merana ... Aku tahu semuanya omong kosong. Terutama cerita yang terakhir.
Entahlah. Aku tidak tahu harus merasa lega atau tidak karena Oct tidak menyebut-nyebut soal ... Victor ketika menjelaskan semua itu pada Eve. Dengan jantan ia tetap bertahan pada skenario yang ia buat tanpa melibatkan aku. Tapi, tetap saja tidak ada alasan untuk menganggap perbuatan itu terpuji.
“Aku akan ke kamarku saja kalau boleh,” aku meminta izin meskipun tanpa menunggu respons yang lain. Aku lalu menaiki tangga dengan langkah berat seolah-olah kakiku dipasangi rantai besi. Sam mengikuti di belakangku dengan cemas.
Dengan pikiran kosong, aku memindahkan satu per satu pakaianku dari lemari ke dalam koper yang terbuka di atas tempat tidurku.
“Um, Sandy, kalau kau mengizinkan aku menolongmu, aku bisa membantumu mengepak barang-barangmu,” Sam menawarkan dengan kikuk. Meskipun membuntutiku dari bawah, Sam sama sekali tidak mengajukan pertanyaan apa pun padaku—ia hanya berdiri di ambang pintu sebelum akhirnya dengan agak salah tingkah menawarkan diri membantu. “Kalau kau mau, nanti aku akan memaketkan pakaian kotormu yang sudah kucuci bersih.” Ia menunjuk keranjang pakaian kotor di samping lemari ketika berjalan mendekat dengan hati-hati.
“Tidak apa-apa, aku bisa membawanya sekarang,” ujarku.
“Baiklah.” Ia memungut pakaian di atas sandaran kursi. “Kau bisa istirahat selagi aku merapikan barang-barangmu—“
“Demi Tuhan aku baik-baik saja, Sam,” aku langsung menyesali nadaku yang terlalu lantang itu.
Sam terlihat seperti tersengat listrik. “Aku hanya ingin membantumu,” gumamnya sambil berusaha menghindari beradu pandang denganku.
Aku kemudian bangkit dari atas kasur bermaksud mengambil tas selempangku—tapi Sam mendahuluiku dan mengambilkan tasku dan barang-barangku yang lain. Ia seperti salah tingkah dan serbasalah melihat keadaanku yang tetap tenang dalam situasi seperti ini.
“Sandy,” ia tiba-tiba memanggilku—suaranya nyaring, menuntut, menandakan ia sudah tak tahan lagi untuk tidak mengetahui masalahnya. “Apa yang terjadi? Kukira kau tidak akan menyerah.”
Aku tidak menghiraukan pertanyaan Sam, mengambil sisa gundukan pakaian dari dalam lemari dan menaruhnya ke dalam koper dengan asal-asalan—kemudian menjejalkan jaket dan sweter di atas tempat tidur dalam koper. Lalu kaus kaki dan alat-alat kecantikan seadanya di meja rias.
“Sandy, aku tahu kau belum tuli, tolong jawab pertanyaanku, beritahu aku ...” tuntut Sam putus asa. Aku refleks berhenti menjejalkan barang-barangku ke dalam koper dan menatap Sam. “Please, ceritakan padaku apa yang terjadi—aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan cara seperti ini. Kau tahu kan, kau sudah kuanggap sebagai saudara perempuanku sendiri.”
Masalahnya aku tidak bisa menceritakan yang sebenarnya kepada Sam. Memberitahu penyihir lain bahwa dirimu mencintai seorang Qweider bukanlah hal yang bijaksana ... Lagian aku tidak tahu kapan dan dari mana harus memulai dan mengakhiri ceritaku. Semuanya berakhir bahkan sebelum dimulai.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit shock karena Oct mendadak muncul untuk membawaku pulang. Dan aku tidak tahu harus melakukan apa sekarang, pikiranku buntu. Aku merasa sangat kacau.”
Pandangan Sam menajam. “Bagaimana dengan cowok itu—apa akhirnya kau memilih mencampakkan dia?”
Jantungku seperti rontok ketika Sam menyinggung itu. “Bukan seperti itu kejadiannya. Sepertinya aku saja yang mengira ia menyukaiku. Oct hanya mencoba bicara padanya ... ”
“Dengan luka-luka itu?”
Aku tercekat. Aku lupa tentang luka-luka Oct akibat duel tadi. Meskipun ia mengganti pakaiannya, luka di pelipisnya tetaplah kentara.
Aku berusaha mengatasi hatiku yang terasa kelu ketika terbayang kembali kilatan-kilatan hijau dan perak itu.
“Em, mereka memang sempat berduel, tapi kemudian mereka menyadari ketololan mereka,” aku mengoreksi dengan tenang, menata ulang pakaian yang kujejalkan dengan asal-asalan tadi di dalam koper. “Menurut ... Victor, lebih baik aku kembali ke New York; Verotica tidak cocok untukku. Dan sepertinya dia benar, aku hanya membawa masalah saja.”
Ekspresi Sam berubah keras. “Dia bilang begitu mungkin karena dia cemburu pada October! Kau tidak harus meninggalkan kota ini, biarkan kepala Victor dingin lalu ajak dia bicara lagi. Kau bisa membujuk October untuk tidak melakukan ini, setidaknya tidak mendadak dan terburu-buru. Kalian juga masih bisa membicarakannya. Kau bisa bernegosiasi dengannya—aku yakin ia mau mendengarkan keinginanmu. Kau harus mencoba setidaknya satu kali.”
“Entahlah ...” Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi sebenarnya kepadanya. Masalahnya, keadaannya tidak sesederhana apa yang dibayangkan Sam.
Ia mengamati wajahku lekat-lekat. “Situasi kalian sangat rumit, ya?”
Aku bergumam mengiyakan—memilih menyerah. Dengan pikiran kosong dan hampa seperti sekarang, aku tidak bisa memikirkan sesuatu dengan menggunakan akal sehat seperti seharusnya.
Aku mendesah. “Aku akan berkunjung kapan-kapan.” Aku langsung ragu akan janji itu.
Sam tampak kecewa dengan betapa mudahnya aku menyerah kepada keaadaan.
“Entahlah, Sandy ...,” desahnya lambat-lambat. “Rasanya aneh kau tidak akan bersama kita lagi. Aku tidak tahu seperti apa nantinya mendapati kamar ini tidak berpenghuni. Kedua adikku pergi ...”
“Begitu pun denganku. Aku akan sangat kehilangan kakak perempuanku yang cerewet tapi baik hati sepertimu.” Aku berusaha tetap tegar, mematri ingatan sebanyak mungkin tentang ruangan yang akan segera kutinggalkan ini, kenangan bersama keluarga Brower.
Aku melihat Sam membuat gerakan tidak mencolok menghapus sudut-sudut matanya dengan ujung jari. “Ugh, debu sialan,” suaranya mendadak sengau. Gerakannya lalu lebih salah tingkah lagi; ia nyaris memasukkan selimut ke dalam koperku. Aku tidak tahan untuk tidak mengulurkan tangan kepadanya dan membiarkannya menangis dalam pelukanku. Meskipun ingin sekali menangis bersama Sam, anehnya air mataku tidak menetes sedikit pun.
“Aku akan sangat kehilanganmu, Sandy ... harusnya kau tidak membiarkan ia membawamu ... tinggallah di sini ... kau sudah menjadi bagian dari keluarga ini ....”
“Di mana pun aku tinggal, aku akan tetap menjadi bagian dari keluarga ini.”