AKU tersentak sadar dan menemukan tongkat panjang yang mengeluarkan cahaya kekuningan menempel jauh di langit-langit putih—ternyata itu hanya neon. Apakah ini rumah sakit? Kesadaran utuhku muncul bersama dengan rasa nyeri yang mendera tempurung kepalaku. Ini bukan rumah sakit, batinku. Memang mirip rumah sakit, tapi ini bukan ... terlalu banyak bau lembap menusuk yang tercium bukannya bau desinfektan, antiseptik atau sejenisnya ....
Aku mengerang pelan, menahan rasa sakit yang timbul di bagian belakang kepalaku ketika mencoba bangun. Lalu, memori-memori utuh melintas di pikiranku ketika kusandarkan tubuhku ke dinding di belakangku. Sebuah ingatan tajam mendadak membuatku kembali duduk tegak; Victor berada di sebuah tempat bernama Shadesnake ... penyihir-penyihir itu sudah mengelabuinya. Entah apa yang sudah mereka perbuat padanya sekarang, segelintir kekalutan kering menerpa batinku. Aku harus pergi ke tempat itu sekarang juga.
Setelah menatap sekitar dengan fokus, aku sadar di mana aku sekarang: SMA Verotica. Dan aku sedang berada di kelas Sejarah di gedung empat. Aku bisa melihat di atas meja guru, vas bunga kaca milik Mrs. Dwight yang biasanya selalu diisi setangkai bunga segar kini pecah berkeping-keping di lantai. Aku mencari-cari letak jam untuk melihat waktu—mengetahui berapa lama aku pingsan tadi. Jam dinding biru laut itu menunjukkan tengah malam. Aku agak lega ternyata aku pingsan tidak terlalu lama. Aku mungkin belum terlambat jika pergi ke Shadesnake sekarang juga, pikirku. Aku memang tidak tahu apa yang sanggup kulakukan jika aku menemukan tempat itu—lebih dari cukup mengetahui ia baik-baik saja.
Aku bangkit dengan sisa tenagaku dan berjalan tersaruk menuju pintu. Pintunya terkunci. Ketika aku baru saja hendak mengambil sebuah bangku terdekat yang akan kugunakan untuk membuat jalan keluar, aku dikejutkan oleh suara berderit-derit yang asalnya dari papan tulis putih yang terpasang di dinding. Aku mendekati papan tulis untuk melihat sumber suara yang memekakkan telinga itu.
Mulanya kukira hanya goresan hitam spidol yang tertinggal ketika Mrs. Dwight menerangkan mengenai pelajarannya—kemudian goresan hitam itu melebar, seolah-olah ada orang tidak terlihat yang sengaja menumpahkan tinta. Karena kaget, aku mundur beberapa langkah menjauhi papan tulis itu.
Bunyi deritan itu terdengar seperti suara kuku runcing yang ditekan dan digoreskan dalam-dalam ke papan tulis. Namun lama kelamaan goresan itu akhirnya membentuk kata kemudian kalimat ...
“Selamatkan teman kecilmu. Perpustakaan,” aku membaca tulisan itu.
Tiba-tiba saja pintu kelas terbuka dengan sendirinya. Aku merasa bersalah karena nyaris melupakan Agatha. Aku akan menolong Agatha dulu, barulah setelah itu aku akan pergi ke Shadesnake. Agatha tidak perlu ikut, berkali-kali aku membahayakan nyawanya. Ia hanya harus memberiku petunjuk arah kemana aku harus pergi. Aku harap kali ini para penyihir itu tidak melukainya.
Aku berjalan menyusuri lorong dan koridor temaram menuju gedung lima. Aku mempercepat langkah ketika melihat pintu perpustakaan yang terbuat dari kayu tertutup rapat. Tanpa pikir panjang aku langsung menarik daun pintunya. Ruangan itu nyaris gelap. Seseorang mematikan lampunya—atau merusak sekringnya karena ketika aku mencoba menghidupkan sakelarnya, lampunya tetap tidak mau menyala.
“Agatha,” panggilku dengan separo berbisik. Tidak ada balasan. Dengan waspada aku menggapai-gapai apa saja yang bisa kujadikan tumpuan. Kegelapan membuatku buta arah. Ketika aku nyaris membentur sebuah rak kayu, aku tiba-tiba melihat sebuah cahaya kebiruan berpendar-pendar menarik perhatian.
Aku segera menghampiri cahaya itu. Aku lega karena yang berdiri di sana adalah Agatha. Tapi kelegaanku tersebut hanya berlangsung dua detik, sebab Agatha menatapku dengan pandangan kosong yang tidak mampu kuartikan. Di tangannya aku melihat ia memegangi sesuatu mirip senter—namun setelah kuperhatikan dengan lebih jelas ternyata benda itu adalah batu berbentuk lonjong yang menyala-nyala mengeluarkan cahaya berwarna biru tua elektrik. Cahaya itu menyapu wajah Agatha dengan sekelumit pancaran aneh sehingga membuat bola matanya tampak memiliki pusaran hitam yang menakutkan.
“Agatha? Em, apa kau baik-baik saja?” tanyaku, memastikan keadaannya. Detik bergulir beberapa kali tetapi Agatha masih tidak menjawab pertanyaanku. Aku lalu sadar kami tidak punya banyak waktu sebelum penyihir-penyihir itu muncul. “Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka kembali.” Aku segera menghambur dan menarik tangan Agatha, berusaha menyeretnya meninggalkan tempat ini sebelum yang lain berdatangan. “Kau tidak perlu ikut. Kau bisa pergi. Hanya beritahu aku di mana tempat itu.”
Namun Agatha tetap bertahan di tempatnya meskipun aku menariknya. Aku terkejut karena ternyata ia lebih kuat dari penampilannya; aku yakin ia tidak lebih tinggi dari 150 senti dan bobot tubuhnya tidak mungkin melebihi empat puluh kilogram. Tapi, ia sanggup begitu tidak bergeming seperti patung es. Matanya akhirnya bergerak menatapku dan bibirnya mengejang.
“Lepaskan aku,” geramnya.
“Ada apa denganmu!” aku membentaknya karena frustasi. “Kita tidak punya waktu. Kumohon, sebentar lagi penyihir-penyihir itu kembali! Ayo!”
“Kubilang lepaskan aku, berengsek!” desisnya. Entah bagaimana caranya Agatha mendorong tubuhku—membuatku terpelanting menabrak rak besi hingga terguling. Puluhan buku-buku tebal berdebu berjatuhan menimpaku. Punggungku terasa remuk saat terhempas ke lantai keramik.
Aku mengerang kesakitan, berusaha bangun dari tumpukan buku dan rak yang menimpaku. Dalam sekejap Agatha sudah berdiri di sebelah kiriku, menggunakan kaki kanannya untuk menekan rak itu supaya aku tidak bisa bangkit dan tetap terbaring di lantai. Aku terlalu shock untuk berkata apa-apa, hanya menatapnya, menunggu penjelasan.
“Petaru Bobgin, kau mungkin pernah mendengar nama itu,” ujar Agatha dengan tenang, logat Chicago-nya tiba-tiba saja berubah menjadi logat aneh mirip Inggris yang lebih kental. “Ialah yang membawa seluruh penyihir dari London menuju Salem dan kemudian kota ini. Orang mulia yang mendirikan koloni pertama di Verotica, sebelum yang lain mulai berdatangan dan membuat perkampungan di sekitar koloni.”
“Ratusan tahun, keluarga Bobgin menjadi pemimpin, mendedikasikan diri mereka untuk koloni dan para penyihir lemah yang datang untuk meminta perlindungan. Dalam beberapa dekade, semua hidup dalam naungan Bobgin dalam satu kesatuan yang disebut keluarga besar ... hingga pada akhirnya monster itu datang dan membunuh setiap dari kami,” lanjutnya dengan kilatan emosi yang jelas. “Petaru Bobgin adalah kakek moyangku. Aku adalah keturunan Bobgin yang terakhir, Sandy.”
Butuh waktu lama untuk mencerna semua ini. Agatha adalah keturunan Petaru Bobgin, penyihir pada zaman dahulu yang sangat berjasa, memimpin hijrah para penyihir dari Inggris ke Amerika. Bobgin, aku yakin pernah mendengar namanya di museum penyihir yang kudatangi bersama Melissa. Aku juga ingat, aku bertemu Agatha di museum itu, persis di depan barang-barang peninggalan keluarga Bobgin. Agatha juga pernah menyebut-nyebut “Bobgin” ketika ia menceritakan kisah mengenai Helena Waite di hutan itu. Aku merasa bodoh karena tidak peka menangkap setiap detail ekspresi Agatha saat mengucapkan ”Bobgin” dengan penuh hormat dan salut yang tidak biasa itu.
Agatha lalu berjalan-jalan pelan di samping reruntuhan buku yang menimpaku. Aku menggunakan kesempatan itu untuk bangkit meskipun agak sulit karena kurasakan punggungku berdenyut-denyut nyeri.
“Aku mengerti kau sangat membenci Claudius, Agatha, karena ia telah menghancurkan apa yang telah dibangun kakek moyangmu dulu. Tapi kita harus segera meninggalkan tempat ini,” aku berusaha membujuknya. Akhirnya aku bisa berdiri setelah menggunakan rak besi yang sudah kusingkirkan itu sebagai tumpuan. “Mereka tak akan membiarkan kau lolos meskipun kau seorang Bobgin—kau membantuku.”
Agatha berhenti berjalan-jalan, batu berwarna biru masih berpendar-pendar di tangannya. “Apa kau masih belum mengerti juga, Sandy?” ujarnya datar. “Atau kau memang terlalu naif untuk mencerna semua informasi ini.” Ia lalu menjentikkan jari, membuat pecahan lampu yang berserakan di lantai—yang semula tak kusadari—kembali utuh di langit-langit untuk menebarkan cahaya berwarna putih tajam.
Aku refleks menunduk, melindungi mataku dari serangan cahaya itu. Selama beberapa saat mataku harus beradaptasi menghadapi cahaya yang menyilaukan. Agatha menghilang ketika aku mendongakkan wajahku lagi. Gantinya muncul Alagor, Flame, Panola, Isadora, Boscage, sepasang penyihir laki-laki kembar yang wajahnya lonjong dan kemerahan, penyihir berjubah hitam yang baru saja membuka tudung (yang memakai gelang-gelang mirip yang dimiliki Jamie Avery) nyatanya berwajah bundar dengan mata kecil seperti babi, lalu sekitar tujuh penyihir lainnya yang berdiri di belakang orang-orang itu.
Rasanya ganjil melihat Agatha yang mungil, kikuk, dan tampak rapuh itu berdiri di sana, di antara penyihir-peyihir dewasa yang menebarkan seringai licik itu. Setiap dari mereka memegang secarik kertas kaku berwarna kayu sebesar jurnal yang dipeluk Agatha.
“Nah, kau mengerti sekarang?” Agatha tiba-tiba berkata, memandang puas ke arahku.
Seketika itu juga kepalaku terasa pusing. Bagaimana mungkin Agatha adalah salah satu dari mereka. Aku melihat yang bertudung hitam—yang kukira Jamie Avery, ternyata bukan, meskipun ia memakai gelang-gelangnya, adalah penyihir dengan wajah mirip babi—penyihir yang menyiksa Agatha di hutan, yang melancarkan kutukan hingga Agatha terpuruk dengan sekujur tubuh penuh luka. Penyihir bertudung itu hampir membunuh Agatha, bagaimana mungkin dia itu temannya?
Persendianku terasa lemas. Aku masih memegangi rak supaya tidak kembali terjatuh karena terlalu shock. Bukankah Agatha yang mencoba melindungiku dari serangan para penyihir itu, bahkan ia mengorbankan dirinya sendiri supaya aku bisa lolos? Agatha jugalah yang meyakinkan aku bahwa Victor adalah Claudius ... Aku tak percaya itu semua adalah rencananya untuk menjebakku.
Melihat gerakan dan posisi Agatha di antara yang lain, aku sadar bahwa aku salah menerka. Aku yakin mereka bukanlah teman-temannya—dan benar saja ...
“Flazzard, kemari,” Agatha memerintahkan Flame dengan suara dingin penuh wibawa. Flame bertukar posisi dengan yang bernama Panola. “Urus gadis goblok itu—dengan cara Dumdey. Dan kau, Alabastor.” Ia menunjuk Alagor dengan telunjuknya yang pucat dan kurus seperti ujung graver, “bawa yang lain ke lahan parkir. Jangan lakukan apa pun yang tidak kuperintahkan. Kita masih harus menunggu info dari Toadus dan Wriggley.”
Dengan patuh Flame dan Alagor mengikuti perintah Agatha; satu demi satu penyihir keluar dari perpustakaan mengikuti jejak Alagor. Pikiranku masih lumpuh ketika Flame menghampiriku dan mendorong tubuhku dengan kasar ke dinding, menekan wajahku ke tembok lembap dan berdebu. Flame mengikat tanganku di belakang punggung, membuat simpul erat dari seutas tali. Yakin ikatannya cukup kuat, ia mendorongku hingga aku terjatuh tanpa bisa menggunakan tanganku untuk menahan bobot tubuhku. Kepalaku yang masih belum pulih akibat pukulan kayu yang dilayangkan Boscage kembali terbentur lantai keramik.
Dengan gerakan kecil gesit Agatha melompat luwes ke meja Mr. Peterfellie, menendang semua buku-buku dan komputer di sana hingga terjatuh dengan bunyi mengejutkan. Ia duduk dengan kekanakan tanpa rasa bersalah, menggoyang-goyangkan tungkainya, lebih mirip anak kecil lugu daripada penyihir licik yang berhasil memperdaya semua orang—aku.
“Aku tidak percaya,” ujar Agatha dengan suara nyaring dan kejam yang tidak pernah kudengar, aksen Inggrisnya menempel bagaikan ruh yang tidak pernah berpisah dari raganya. “Keberuntungan memihak kita setelah kusangka kita harus kembali dengan tangan kosong ... Kau kembali ke kota ini beberapa detik sebelum aku memerintahkan Isadora dan Panola membebaskan keparat Avery itu.” Aku melihat Agatha melompat dan berjalan pelan menghampiriku. Agatha menginjak tutup kepalaku yang tergeletak di lantai.
“Kaupikir aku senang berpura-pura menjadi gadis kikuk dan menyedihkan? Itu sungguh menjengkelkan ... Kau harusnya sudah bisa menerka, kalau kau sedikit lebih cermat, aku tidak selamanya senang menjadi yang terabaikan ... Emma, Hannah, Caitlin, Melissa ... anak-anak ingusan itu kadang sangat menjengkelkan, memperlakukanku seperti kotoran. Untunglah mereka mudah dikelabui, tak perlu mengotori tanganku meskipun aku ingin sekali melakukan sesuatu pada mereka.” Ia lalu menyeringai penuh arti padaku. “Kaulah yang pertama kali kukhawatirkan. Ada kalanya kau menyadari keberadaanku—mungkin bakat pada dirimu, entahlah. Sangat mengganggu melihat kau memperlakukanku seolah-olah aku ini gadis malang, butuh bantuan—dan, si Avery itu ...”
“Kau mengkambinghitamkannya.” Aku menekan gerahamku kuat-kuat.
“Well, sayang sekali aku terpaksa harus menyekapnya selama beberapa waktu,” lanjutnya dengan wajah menyesal yang palsu, “dia mengetahui rahasiaku. Avery menyadari bahwa aku memiliki bakat yang serupa dengannya, untuk menjadi terabaikan. Aku sudah mengancamnya, jika ia memberitahu orang lain tentang jati diriku maka aku akan menghabisi ayah angkatnya—tapi ia tetap keras kepala! Ia nyaris memberitahumu di Hudson Park tempo hari itu. Aku bahkan memergokinya beberapa kali membuntutiku,” desahnya sambil memainkan mimiknya. “Sungguh, kalau saja ia tidak memiliki banyak kemampuan istimewa yang amat sangat luar biasa, ia pasti sudah lama mati. Kau tak akan percaya, apa saja yang sanggup dilakukan James Avery itu. Tapi tetap, tidak ada yang boleh menghalangi rencana utamaku.”
“Apa rencanamu yang sesungguhnya, Agatha? Mengapa kau tega melakukan ini padaku, kupikir kau temanku—“
“Teman?” ulangnya dengan nada mengejek. “Kaupikir aku sudi bersahabat dengan pengkhianat darah sepertimu? Kau tahu betul Colter adalah Qweider, ia monster, musuh para penyihir—tapi kau rela mengorbankan nyawamu untuknya. Itu jelas sama buruknya seperti melemparkan kotoran ke wajah kaummu sendiri.” Agatha mengernyit jijik ketika memandangku. “Mulanya aku ingin bermurah hati padamu di hutan itu. Tapi nyatanya kau lebih tolol dari Helena Waite ... setidaknya Helena segera menyadari kekeliruannya, dan memilih memihak para penyihir meskipun rencana itu gagal—tapi kau?”
“Andaikan saja Helena tidak mengkhianati Claudius, bencana itu tak akan terjadi,” tukasku.
“Oh, kau sudah lebih pintar rupanya, apa monster itu yang memberitahumu keseluruhan ceritanya?”
“Claudius yang membantai leluhur kalian, bukan Victor.”
“Memang,” ujar Agatha dengan nada ringan.
Sejenak aku hanya menatapnya kosong. “Lalu apa masalahnya? Jika kalian ingin menuntut balas, kalian tahu Claudius-lah orang yang layak menerima pembalasan kalian!”
“Balas dendam?” Agatha terlihat geli sebelum bibirnya kembali menekuk. “Siapa yang mengatakan kami mau balas dendam? Kau kan tahu kami tidak mungkin mampu mengalahkan makhluk itu.”
“Apa maksudmu?”
“Kami hanya menginginkan tanah leluhur kami kembali. Dan hanya jika Victor bisa membunuh Claudius—ya, satu-satunya yang dapat menghabisi Qweider adalah Qweider lainnya—kutukan itu akan musnah,” ujarnya. “Kami ingin membuat kesepakatan dengannya. Colter satu-satunya yang bisa membantu kami.”
Kurasakan daguku mengeras. “Victor tidak akan melakukannya—Claudius bisa membunuhnya, ia lebih kuat darinya!”