SEPERTI déjà vu melelahkan, segalanya, aku mengulang kembali insiden dimana aku nyaris mati. Lagi, mata kelabunya menatapku dengan sorot perpaduan antara kemarahan dan kesedihan. “Harusnya aku bisa menebak, kau tidak akan semudah itu menyerah. Kau akan kembali.”
“Penyihir itu mengatakan kau tidak ada di kastelmu, kau pergi menyelamatkanku ke tempat bernama Shadesnake,” desahku.
“Aku memang menuju Shadesnake—ke tempat Sebastian, aku datang untuk meminta nasihatnya.” Aku terdiam, menatapnya, kurasa ia masih ingin melanjutkan ucapannya. “Aku tahu penyihir-penyihir itu mengawasiku, mereka hanya terus menunggu di hutan yang gelap karena tidak dapat memasuki kastel ini, terlalu banyak kutukan. Hanya orang-orang yang kuundang secara khusus yang bisa menemukan pintu masuk dan jalan keluar—mereka tahu itu. Kastel ini adalah labirin kutukan.”
“Jadi hanya aku saja yang bodoh, yang berpikir mereka benar-benar menjebakmu di Shadesnake,” ratapku.
“Kau hanya mencemaskanku, itu bodoh memang benar. Aku sangat terpukul ketika menyadari mereka mendapatkanmu—hanya satu artinya, kau, dengan bodohnya, kembali ke Verotica.”
“Awalnya mereka tidak menggunakan sihir agar kau tidak bisa mendeteksi mereka ...”
“Hanya jika mereka menggunakan sihir, aku bisa mengetahui posisi dan seberapa besar kekuatan lawanku,” ia membetulkan. Ia kemudian menyentuh kepalaku—mulanya sakit, lalu nyeri itu reda ketika ia melepaskan sentuhannya. “Kau kuat sekali. Aku heran kau masih ingat siapa dirimu setelah menerima benturan yang bertubi-tubi.” Ia tidak mengatakan itu dengan bercanda. Tapi sangat serius.
“Sungguh, lukaku tidak terasa sakit sama sekali. Kali ini hanya kepalaku yang sedikit pusing, itu saja. Lihat, tak ada goresan sedikit pun!”
Ia tidak terkesan dengan pengakuanku. “Aku tetap akan memanggil Esther, dan mungkin kembali setelah membereskan kekacauan tadi.” Ia tersenyum miris.
Ucapannya membangkitkan reaksiku. “Kau akan kembali ke tempat itu?”
“Aku tidak boleh membiarkan mereka semua lolos. Kita memerlukan salah satu dari mereka, paling tidak, untuk mendapatkan informasi. Mustahil mereka bertindak sejauh itu hanya karena menginginkan tanah itu. Aku yakin ada seseorang di balik sana yang memanfaatkan ambisi mereka. Aku bisa merasakan kekuatan lain yang ... sangat besar.” Ia kemudian memiringkan wajahnya. “Apa kau sanggup bertahan sepuluh menit, Sandy?”
“Tanpa kau?” Aku berjengit.
Ia mantapku dengan ironis. “Delapan menit.”
“Baiklah,” ujarku masih dengan berat hati.
Victor berteleportasi setelah ia menyelimuti tubuhku dengan selimut sampai batas leher, berharap aku tetap hangat. Aku hanya menatap sekeliling ruangan ketika menunggu. Delapan menit terasa panjang dan lama sekali—bukan karena aku menunggu lebih lama dari yang ia janjikan, tapi karena ketika menunggu aku diliputi kecemasan dan kepanikan yang tidak kunjung reda. Aku memang merasa sedikit paranoid sejak ia menghilang. Merasa tak ada gunanya menyiksa diri dalam kecemasan, aku memutuskan menunggu lebih sabar dan tenang ...
Ia kembali lebih cepat satu menit—aku tak bermaksud mengitung setiap detiknya, tapi aku betul-betul cemas sehingga tanpa sadar aku memerhatikan setiap kali jarum jam bergerak.
Ia duduk di pinggir tempat tidurku. Kelegaan luar biasa meliputiku ketika melihat wajahnya yang indah itu lagi. “Esther langsung membuatkan ramuannya,” ia memberitahuku. “Bahkan sebelum salju semakin memburuk kau sudah dua kali terlibat dalam situasi yang sulit ... aku tidak tahu apa yang bisa kuharapkan darimu.”
“Semuanya seratus persen salahku,” imbuhku segera.
“Bukan tentang lubang atau parasit lagi. Sekarang aku tidak memedulikan itu semua. Tapi, mungkin takdir memang sangat membencimu.”
“Aku juga tidak mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Aku hanya tidak ingin pergi.”
“Benar. Kau mengacaukan rencanaku,” ujarnya. “Pada hari itu, saat aku dan October terlibat ... aku melihat satu dari mereka yang berambut seputih salju terurai bagai benang sutra—“
“Alagor,” aku memberitahu nama penyihir itu.
“Dan penyihir wanita berambut pirang, masih sangat muda,” ia menunggu aku mencetuskan nama lagi.
“Yang berambut pirang?” Victor mengangguk membenarkan. “Namanya Isadora Flame—jika Flame adalah nama keluarga—ia adik yang bernama Flazzard, penyihir dengan rambut mirip singa.” Entah kenapa aku bisa mengingat nama-nama penyihir itu.
“Ya, para pengecut itu, Alagor dan Isadora. Aku melihat mereka muncul di pemakaman, mengawasi di balik pepohonan beberapa saat sebelum pertempuran berakhir.”
Aku merasakan sebuah gagasan menggelitik kepalaku yang terluka. “Kau membuat Oct mengalahkanmu hanya agar mereka melihat bahwa selain aku ... kau sebetulnya memiliki kelemahan. Agar mereka berpikir tidak perlu menggunakan aku untuk membuat dirimu takluk.”
“Tidak, itu terlalu dibesar-besarkan,” ujarnya dengan rendah hati—bukan kebiasaannya merendahkan diri. “October penyihir hebat, tapi tetap penyihir biasa. Aku membiarkannya mengalahkanku, selain untuk membuat penyihir-penyihir itu berhenti menahan-nahan diri, agar jika kami terlibat duel satu kali lagi ...” Aku meringis sementara ia tersenyum antagonis, “aku tidak lagi perlu menahan-nahan diriku. Ia sadar akan hal itu—hal lain yang membuatnya gusar—karena itu berarti kami impas. Aku berutang padanya karena membuat dirimu memiliki alasan untuk bertahan—“ ia tersenyum—“dan impas karena aku membiarkannya tetap hidup.”
Aku menelan ludah. “October Landford tetap temanku,” aku mengingatkannya.
Ia mengerucutkan bibir, nyaris tidak mendengarkan. “Tadinya aku ingin membuat mereka melihatmu mencampakkan aku, supaya mereka berhenti mengejarmu karena menganggap kau tidak ada hubungannya—tapi kau berkeras supaya aku yang pergi,” ujarnya ironis. “Aku kembali ke kastelku setelah yakin kau betul-betul meninggalkan Verotica. Aku tak sanggup melihatmu pergi ...” Ia menghela napas, tidak menatapku. “Aku memerintahkan Erville mengawasi sampai kau melewati perbatasan kota. Aku bisa melihat apa yang Erville lihat. Aku hanya tidak bisa membaca apa sedang kaupikirkan ketika menatap ke luar jendela.”
“Dan kau tidak menduga aku akan kembali?” Aku tersinggung.
“Aku tahu kau akan kembali, kepalamu keras seperti batu,” ia mengoreksi, tersenyum suram. “Tapi tidak secepat itu,” lanjutnya. “Mungkin beberapa waktu. October tidak akan memudahkan jalanmu kembali ke tempat yang akan membahayakanmu—namun entah bagaimana kau berhasil mengelabuinya.” Ia mendengus. “Penyihir-penyihir itu nyaris putus asa ketika mengetahui kau dibawa pergi oleh penyihir yang ‘mengalahkanku’—mereka tidak akan ceroboh melakukan sesuatu selama October bersamamu. Satu-satunya harapan mereka untuk bisa menaklukanku hanya dengan batu usang bernama Twyla ... Seperti yang kautahu rencanaku tidak berjalan mulus, kau kembali dalam waktu kurang dari sehari, sebelum aku membereskan penyihir-penyihir itu. Tentu saja mereka kembali merasa superior, memiliki peluang yang besar. Setelah memegang dua senjata yang mereka pikir adalah kelemahanku; dirimu dan batu yang konon bisa menyerap energiku. Kaulah yang aku khawatirkan melebihi apa pun.”
“Itu sebabnya Agatha tampak kalut sekali ketika kau bilang kau sudah benar-benar mencampakkanku; bahwa tak tersisa harapan untukku,” Aku tak tahan untuk tidak meringis, “dan kau tidak peduli pada keselamatanku lagi.” Aku bergidik membayangkan situasi itu.
Ia melayangkan pandangan meminta maaf. “Aku tahu ucapanku sangat keterlaluan. Tapi senjata pamungkas mereka sesungguhnya bukanlah Twyla, tapi dirimu, Sandy,” ia mengingatkan aku. “Sekalipun Twyla berpengaruh padaku, aku tidak akan pernah mengikuti kemauan mereka. Mengkhianati Claudius sama saja melompat menuju bara api—dalam situasi api bisa membunuhku. Tapi tidak jika mereka menggunakanmu. Jika aku memang harus memilih—jelas sangat mudah menentukan pilihannya; matahari disandingkan dengan bulan—aku tahu risiko mana yang harus kuambil.”
“Kau menyukai malam hari,” aku mengingatkannya.
“Tanpa bulan,” ia mengoreksi.
“Matahari akan menjadi senjata makan tuan jika kau dilahirkan untuk mencintai kegelapan,” ujarku lirih.
“Aku menggunakan kegelapan untuk bersembunyi, dengan begitu aku tidak bisa melihat diriku sendiri dengan lebih jelas,” sergahnya. “Kau membuat matahari seperti sang penjahat. Padahal ia sangat murni dan lugu.”
“Aku menyesal sudah merusak rencanamu,” ujarku tulus. “Dan kau tidak harus memilih siapapun. Saat mereka mengajukan penawaran itu, kau hanya harus pergi meninggalkan aku. Bagaimana jika Twyla itu betul-betul melemahkan dirimu?”
Ia mengangkat alisnya yang hitam. “Itu sama saja dengan meninggalkan mentari dan memilih rembulan,” dengusnya.
Aku merasakan pipiku memanas.
“Kesempurnaan itu sempurna ... seharusnya tetap seperti itu. Jika sebuah batu bisa melemahkan diriku, kurasa batu itu akan menjadi alternatif pemecahan yang bijaksana. Aku akan memiliki batu itu sebelum orang lain mendapatkannya.”
“Mereka memercayai mitos yang keliru,” akhirnya aku menyimpulkan.
“Mereka mengulang kesalahan yang sama,” ia terdengar seperti mengasihani. “Leluhur mereka mengira perak murni bisa menyerap kekuatan Claudius, nyatanya mereka mendapatkan hukuman yang kejam atas kekeliruan itu. Jika kau tidak menghidupkan kembali nuraniku, mungkin hal yang sama terjadi pada mereka.” Entah tipuan cahaya atau apa aku melihat kilatan perak sekilas di matanya. “Toh, aku memiliki alasan yang kuat membuat mereka mati ... Tapi aku tak ingin kau membenciku karena itu, kau pasti mencegahku membunuh mereka meskipun kau tahu sejahat apa mereka itu. Kau terlalu baik dan aku berani mempertaruhkan apa saja, mereka sangat tak pantas menerima pengampunanmu.”
Aku merinding menyimak ia mengucapkan kalimat itu. “Tidak ada satu pun manusia yang pantas mati. Aku yakin mereka sudah jera oleh imbalan yang mereka dapat. Kemuliaan sejati adalah ketika kebencianmu dikalahkan oleh pengampunan.”
“Satu kesempatan,” ia setuju. “Kuharap mereka menghargai ketulusan hatimu. Sebab jika suatu saat nanti mereka kembali untuk mengulang kesalahan itu ... kesempatan itu akan gugur bersama kebodohan mereka. Semoga mereka juga menyampaikan itu pada yang lain—aku yakin mereka hanyalah sebagian kecil dari yang paling gegabah dan bernyali.”
“Well, ke mana perginya Chris dan Oliver?” tanyaku, tiba-tiba teringat dua “penyeimbang” Victor.
“Aku meminta mereka berdua kembali ke Inggris semalam—harus ada yang memastikan sejauh mana Claudius mengetahui insiden demi insiden yang terjadi di Verotica belakangan ini. Mereka akan mengabariku begitu ada perkembangan.”
“Kurasa bukan karena itu saja kau menyuruh mereka pergi sangat jauh,” pancingku.
Ia tersenyum. “Aku sudah menduga kau memiliki mata yang awas. Sudah lama sekali Chris dan Oliver menantikan ada yang memicu peperangan seperti ini. Sejujurnya aku benci merusak kesenangan mereka.”
Saat itulah kami mendengar ketukan kaku tanpa irama di pintu. Victor menjentikan jarinya agar pintu itu terbuka. Esther mengangguk kaku sebelum masuk, membawa baki yang dipenuhi botol-botol langsing aneh dan cangkir yang mengepulkan asap dengan bau rempah-rempah tajam.