“OKE, cukup! Bangun!” Sam menggoyangkan badanku untuk kesebelas kalinya. Seharusnya ia tidak boleh melakukan itu, karena menurut Esther meskipun dua belas hari telah berlalu, aku belum boleh terlalu banyak bergerak.
“Ugh, Sam ...” aku mengerang jengkel padanya. Semalam aku tidur jam setengah dua belas—mengecek e-mail yang masuk berhubung beberapa hari sebelumnya terhambat oleh jaringan Internet yang mati karena badai; Lucy mengirim sekitar dua puluh e-mail. Lima e-mail yang masuk menanyakan kabarku, sisanya marah-marah menuntut kenapa aku tidak pernah mengecek e-mail-ku. Aku membalas semua pesannya dalam satu e-mail panjang yang menjelaskan kenapa aku begitu “sibuk”. Aku memberitahu Lucy mengenai kedatangan October di Verotica dan penyihir-penyihir yang mencoba membunuhku sebab aku memiliki hubungan khusus dengan “penyihir hitam” yang ayahnya pernah mengutuk tanah leluhur mereka. Lucy langsung membalas e-mail-ku lima menit kemudian. Selain panik, ia menulis itu “sangat keren”—bagian mengenai “penyihir hitam”nya (Apakah dia seperti penyanyi rock—gotik?). Tentu saja Lucy tidak perlu tahu sekelam apa Victor sebenarnya.
“Bagaimana mungkin kau bisa tertidur padahal aku sudah menarik selimutmu! Meskipun ini musim dingin, meskipun badai menghempas Verotica semalam. Saat kubilang bangun, kau harus bangun!”
“Astaga, apa kau ini kesurupan? Ini masih jam tujuh pagi ...” Aku terguling di tempat tidurku ketika Sam menarik bantalku dengan paksa. Sam memang keras sekali soal bangun pagi di hari libur. Terutama semenjak Eve berangkat ke New Jersey tiga hari yang lalu untuk menghadiri pembukaan perpustakaan terbesar di kota itu, Sam yang memegang kendali penuh atas rumah. Sam mau aku membantunya mengeruk salju yang nyaris menenggelamkan rumah setiap hari. Masalahnya, ia tidak pernah semenyebalkan hari ini. Dan satu hal yang membuatku semakin jengkel: Sam bukanlah seorang penyihir dengan cacat genetis seperti diriku—kalau ia mau ia bisa meletupkan jarinya dan salju akan menghilang dari pekarangan semudah berkedip.
“Mandi dengan cepat!” Sam menyeretku ke kamar mandi bahkan sebelum aku berdiri dengan kedua kakiku.
“Kalau kita akan mengeruk salju kenapa aku perlu mandi segala, sih?”
Sam membanting pintu kamar mandinya. “Kau tahu aku tidak ingin membuatmu terbunuh. Tidak harus benar-benar mandi. Terserah. Pokoknya bersih-bersih. Setidaknya cuci muka dan gosok gigi. Kau tidak boleh tampak berantakan hari ini.”
“Ugh, memangnya ada apa sih dengan hari ini?” protesku. “Kau bersikap seolah-olah hari ini kita bakal kedatangan Ratu Inggris saja.”
Sam hanya melengkungkan salah satu jarinya dengan tampang galak membuat isyarat agar aku tidak bertanya apa-apa lagi. “Jangan lama-lama atau kudobrak pintunya.”
Acara bersih-bersihnya berlangsung sebentar. Aku segera berpakaian lengkap karena tak tahan dengan dinginnya cuaca jika tidak segera memakai berlapis-lapis pakaian. Kumasukkan kemeja flanel ke dalam celana jinsku sebelum melapisinya dengan sweter biru yang warnanya cocok dengan penutup kepala yang akan kugunakan. Aku menyisir dengan terburu-buru karena semenjak satu menit yang lalu Sam berteriak dari bawah, memanggilku turun.
Sambil menggerutu jengkel, aku segera memakai bot antilicin-ku, terbuat dari karet berwarna merah mengilap, kemudian memakai penutup kepala dan sarung tangan sebelum mengambil sekop yang kugunakan ketika membantu Sam mengeruk salju di halaman depan kemarin—aku menaruh sekop itu di belakang pintu agar tak perlu jauh-jauh mengambilnya di garasi alih-alih adalah gudang. Sam akan mengomeliku kalau ia tahu aku membawa sekop ke kamar, jadi aku menyembunyikan sekop itu di belakang punggung ketika menuruni tangga. Tangga berkeretakan ketika sepatu botku menginjaknya.
Aku baru saja hendak menginjak tangga terakhir ketika ...
“KEJUTAN!” seru orang-orang yang tiba-tiba saja bermunculan dari segala arah—balik sofa, belakang pintu, bawah tangga, dan konter dapur. Semuanya memakai topi ulang tahun kerucut bernuansa ungu dan pink. Aku sempat membaca salah satu tulisan berkilau-kilau yang tercetak pada topi itu “Happy birthday, you Witch!”.
Sekop yang kusembunyikan jatuh berdentang ke lantai saking shock-nya.
“Selamat ulang tahun yang ketujuh belas, Sandy!” Sam-lah yang pertama kali menghambur untuk mengecup pipiku. Topi kerucutnya berkilau-kilau—nyatanya tulisan di topi itu berbeda-beda, setidaknya ada beberapa jenis kalimat (milik Sam: kau penyihir paling keren!). Mata Sam segera menangkap sekop yang tergeletak di lantai. “Kau kok, bisa bawa sekop dari—“
“Selamat ulang tahun!” Melissa yang memotong rambut panjangnya menjadi sepundak menyusul Sam mengecupi pipiku. Topinya berkilauan “Penyihir yang ulang tahun itu bau tapi aku sayang dia!”
Aku masih terpaku menatap wajah-wajah lainnya yang mengelilingiku—Ellie, Matilda, Hannah, Lee, Jade, Luke, dan Jorge ...
“Tunggu,” akhirnya aku bisa bersuara, meskipun suara yang keluar dari mulutku berupa pekikan aneh. “Ini tidak mungkin hari ulang tahunku, kan?”
“Jangan bercanda!” Sam menyenggol pundakku. “Ini harimu, Sayang, kau berumur tujuh belas tahun hari ini.”
Ya, Ampun ...
“Dan tulisan pada topi-topi itu,” bisikku dengan cemas langsung ke telinga Sam.
“Lucu, ya? Aku membelinya di toko perlengkapan pesta Halloween dan ulang tahun Madam Trustnuts!” Sam balas berbisik. “Ayolah, tidak ada yang akan berpikir kau benar-benar penyihir kok.”
Mereka yang belum memberi selamat gantian memberikanku selamat. Tahu-tahu Melissa muncul dari arah dapur membawa tar cokelat dengan lilin sebanyak tujuh belas buah yang mengedip-ngedipkan api mungil di atasnya. Matilda yang bersuara indah memandu menyanyikan lagu Happy Birthday untukku, yang lain mengiringi nyanyiannya dengan ceria.
“Buat permintaan,” ujar Sam. “Dan sebaiknya kau meminta yang benar-benar kauinginkan, Sandy.” Ia menambahkan sambil mengedipkan mata dengan sengaja.
Tentu. Sam ingat betul hari di mana aku bersikap tak berperasaan seperti patung. Baiknya, ia tidak pernah membahas tentang hari itu lagi. Dalam ingatan Sam, aku kembali ke rumah sebelas hari yang lalu, meskipun kenyataannya baru empat hari sejak Victor memulangkan aku dari kastelnya. Meskipun agak merasa bersalah, akulah yang meminta Chris untuk sedikit “memperbaiki” ingatan Sam, Eve, dan keluarga McKillick yang bertemu denganku di hari itu—hal yang sebetulnya tidak kuharapkan—demi kebaikan mereka sendiri.
Aku memejamkan mata ketika membuat permintaan. Harapanku sudah jelas.
Aku meniup lilin-lilin itu dalam tiga kali tiupan bertenaga. Lalu, ketika lilin-lilin itu mati, kado-kado bermunculan, siap dibuka.
“Semoga kau suka isinya,” dengan malu-malu Hannah mengangsurkan kadonya padaku. Topi kerucut Hannah bertuliskan “Jangan gantung witch yang berulang tahun itu, dia asyik!”. Sungguh aku tidak percaya pembuatnya menggunakan kata witch bukannya wizard. Tidak banyak penyihir perempuan yang bersedia dipanggil witch tanpa merasa tersinggung.
Aku membuka kadonya—kotak kecil sebesar separo kotak sepatu, dibungkus kertas kado pink dengan motif hati gemuk-gemuk. Aku memungut sepasang sarung tangan wol ungu muda yang sangat manis di dasar kotak. “Wow. Terima kasih banyak, Han, aku pasti akan sering menggunakannya.”
Melissa kemudian menyodorkan kadonya begitu aku meletakkan sarung tangan itu kembali ke bungkusnya. Aku membuka kado berbungkus kertas merah mengilap itu, mulai dari pitanya yang dengan cantik mengikat kubus itu. “Kotak musik,” aku menyebutkan isi kado itu; sebuah kotak orkestra yang ketika kita membuka boksnya muncul sesosok balerina mungil yang berputar-putar diiringi musik klasik menenangkan hati. “Trims, Mel.”
Yang lain kemudian berebut menyodorkan kado-kadonya padaku, minta dibuka duluan. Luke satu-satunya yang datang tanpa membawa kado, tapi ia bilang aku boleh meminta apa saja setelah ia dapat uang saku. Topi kerucutnya bertuliskan sama seperti milik Melissa.