Ghazi tak ingat kapan pertama kali ia jatuh hati kepada Rona. Juga kapan terakhir kali ia memikirkan gadis itu.
Tujuh tahun telah berlalu. Pacar-pacarnya silih berganti, seperti hari yang terus bergerak. Ghazi tak ingin munafik, ia mengaku semua itu awalnya untuk menarik rasa cemburu Rona. Namun, gadis itu tak peduli.
"Eh, Zi. Lo tahu, gak, kalo Rona udah balik?" tanya salah satu teman akrabnya di tongkrongan.
Ghazi menghalau asap rokok milik teman-temannya sebelum menjawab, "Udah, kok. Kenapa emang?"
"Jadi, gimana? Lo bakalan putus sama Inara?"
Dahi Ghazi sontak mengerut. Ia mendelik kepada temannya yang sekarang tertawa lebar. Mereka lantas mengungkit kisah asmara Ghazi tahun lalu yang kandas setelah kedatangan Rona. Lebih tepatnya, ketika Rona menampar Ghazi untuk pertama kalinya.
ⓥⓔⓧ
Waktu itu, Ghazi menjalin hubungan dengan salah satu gadis bermasalah, Vany namanya. Hubungan itu bukan hanya berujung dengan pertengkarannya dengan Rona. Tetapi juga dengan sang ibu.
Motornya disita, laci dan lemari kamarnya digeledah, dan dia dipingit tak boleh ke mana-mana. Di dalam kamarnya yang cukup luas itu, Ghazi hanya bisa termenung. Ia akan menekan-nekan layar ponsel, mengabaikan pesan amarah beruntun dari Vany. Ghazi mulai lelah. Vany terlalu cerewet.
Di hari-hari itu juga, Ghazi mulai mengalihkan perhatiannya kepada Rona. Bukan mengalihkan, tapi lebih tepatnya mengembalikan. Karena semenjak awal, perhatian Ghazi adalah milik Rona. Bukan milik perempuan lain.
Di siang hari yang sepi, Ghazi akan mendapati Rona duduk di teras. Entah itu sedang mendengarkan musik, membaca buku, atau menjawab telepon yang tak Ghazi tahu dari siapa. Apapun yang Rona lakukan, cukup menghibur Ghazi di hari-hari hukumannya.
"Aku dengar kamu punya pacar."
Itulah hal yang pertama Ghazi dengar di pertemuan pertama mereka tahun lalu. Rona menatap lurus matanya, membuat lutut Ghazi lemas. Begitu pula hatinya ketika mendapat wajah datar penuh amarah dari si gadis.
"Gadis yang tinggal di hilir kampung, hah?" sambung Rona lagi. "Aku lihat kamu sering pergi ke sana."
"Ya, kamu benar." Hanya itu yang bisa Ghazi ucapkan.