"Rona?" Nama itu mengalir pelan, terucap dari bibir ranum Ghazi.
Seakan bisa mendengar lirihan namanya, Rona di depan sana tersenyum. Ia mengaitkan rambutnya ke telinga. Masih menatap lekat kepada Ghazi, orang yang ditunggunya akhir-akhir ini.
Kaki Ghazi gemetaran. Ragu-ragu dirinya mengambil langkah. Pemuda itu menundukkan kepala, seluruh otot mukanya tegang terlebih setelah Rona turut berjalan ke arahnya.
Ghazi melirik. Ia sadar langkah kakinya tidak seirama dengan langkah kaki Rona yang mengayun lebih cepat darinya. Keduanya semakin dekat untuk berpapasan. Hanya sedikit lagi.
Tepat ketika harum permen karet merebak memenuhi penciumannya, Ghazi mengangkat kepala. Ia dan Rona bertemu pandang dalam jarak dekat. Jarak yang tanpa sadar telah dikikis usia mereka yang terus bertambah.
Ghazi kira momen itu akan berlalu begitu saja, tapi sebuah tangan tiba-tiba menahan pundak kirinya. Bulu kuduknya sontak berdiri. Perlahan, ia menoleh dan tampaklah jemari kurus panjang milik Rona bertengger di bahunya.
"Aku perlu bicara," bisik Rona sambil tersenyum miring. Ia menyapu bahu Ghazi seolah ada debu menempel di sana.
"Bi- bicara apa?" Dalam hati, Ghazi merutuk dirinya yang tergagap.
Rona mengambil dua langkah mundur dan menggeser posisinya agar berhadapan dengan Ghazi. Walau tak terlihat jelas, pupil milik gadis bermata coklat kelam itu sedikit demi sedikit membesar. Degup jantungnya sekarang tidak terkontrol.
"Senang bertemu denganmu." Rona memainkan kakinya di jarak antara mereka. "Sudah lama, ya. Gimana hubunganmu ... dengan Inara?"
Kedua mata Ghazi membulat. "Kamu tahu?"
Sang gadis mengedikkan bahu. Ditariknya selembar kertas hingga keluar dari kantung jaketnya. Rona memegang halus lengan bawah Ghazi, menariknya mendekat, kemudian menaruh kertas ke telapak tangan pemuda itu.
"Bagaimana mungkin aku nggak tahu? 'Kan sahabatku sendiri yang pacaran sama orang yang kusuka bertahun-tahun," lirih Rona. Bulir bening menggenang di bawah matanya.
Ghazi merasakan sengatan tidak biasa ketika jarinya dan jari Rona bersentuhan. Tidak sedikit pun Ghazi mengalihkan pandangan. Gadis kecil yang dulu ia sukai, sekarang sudah bertumbuh dewasa—sama sepertinya. Tetap cantik dan tentunya bertambah anggun.
"Kamu suka aku?"
Rona tersenyum geli, ia mendongak sedikit kepada Ghazi yang sudah tumbuh lebih tinggi darinya. "Selalu."
Ghazi mengulum bibir, menyembunyikan senyum yang merangkak bebas. Pipinya bersemu merah memandang puncak kepala Rona. Ada suatu perasaan bangga menyusup ke dalam hatinya.
Dahulu, Ghazi harus dibantu Rona untuk membuka kunci pintu langgar karena tubuhnya yang pendek. Bahkan ia sering diolok oleh si gadis itu sendiri. Namun, sekarang beda tinggi mereka mencapai 10 cm atau lebih.
"Ya sudah, aku pergi dulu."