Canggung rasanya. Ketika hanya ada suara langkah kaki di antara mereka. Bibir dua gadis itu sama-sama terkatup rapat. Kepala mereka menoleh ke sisi yang berbeda, tidak ingin bertemu mata.
Sinar mentari sore yang dipantulkan permukaan sungai menyilaukan Rona. Terpaksa ia mengubah arah kepalanya. Lantas ia melihat Inara tengah menggosok-gosok kedua tangan.
"Kenapa ... kamu datang?" Akhirnya Rona angkat bicara. Ia berhenti melangkah di tengah jembatan, seperti malam itu.
Inara ikut berhenti, tepat di samping Rona. Ia menghadapkan tubuh kepada sahabatnya itu. Wajahnya diterpa sinar matahari, iris gelapnya berkilauan.
"Aku cuma pengen ketemu kamu. Itu aja," ucap Inara dengan bibir tipisnya.
Rona tidak merespons. Ia memandang Inara dengan sorot mata yang hampa. Kemudian, dipejamkannya mata dan menghela napas dalam. Ia menghadapkan punggung kepada Inara, berjalan menuju pembatas jembatan.
"Indah, ya." Rona tersenyum simpul. Tangannya terlipat di atas pembatas. "Lebih indah lagi kalau hubungan kita seharmonis dulu."
Dua alis Inara mengerut. "Maksudmu?"
Gadis yang ditanya menoleh dari balik bahu. Dua matanya menatap sendu ke bawah. Rona meneguk ludah kasar, kata-katanya tersengal di tenggorokan.
"Apakah kau masih sahabatku?"
"Iya," jawab Inara tanpa ragu.
"Setelah semua ini?" Satu bulir air mata jatuh dari mata kiri Rona. "Setelah kau rebut Ghazi dariku?"
Bahu kecil Inara tersentak. Kakinya refleks melangkah mundur, terlebih setelah Rona yang terisak menatap lurus kepadanya. Sebuah ruang di hatinya menggigit nyeri melihat sang sahabat susah payah menghapus air mata yang terus mengalir.
"Aku tak paham kenapa kau melakukan ini, Nar. Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu suka Ghazi juga? Kenapa kamu memutus kontak denganku? Apa demi menyembunyikan hubungan kalian?" Rona bertanya bertubi-tubi di tengah isakan yang semakin keras.
Inara menggigit bibir. Rona berjongkok di hadapannya, tidak mampu menahan tangis lagi. Inara memegang kedua sisi kepalanya. Sungguh ia tidak tahu harus bagaimana lagi.
Sejak awal, gadis itu tidak pernah ingin menyakiti Rona. Namun, Inara juga tidak ingin mengorbankan perasaannya. Apakah dirinya masih bisa dikatakan sahabat? Apa ia justru PHO? Apa ia sudah mencapai ambang batas egois?
Pikiran demi pikiran itu menyudutkan Inara. Isakan Rona yang belum berhenti turut memojokkannya. Inara mengatupkan kedua mata, mencari setitik ingatan tentang Ghazi.
"Kamu dulu mendukungku dan Ghazi, mendukung agar kami bersama!" teriak Rona, ia menghantamkan tangan ke pembatas jembatan. "Tapi ... kenapa? Kenapa, hah? Kamu tahu seberapa kecewanya aku?!"