Ghazi bukan yang paling tampan di antara temannya. Ia termasuk pemuda alim, tapi masih ada yang lebih alim. Suaranya merdu saat mengaji, ada lagi yang lebih merdu. Ghazi sering dikenal sebagai yang paling kaya, senang mentraktir teman-temannya. Ghazi memang tidak sempurna, tapi kekayaan itu seolah membuatnya mencapai kesempurnaan. Namun, Inara tidak berpikir demikian.
Kekayaan Inara dan Ghazi bagai langit dan bumi. Ada jarak begitu lebar yang memisahkan mereka. Berbeda dengan Rona yang di mata orang-orang tampak berkecukupan dan hidup bagai tuan putri. Bukankah Rona dan Ghazi punya banyak kesamaan? Tidak heran kalau mereka saling menyukai.
Sedari kecil Inara tidak pernah mengenal wajah ibunya. Begitupun ayahnya yang hilang ketika berburu di hutan saat ia masih berumur tiga tahun. Ia kemudian diasuh oleh seorang bidan yang dahulu membantui ibunya melahirkan. Bidan yang juga membantu ibunya Rona dan ibunya Ghazi. Meski sekarang keluarga besarnya pindah ke kampung, Inara tetap bertahan di rumah Ibu Bidan.
Rumah dengan halaman yang mengingatkannya atas keberadaan Ghazi. Bahkan sebelum mereka berpacaran. Salah satunya adalah momen ini.
"Oh, jadi ini 'kesibukan' yang kamu bilang?"
Segera Inara menoleh ke sebuah kepala yang muncul di samping bahunya. Ghazi yang saat itu menggunakan topi mengedipkan sebelah matanya. Inara membuang wajah, jantungnya seakan berhenti sejenak.
Tangan Inara yang sedang mengotak-atik rantai sepeda gemetaran. Ghazi yang memandang lekat rantai sepeda dalam diam menambah kadar gugup dalam dirinya. Inara merutuk di sela helaan napasnya, entah kepada rantai atau jantungnya yang histeris.
"Ih! Dari tadi nggak ada perkembangan!" Ghazi mendorong bahu Inara sedikit kencang, kemudian melanjutkan tanpa dosa. "Sini aku aja!"
Inara hampir terjungkal. Telapak tangannya yang sebelah kanan berciuman mesra dengan batu-batu putih besar. Inara menggumamkan kata kasar, kali ini tertuju jelas kepada Ghazi. Sambil memijat bagian tangan yang memerah, Inara memerhatikan si pemuda yang memelintirkan rantai ke sana-ke mari.
"Ada perkembangan?" tanya Inara dengan seringaian dan sebelah alis terangkat.
Ghazi mendecak, melepas dan melempar topinya kepada Inara. "Pegangin. Itu yang jadi penghalang perkembangan usahaku!"
"Bau. Huek." Inara bergaya muntah, sehingga Ghazi menjitaknya di kepala. Gadis itu tertawa lebar melihat pipi Ghazi yang membulat kesal.
Beberapa puluh menit mereka habiskan tanpa perkembangan sama sekali. Ghazi berteriak kesal untuk kesekian kalinya, mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Inara mengerucutkan bibir. Dengan langkah gontai, ia mengambil keranjang dari tangga rumah.
"Buat apaan, sih, sepeda ini?!" Napas Ghazi yang menderu berangsur menjadi embusan pasrah. "Maaf, aku nggak membantu."
Inara berhenti di samping Ghazi, menepuk puncak kepala si pemuda. "Nggak papa, biarin aja. Kamu udah berusaha, Zi. Mungkin hari ini aku jalan aja."
Ghazi mengerutkan dahi. Ia menyadari bungkus-bungkus kelepon di dalam keranjang. Pandangannya kemudian beralih pada wajah Inara yang serius menghitung dan memperbaiki letak bungkus kelepon.
"Kamu mau jualan?" Inara mengangguk atas pertanyaan Ghazi. "Ikut aku aja, gimana? Pake motor."
Inara seketika membisu. Meski terbiasa pulang-pergi ke sekolah bersama, tawaran itu cukup mengejutkan. Bibir Inara mulai mengeluarkan kata-kata aneh, tidak bermakna, dan terdengar konyol.
"Yakin?" Inara memastikan.
Ghazi mengalungkan lengannya pada leher Inara. Wajah mereka berdekatan dan Ghazi berbisik, "Yakinlah. Asal ... ajarin aku Matematika nanti."
Si gadis refleks memutar bola mata. Ia membebaskan diri dari lilitan tangan Ghazi. "Kamu kira aku pintar Matematika?"