Senior wanita itu tersenyum ramah, rona wajahnya tampak hangat memantul di bawah cahaya matahari sore yang mulai meredup, menyapu pelataran kampus. Suaranya lembut, seperti bisikan angin musim gugur. "Tentu saja aku mengenalnya. Nama panjangnya Ryuzen Takemura, biasa disapa Zen. Dia mahasiswa jurusan bisnis tahun keempat." Pandangan wanita itu melirik sejenak ke arah koridor kampus yang mulai sepi. "Dia itu ikemen, salah satu pria paling populer di universitas ini. Tidak hanya tampan dengan postur tubuh yang tinggi dan atletis, dia juga sangat berbakat dalam olahraga."
Nada suaranya berubah, sedikit lebih pelan, seolah berbagi rahasia yang hanya mereka berdua boleh tahu. "Tapi, dia sangat tertutup. Tak ada yang tahu banyak soal kehidupan pribadinya. Banyak mahasiswa senior maupun junior yang menyukainya, tapi Zen tak pernah menanggapi perasaan mereka." Wanita itu menatap Zoya dengan penuh arti, seolah memberikan isyarat tersembunyi. "Dia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita lain selain selain sahabatnya" tambahnya, sebelum akhirnya pamit dengan anggukan kecil. Langkahnya menjauh, suara sepatunya memudar, lalu menghilang di balik lorong yang semakin temaram.
Zoya baru hendak menghela napas, merasakan kelegaan, ketika tiba-tiba terdengar suara berat yang tenang, namun cukup mengejutkan hingga membuat bahunya tersentak. "Kalau penasaran, tanyakan saja langsung pada orangnya."Zoya berbalik cepat,Zen berdiri tak jauh di belakangnya, berdiri tegak seperti bayangan yang baru muncul. Sorot matanya tenang, namun di dalamnya tersimpan rasa ingin tahu yang dalam, seolah ia sudah lama mengamati.
"Aku tidak penasaran," elak Zoya, suaranya terdengar tenang. "Dan... sejak kapan kamu ada di situ?"
Senyum tipis tersungging di bibir Zen, nyaris tak terlihat namun memancarkan aura santai. Dia kemudian duduk di hadapan Zoya, gerakan ringan dan tak terduga. Cahaya senja jatuh di wajahnya, menegaskan ketampananya. "Aku tidak muncul tiba-tiba. Hanya kamu saja yang tidak menyadari kehadiranku."
Zoya mencoba mengalihkan perhatian, rasa canggung mulai merayapi. "Bagaimana ponselku bisa ada padamu?"
"Senior tadi yang menemukannya di toilet," jawab Zen santai, seolah hal itu bukan masalah besar.
Zoya mengerutkan kening, mencoba mengingat kembali insiden ponselnya. Sebuah desahan frustrasi tertahan di tenggorokannya. Dalam hati, ia menyalahkan diri sendiri mengapa tak terpikir mencarinya di sana.
"Lalu kenapa tidak memberi tahu?"
Zen menatapnya lurus, tidak ada ekspresi yang bisa Zoya baca di matanya.
"Bagaimana caranya?"
Zoya sedikit mengernyitkan kening, namun tetap berusaha bersikap tegas, menantang ketenangan Zen. "Sahabatku menelepon berkali-kali. Kenapa tidak diangkat?"
"Apa hakku untuk melakukannya?" balas Zen, nadanya datar, tanpa emosi.
Zoya mendesah pelan, merasakan sedikit kekesalan. "Setidaknya angkat untuk memberi tahu kami."
Zen bertanya tanpa mengalihkan pandangannya, seolah menguji keseriusan Zoya. "Tapi kamu terlihat biasa saja. Ponsel itu tidak penting, ya? Atau kamu punya banyak ponsel?"
"Bukan begitu. Aku sudah mem-backup semua datanya ke laptop," jelas Zoya, suaranya sedikit meninggi karena merasa disalah arti.
Zen mengangguk, wajahnya serius, menimbang jawaban Zoya. "Jadi meski tidak kembali, tak masalah?"
Zoya mengangkat bahu, pasrah. "Kalau kembali syukur, kalau tidak pun mau bagaimana."
Zen tersenyum samar, senyum yang nyaris tak terlihat namun menyimpan makna. "Dan kamu hanya menunggu ponsel itu kembali sendiri?"
Zoya mengangguk pelan, menatap ke kejauhan. "Aku percaya. Apa yang memang untuk kita, pasti akan kembali bagaimanapun caranya."
Keduanya terdiam. Keheningan yang tak lagi canggung seperti tadi, namun kini lebih sarat makna. Angin musim gugur berembus pelan, membawa aroma dedaunan kering, menggoyangkan ranting dan dedaunan pohon yang kini terlihat berwarna cantik di pelataran kampus. Zoya merasa canggung dengan keheningan ini, jemarinya tak sadar memainkan ponsel di tangannya. Zen memecah keheningan yang mulai terasa berat.
"Aku heran. Di zaman sekarang masih ada yang tidak memakai pengaman di ponselnya."
Zoya tersenyum tipis,ia tidak tahu harus berkata apa. Suasana hening kembali menyelimuti, kali ini membuatnya merasa semakin tidak nyaman.