Vibration of Destiny

Milteay
Chapter #10

Chapter 10 Penguntit !

  Zoya berusaha berontak, napasnya memburu. Namun, tangan yang meraihnya semakin erat, tarikannya kuat, menariknya ke dada hangat samar-samar wangi maskulin—aroma yang tidak asing lagi, dan itu membuat jantungnya berdebar, bukan hanya karena panik. Wajah yang terkesan tenang dan dingin kini berada tepat di depannya, menutupi pandangannya. Mata hitam tajam itu menatapnya dengan intensitas yang membakar, dan entah mengapa, perlahan rasa paniknya mencair.


Saat tatapan mereka bertemu, Zoya menyadari siapa itu. Zen. Tangannya yang kuat dan hangat kini membungkus pergelangan tangan Zoya, cengkeramannya membuat Zoya merasa terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan. Bibirnya terkatup rapat, mencari napas.

"Tenanglah, ayo jalan," bisik Zen, suaranya pelan namun tak terbantahkan.

Zoya ingin sekali menoleh ke belakang, tapi jemari dingin Zen kini memegang lembut pipinya, menghadapkan wajahnya ke depan. Mata mereka bertemu lagi, kali ini lebih lama. Di sana, di kedalaman mata Zen, Zoya melihat sesuatu yang membuatnya sedikit tenang, sebuah janji tanpa kata.

 "Ayo pergi," ucap Zen, suaranya final. Dia mulai melangkah, tangan hangatnya membimbing Zoya. Setiap langkah Zen terasa begitu pasti, dan anehnya, di sampingnya, Zoya mulai merasa... aman.

**


  Mereka berjalan, langkah Zen memimpin dengan pasti, membawa Zoya menjauh dari hiruk pikuk jalan utama. Sontak, Zoya menyadari arah yang mereka tuju bukan ke stasiun, melainkan jalanan yang familier menuju kampus. Bingung, kerutan muncul di dahinya. Ke mana Zen akan membawanya? Rasa terkejut atas insiden tadi masih melekat, ditambah kini rasa penasaran yang menggelitik.


Zen membawa Zoya ke Taman Toyama, sebuah oasis hijau tak jauh dari kampus, yang kini diselimuti ketenangan sore menjelang malam.


Mereka berhenti di salah satu bangku kayu, permukaannya terasa dingin di bawah sentuhan. "Duduklah," kata Zen pelan, tangannya sedikit mendorong bahu Zoya, isyarat menenangkan yang membuat Zoya patuh.

Zoya duduk, menatap Zen dengan tatapan penuh tanya. "Mengapa kau membawaku ke sini?" Suara Zoya terdengar lebih kecil dari yang ia kira. Zen hanya tersenyum tipis, senyum yang nyaris tak terlihat namun memancarkan ketenangan aneh. "Tunggu sebentar di sini," jawabnya, kemudian beranjak pergi tanpa menunggu respons Zoya. Hanya beberapa menit berlalu, tetapi rasanya seperti selamanya. Zoya mengamati sekeliling, mencari tahu apa yang Zen lakukan. Ia kembali, membawa cup kopi hangat yang mengepulkan uap tipis ke udara dingin. Cup itu beralih ke tangan Zoya, kehangatan menjalari telapak tangannya. Ia menghirup aromanya, lalu meneguk dua kali, rasa pahit sedikit manis yang lembut menyentuh lidahnya.

Zen memperhatikannya, sorot matanya yang tajam kini sedikit menggelap. "Apa kamu tidak takut?" tanyanya, suaranya rendah, nyaris berbisik, dengan nada yang seolah ingin menakut-nakuti. Zoya, yang sudah merasa lebih tenang setelah tegukan kopi, mengangkat alis. "Takut untuk apa?" jawabnya santai. Zen mendekatkan wajahnya, intonasi suaranya semakin rendah. "Apa kamu tahu, tempat apa ini?"

Zoya menjawab ketus. "Aku tahu. Aku pernah membacanya di internet." Zen tidak melanjutkan gurauannya. Ia duduk di samping Zoya, jeda sejenak sebelum berkata, "Sebenarnya aku tidak bertanya soal taman ini." Zen kemudian membuka cup kopinya sendiri, menyesapnya perlahan. Matanya melirik ke arah Zoya yang kini menatap kopinya, ekspresinya bercampur antara sedikit kesal dan terkejut.

Zen meletakkan kopi di sampingnya. Tangannya meraih tas ransel yang semula tidak Zoya sadari ada di punggungnya, lalu mengeluarkan sebuah gitar akustik. Jari-jarinya memetik senar, menghasilkan nada 'jreng' yang nyaring, membuat Zoya menatapnya dengan tatapan agak kesal. Rupanya, pikiran Zoya memang masih dipenuhi kejadian yang baru saja ia alami, dan suara itu terasa mengusik. Namun, kemudian, Zen mulai memetik senar dengan alunan melodi yang indah.


Suaranya yang berat namun lembut berpadu sempurna dengan petikan gitarnya, mengisi langit-langit taman yang tenang. Hanya ada beberapa pengunjung lain di sana, menambah suasana intim pada momen itu.


Perlahan, Zoya mulai tertarik. Alunan lagu Zen menari-nari di telinganya, membuai pikirannya. Bahunya yang tegang mulai rileks, kerutan di keningnya menghilang, dan ia pun terbawa dalam suasana yang diciptakan Zen.


Sebuah kesadaran tiba-tiba menyergapnya--ia pernah mendengar suara itu. Sambil terus mendengarkan, ia memutar otak, mencoba mengingat di mana. Kemudian, ingatan itu datang: Taman Hibiya. Suara pria yang bernyanyi di belakang bangkunya kala itu, yang membuatnya familiar namun enggan menoleh, sangat mirip dengan suara Zen. Jari-jari Zen bergerak lincah di senar gitar, lihai dan penuh perasaan. Sesekali, Zoya meliriknya, Zen tampak tenggelam dalam lagunya, mata terpejam.

Lihat selengkapnya