Seorang gadis berusia sepuluh tahun tengah berdiri di depan cermin. Dia menatap pantulan dirinya dengan senyuman bangga. Sebuah mahkota kecil bertengger di atas rambut cokelat panjangnya yang bergelombang.
"Kau adalah gadis tercantik di Velendria," ucapnya memuji diri sendiri. Lalu, dia menurunkan kembali mahkotanya. "Baiklah, sudah kuputuskan. Aku akan memakai mahkota ini," lanjutnya.
"Tapi, Loralei. Itu punyaku." Dari arah belakang, gadis yang seusia dengannya langsung memprotes. Ada ragu dari lirih suaranya. Seolah takut untuk berbicara.
Loralei berbalik badan seraya menatap tajam gadis itu. "Kalau aku sudah bilang yang ini, maka kau tak punya hak untuk menolak!" tegasnya. "Sekarang, bantu aku menyisir rambutku!"
Gadis itu membuang napas kasar seraya berjalan gontai. Dengan berat hati dia mengambil sisir di atas meja rias. Tangannya mulai menyisir rambut Loralei yang berantakan. Sesekali sisir tersebut menyangkut hingga rambutnya tertarik kuat dan berguguran.
"Ah! Sakit, Victoria! Apa kau sengaja melakukan itu!" berang Loralei, lalu dia merampas sisir itu dari tangan sepupunya.
Victoria mengibas-ngibaskan tangan di udara. Kepalanya menggeleng kuat. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Rambutmu kusut sekali," sanggahnya.
"Jadi, kau menyalahkan rambutku, begitu?"
"Memang begitu kenyataannya," balas Victoria.
Loralei mengerucutkan bibir. Lalu, gadis itu mengangkat jari telunjuknya di depan wajah Victoria. "Kau lihat saja. Aku akan mengadukan hal ini pada ibuku. Siap-siap untuk dihukum lagi!"
Setelah memperingatkan Victoria, Loralei pergi meninggalkan kamar. Suara sepatunya yang mengentak lantai terdengar keras hingga perlahan menghilang seiring langkah yang dia ambil.
Victoria menjatuhkan bobotnya di ranjang. Tatapan matanya kini sayu. Seolah tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dia hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas di kamar luas yang setiap sudutnya dilengkapi perabotan mahal itu.
~~~
Seperti biasa, Victoria kecil yang tidak berdaya, hanya bisa pasrah ketika Ratu Izebel—ibu Loralei—menyeretnya ke ruang bawah tanah. Tempat itu gelap. Hanya ada beberapa obor kecil yang digantung pada dinding setiap jarak lima meter.
Hawa dinginnya menusuk kulit, seolah panasnya api obor itu tak dapat menghangatkan ruangan lembap tersebut.
"Ulurkan tanganmu!" titah Izebel dengan suara yang ditekankan.
Tanpa ada penolakan, Victoria segera melakukan yang Izebel pinta. Dia mengulurkan kedua tangan perlahan dengan kepala menunduk. Mulutnya tak mengeluarkan suara, raut wajahnya datar tanpa ekspresi. Sesuai dengan yang selama ini diperintahkan padanya. 'Jangan menangis saat dihukum!'
Kayu sebesar jari telunjuk dan sepanjang satu meter sudah berada di genggaman Izebel, siap untuk memberi pelajaran pada gadis itu. Di belakangnya, Loralei berdiri dengan senyuman sinis yang tak lepas dari bibir mungilnya, seolah bahagia melihat sang sepupu menderita.
Sebanyak sepuluh pukulan mendarat di jemari kecil Victoria hingga menciptakan warna kemerahan. Benar saja, bagaimanapun pukulan itu sangat menyakitkan, Victoria tetap diam. Namun, siapa yang tahu jika hatinya menangis?
"Kalau Loralei mengadu, kau menyakitinya lagi, maka ruangan ini akan menjadi kamarmu! Kau mengerti?!" ucap Izebel mengancamnya.
Victoria mengangguk meskipun hatinya menolak. Apa lagi yang bisa dia lakukan selain menuruti? Jika melawan pun, itu artinya dia hanya mencari masalah baru, dan siapa yang akan berdiri membelanya?
Izebel dan putrinya melenggang pergi setelah puas menghukum Victoria. Tak terlihat sedikit pun rasa bersalah di wajah mereka. Bahkan, keduanya tampak bangga dengan apa yang baru saja mereka lakukan.
Setelah memastikan tidak ada lagi suara langkah di lorong, Victoria meninggalkan ruang bawah tanah dengan tubuh yang lelah. Dia masuk ke paviliunnya. Sebuah bangunan yang berukuran jauh lebih kecil dari istana utama.
Di sanalah Victoria tinggal sejak usia lima tahun. Kamar di istana utama yang harusnya dia tempati, kini menjadi milik Loralei. Victoria hanya boleh masuk ke sana jika Loralei membutuhkan tenaganya.
Dia duduk di tepi ranjang, memandangi jemari yang kini semakin terasa sakit. Ruangan kecil itu tetap hening meskipun penghuninya tak dapat membendung air mata lagi.