"Keluar sama teman-teman kampus apa mau kencan?"
"Shealyn? Ngapain disini?" Jawabnya dengan wajah yang terkejut.
Aku tersentak kaget, "Shealyn? Aku gak salah denger kan kamu manggil aku Shealyn?"
"Kamu bohong Ky, kamu sama aja." Aku berlari meninggalkan tempat sialan itu.
"Ra, tunggu! Saya bisa jelasin." Aku masih mendengar teriakan itu, tapi pemilik suara itu tidak berusaha mengejarku sama sekali.
Aku berlari menghampiri Gia yang masih menungguku, aku berusaha menyeka air mata ku supaya Gia tidak bertanya.
Sesampainya aku menghampiri Gia, aku langsung menggandeng tangannya dan menahan air mataku supaya tidak keluar,
"Yuk, Gi."
"Lyn? Lo abis nangis? Kenapa?"
"Enggak kok, ini tadi mata gue kelilipan." Dasar Shealyn, perempuan yang tidak jago berbohong.
Gia melihatku sambil terus menatap penuh kepastian, "Are u okay?"
"I'm okay, yuk pulang."
Aku berusaha sebisa mungkin tidak menangis di depan Gia. Pikiranku masih terngiang-ngiang kejadian tadi, untuk apa Iky berbohong kepadaku? Apa karena dia keluar dengan Tania? Aku sangat kecewa ketika Iky memanggilku dengan nama Shealyn, apa dia malu memanggilku Ara di depan Tania?
Ponselku sedari tadi terus berdering. Iky berusaha mengirimiku pesan hingga menelfonku tapi tak kunjung ku balas.
"Ra, maafin saya."
"Saya bisa jelasin."
"Ra, angkat telpon saya. Supaya kamu nggak salah paham."
"Ra, please."
"Kalau kamu tidak mau angkat telpon dari saya, saya kerumah kamu sekarang."
Gia terus memperhatikanku yang diam tidak berbicara, sepertinya dia ingin bertanya sesuatu namun ia mengurungkan niatnya tersebut.
Aku pun sudah sampai di depan rumah, sebelum aku turun dari mobil Gia berpesan padaku,
"Lyn gue emang teman baru lo, gue tau lo sedih, dan lo gak bisa nyembunyiin itu dari gue. Gue siap dengertin cerita dari lo sepanjang apapun itu. Inget Lyn, lo nggak sendirian. Bagi beban lo sama gue, jangan dipendem terus sendirian ya?" Selepas ia berbicara seperti itu, aku hanya membalasnya dengan tersenyum.
Aku turun dari mobil Gia dan melihat sebuah motor matic terparkir di depan rumahku. Tebakanku benar, dia sudah berada di rumahku sebelum aku pulang. Dia duduk di ruang tamu dengan Ibu, sepertinya Ibu kaget melihat kedatanganku tanpa salam dan memasang wajah sembap.
"Ra, bisa kita ngomong sebentar?" Dia langsung berdiri ketika melihatku masuk rumah, tapi aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung memilih masuk kamar.
Aku menutup pintu kamar dengan sedikit keras, tubuhku terkuras lemas dan aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku tidak menghiraukan panggilan Ibu ketika menggedor pintu kamarku. Untuk saat ini aku hanya ingin sendiri.
Menangis dalam waktu lumayan lama membuat kepalaku pusing, aku merebahkan tubuhku diatas kasur dan mencoba memejamkan mata.
Tidak terasa aku tidur lumayan lama, ketika aku bangun jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Aku berharap manusia itu sudah pulang. Aku memeriksa HP ku yang sempat kumatikan tadi. Dia mengirimiku pesan banyak sekali,
"Ra, tolong keluar sebentar. Kita bicarakan."
"Ra, tolong maafin saya."
"Saya nggak akan pulang sampai kita bicara."
Aku hanya tersenyum getir melihat pesannya, aku pikir dia sudah pulang karena ini sudah malam. Jadi aku mengiriminya pesan,
"Km plg skrg." Baru saja aku mau mengunci HP, dia langsung membalas pesanku.
"Saya nggak akan pulang, kecuali kamu keluar. Ibu kamu sudah tidur, saya tetep disini."
Dasar batu, masih bisanya dia keras kepala di keadaan seperti ini. Aku menatap diriku di pantulan cermin, rambut yang tadinya bagus sekarang jadi tidak ada bentuknya. Mataku sembap, suara serak, dan pakaian yang sudah berantakan.
Aku memutuskan keluar kamar untuk menemuinya dengan keadaan seperti ini, biar saja dia melihat. Supaya dia tau bagaimana rasanya sehancur apa aku tadi.