Selepas Iky mengantarkanku pulang, aku masih berdiri di depan pagar rumah dan memikirkan ucapannya tadi. Aku masih mencoba mencerna kata-katanya, seakan-akan dia memang benar mau pergi dariku, dan berencana meninggalkan aku.
Aku berjalan dengan lemas memasuki rumah, ternyata Ibu sudah bangun dan menungguku di ruang tamu.
"Habis dari mana? Kok malem pulangnya?"
"Cari makan bu," Aku meletakkan tas slingbag di kursi dan menyodorkan sebuah kantong plastik, "Ini tadi dibeliin sama Iky."
"Gimana? Masih berantem?" Tanya Ibu, aku menghela napas berat dan menyenderkan kepala di sofa.
"Udah baikan sih, tapi masih sebel aja."
Ibu terkekeh pelan, "Ibu jadi inget jaman muda dulu."
Aku seperti tertarik mendengar ucapan Ibu dan langsung membenarkan posisi duduk, "Emangnya kenapa Bu?"
Ibu menggelengkan kepala, "Sifat kamu tuh mirip banget sama Ibu. Cemburuan, posesif."
"Ya abis gimana Bu, Iky jalan berdua sama mantannya. Ibu kalo jadi aku marah nggak?"
"Marah sih pasti Lyn. Tapi Ibu harus dengerin dulu penjelasannya, karena Ibu nggak mau langsung menyimpulkan pendapat Ibu sendiri. Ya seenggaknya harus mendengarkan dari kedua sisi."
Aku sempat berpikir bahwa omongan Ibu ada benarnya juga,
"Tapi terlalu posesif juga gak baik Lyn di dalam hubungan, dengan begitu berarti tingkat kepercayaan terhadap pasangan masih kurang."
"Terus Shealyn harus apa Bu?"
Ibu menggenggam tanganku dan mengelus pelan,
"Fondasi suatu hubungan itu adalah komunikasi dan saling percaya. Kalo kalian nggak mempunyai fondasi itu, terus gimana mau ngelanjutin hubungan? Inget Lyn, sebuah hubungan itu membebaskan tidak mengekang."
Mataku berkaca-kaca mendengar nasehat Ibu, aku mengangguk.
"Kalo kunci dari suatu hubungan itu komunikasi dan saling percaya, berarti Ibu sama Ayah nggak menerapkan itu dong?" Ibu hanya tersenyum dan menunduk mendengar pertanyaanku.
"Kalo itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan Ibu tidak bisa merubahnya."
"Berarti Tuhan nggak sayang sama Shealyn ya Bu?"
Ibu langsung menggeleng dengan cepat, "Nggak boleh bilang gitu, nak. Nggak mungkin Tuhan tidak menyayangi umatnya."
"Ya tapi Tuhan nggak adil bu, mereka semua punya Ayah, kenapa Shealyn enggak?"
Ibu langsung memelukku, aku merasakan puncak kepalaku basah dan Ibu menangis.
"Kamu masih punya Ibu, dan Ibu cuman punya kamu Lyn. Sudah, sekarang kamu tidur gih. Udah malem, Ibu mau masuk kamar duluan ya."
Ibu meninggalkan aku di ruang tamu dengan keheningan dan tidak lupa kecupan manis di dahiku. Aku tiba-tiba ingat dengan seseorang yang sangat aku benci, walaupun aku hanya pernah melihat wajahya dua kali seumur hidupku.
Ayah, iya Ayahku. Dia meninggalkan Ibu sejak aku masih bayi, tapi aku tidak tahu apa alasan Ayah meninggalkan kami berdua. Padahal yang kutahu, ketika perempuan setelah melahirkan justru sangat butuh banyak perhatian dan dukungan. Laki-laki tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya melahirkan dan mempertaruhkan nyawanya hanya demi mengeluarkan nyawa lain yang ada di dalam tubuhnya. Mungkin ketika aku berada di posisi Ibu saat itu, aku tidak akan kuat.