VIDE

Savira Aulia Putri Ardini
Chapter #12

12. Hari Perayaan

Seiring berjalannya waktu, hidupku rasanya seperti berubah. Kadang senang kadang sedih, kalau dipikir-pikir tujuan hidup adalah untuk menjadi tua, dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan.

Hari ini adalah tepat dimana umurku bertambah satu angka, 18 tahun. Tidak ada rasa senang, tidak ada kue ulang tahun, tidak ada perayaan dan yang pasti tidak ada ucapan selamat ulang tahun dari Ayah. Aku terkekeh pelan membayangkan hidupku saat ini, sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti sekarang.

Aku melirik jam yang menempel di dinding kamarku, sudah pukul setengah satu dini hari dan aku masih diam tak berkutik di meja belajar. Aku tidak ingin melakukan hal apapun, hanya ingin duduk diam.

Sempat terpikir dibenakku jika Tuhan memberikan satu hari yang spesial, aku ingin hidup sementara di Planet Saturnus. Entahlah, menurutku Saturnus adalah planet yang indah. Aku membayangkan hidup sendirian di planet itu dengan tentram tanpa ada yang mengganggu. Tapi semua itu hanya mustahil.

Ketika aku melihat sebuah lukisan laut di meja belajarku, aku ingin merubah keinginanku, yaitu hidup tenang di hamparan laut yang sangat luas, Membangun sebuah rumah kayu dan dihiasi dengan pemandangan yang sangat indah, membuat ayunan di pinggir rumah, melihat sunrise dan sunset setiap hari. Membayangkan saja hidupku terasa sangat damai.

Lamunanku hancur ketika seseorang mengetuk pintu kamarku, aku membuka pintu dan mendapati Ibu sedang berdiri dan membawa kue ulang tahun.

"Selamat Ulang Tahun anak Ibu."

Aku hanya berdiri dan diam tidak merespon ucapan Ibu, tapi aku langsung memeluknya. Air mataku tumpah saat berada di pelukan Ibu, ini lebih dari rasa nyaman dan aman.

"Ih kok nangis sih. Masa udah gede masih cengeng." Ibu menatapku sambil terkekeh. Aku menarik tangan Ibu untuk duduk di kasurku.

Ibu meletakan kue di meja belajar dan langsung menghampiriku di kasur. Aku masih ingin memeluk Ibu dan tidak ingin kulepas, aku merasakan tangan Ibu mengelus rambutku dengan halus.

"Anak Ibu udah gede ya, padahal rasanya baru kemarin Ibu ngelahirin kamu."

"Bu, segede apapun Shealyn nanti, aku tetep jadi boneka kecilnya Ibu."

Ibu meneteskan air mata tepat dihadapanku, aku tidak tau itu air mata bahagia atau air mata sedih. Aku menjatuhkan kepalaku di pangkuan Ibu, seharusnya aku bersyukur, sampai saat ini masih ada Ibu yang menemaniku di setiap pergantian umur.

"Tau nggak Lyn, waktu kecil dulu setiap temen kamu ulang tahun, kamu pasti nangis."

Aku mendongakkan kepala keatas menghadap Ibu, "Kenapa?"

"Karena temanmu itu dicium sama kedua orang tuanya lalu tiup lilin."

Sesak, iya rasanya sangat sesak. Aku bisa membayangkan bagaimana sakitnya ketika dulu melihatnya.

"Maaf ya, Lyn." Kata Ibu.

"Untuk?"

"Untuk tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna buat kamu."

Aku memegang tangan Ibu dan menggenggamnya erat,

"Bu, ibu sudah cukup sempurna buat hidup aku. Ibu bisa melakukan segala peran hanya karena ingin membuatku senang."

Ibu mencium kening dan pipiku sambil menangis,

"Maafin Ibu, tidak bisa mencari Ayah yang baik buat kamu."

Aku menggeleng pelan,

"Aku cuman butuh Ibu, bukan orang lain."

Aku memutuskan untuk mengajak tidur Ibu di kamarku hari ini, karena sekarang aku hanya butuh Ibu.

"Kamu inget nggak Lyn, waktu kecil kamu minta Ibu untuk beli baju Spiderman."

Aku memiringkan badan sambil melihat ibu, "Masa? Ngaco ih Ibu." Aku tidak percaya dan masih mencoba mengingatnya.

"Iya, kamu dulu pengen banget baju itu, sampai badanmu panas kalau nggak dibeliin."

"Bajunya itu harus satu paket sama topengnya, kalau nggak ada topengnya kamu nggak mau." Lanjut Ibu.

Aku masih diam dan mencoba mengingatnya.

"Oh iya, aku inget." Aku tertawa memikirkannya.

"Dulu tuh ya, kalo kamu pengen sesuatu itu pasti harus sakit dulu."

"Maksudnya?" Kali ini aku tidak mengerti maksud ucapan Ibu.

"Iya, jadi kamu kalau pengen sesuatu pasti kamu pendem, nggak mau cerita. Sampai akhirnya kamu sakit badanmu panas baru kamu mau cerita apa yang kamu pengenin."

Ah, jadi itu alasannya. Dari sini aku paham kenapa aku menjadi seperti ini, karena dari kecil aku sudah terbiasa memendam semua masalahku sendirian hingga terbawa sampai dewasa.

Aku hanya manggut-manggut menanggapi cerita Ibu.

"Maka dari itu Ibu takut sampai sekarang, takut kamu punya masalah yang kamu pendem sendiri."

"Bu, kan semua orang punya porsi masing-masing untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Selagi aku mampu nyelesain itu, aku nggak akan minta bantuan orang lain."

Ibu hanya tersenyum mendengarkan jawabanku barusan, "Kalau begini Ibu sudah sangat yakin kamu sudah berusia 18 Tahun."

Aku menaikkan alis sebelah, "Taunya?"

"Sok jago banget bikin kata-kata."

Lihat selengkapnya