"Ayah?"
"Shealyn?"
Aku diam terpaku melihat seorang pria paruh baya berdiri tepat didepanku. Setelah bertahun-tahun akhirnya kami dipertemukan. Ayah yang dulu sangat gagah, kini sudah tidak terlihat sekuat dulu. Terdapat banyak kerutan diwajahnya karena faktor usia.
Rindu, sungguh aku sangat rindu. Aku rindu pelukan ayah. Badanku bergetar hebat, hatiku berkata aku harus berlari untuk memeluknya, tetapi otakku berkata jangan. Aku melihat Lea yang masih berdiri disampingku dengan tatapan wajah bingung.
"Papa, kakiku sudah diobatin sama kakak ini. Tuh lihat, dikasih stiker juga buat nutupin lukanya." Kata Lea sembari menunjuk lutut kakinya.
Ayah melirik Lea sebentar kemudian menatapku kembali, aku tau sebenarnya ayah ingin memelukku juga. Ayah berjongkok menyamakan tingginya dengan Lea,
"Bilang apa sama kakaknya?"
Hatiku terisis melihat ayah dengan Lea, mereka terlihat seperti keluarga sempurna. Jujur, aku sangat ingin diposisi Lea.
"Makasih ya kakak, kapan-kapan mau main kerumahku? Aku punya banyak mainan barbie."
Aku melirik ayah seakan-akan meminta persetujuan dari ucapan Lea. "Boleh, kapan-kapan kita main bareng ya?"
"Asikkk." Ucapnya dengan sangat ceria.
Aku membalasnya hanya tersenyum.
"Nak, kamu mau ice cream?"
"Mau dong pa." Ucap Lea dengan semangat.
Ayah merogoh saku celananya mengeluarkan beberapa lembar uang, "Ini kamu beli di bapak itu ya?" katanya sembari menunjuk penjual ice cream yang tadi kubeli. Dan akhirnya, Lea berlari meninggalkan kami berdua.
"Ayah apa kabar?" Kataku dengan bibir bergetar menahan tangis.
"Ayah baik nak, kamu gimana sama Ibu?"
Aku tersenyum masam, "Jauh dari kata baik."
Tanpa sadar air mata telah menetes dipipiku, aku berusaha menyekanya agar tidak terlihat lemah didepan ayah.
Ayah melangkah semakin mendekatiku, "Maafin ayah Shealyn."
Aku refleks memundurkan langkahku, "Semua sudah terlambat, kata maaf ayah tidak akan merubah apapun di hidupku."
"Ayah begini memang karena-"
"Karena apa? Karena keadaan?" Kataku dengan sedikit membentak.
"Yah, nggak ada anak yang baik-baik aja ngeliat orang tuanya pisah."
"Maafin ayah. Ayah memang salah, tapi kamu harus denger alasan ayah Lyn. Karena Ayah rasa kamu sudah waktunya mengerti."
Aku menggeleng pelan, "Apapun alasannya, aku akan tetep benci sama ayah!"
Ayah terus mencoba menggapai tanganku dan untung saja aku langsung sigap menepisnya, "Kamu boleh benci ayah, tapi jangan benci Lea ya? Dia gak tau apa-apa Lyn."
Aku tersenyum remeh, "Bahkan ketika usiaku sama dengan Lea, aku juga gak tau apa-apa yah! Terus sekarang ayah berada di posisi Lea hanya karena dia masih kecil? Lalu bagaimana dengan aku dulu yah?"
Ayah melangkah lebih dekat didepanku,
"Nak, dengerin ayah.. "
"Cukup! Aku sudah bukan anakmu lagi!" Pungkasku.
"Aku cuman memohon sama ayah, jangan sampai nasib Lea sama sepertiku. Karena kehilangan seseorang yang sangat dicintainya bukan hanya menghancurkan hidupnya, tetapi juga dunianya."
Selepas itu, aku berlari meninggalkan ayah. Aku tidak kuat, aku menangis sepanjang jalan taman ini. Bagaimana bisa aku mengatakan seperti itu?
Orang-orang melihat ku seperti orang bodoh, berlari dan menangis terus menerus.
Aku butuh tempat yang tenang saat ini, rumah sudah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagiku. Lantas aku harus berlindung dimana? Bahkan bumi sepertinya sudah muak dengan kehadiranku.
Tetapi pada akhirnya, aku pulang juga kerumah. Lalu bagaimana lagi, aku sudah tidak punya tempat lain untuk berlindung. Bahkan taman yang awalnya kukira tempat yang tenang, pada akhirnya akan menjadi tempat penuh kenangan.
***
Menjadi broken home adalah mimpi buruk bagi semua orang di dunia ini, tidak ada yang mau menjadi itu. Terkadang, aku merasa iri dengan teman-temanku yang memiliki keluarga utuh. Mereka yang selalu menceritakan kesehariannya dirumah, tapi aku tidak mempunyai bahan untuk menjadikannya sebuah cerita indah.
Malam itu sejak kejadian yang benar-benar membuat kacau hidupku, aku duduk berdua dengan ibu.
Dengan perasaan was-was aku mulai bertanya, "Bu, kenapa Ibu bercerai dengan Ayah?"
Ibu yang tadinya sedang makan tiba-tiba berhenti mengunyah.
"Karena memang pendamping Ibu bukan Ayah."
Mendengar jawaban Ibu membuatku terdiam beberapa saat, jawaban yang sangat klise. Aku tau, orang berpisah memang karena bukan jodohnya, tetapi disamping itu pasti ada alasan tertentu.
"Bu, ayolah. Aku udah bukan anak kecil lagi, aku nggak butuh jawaban seperti itu."
"Toh kata Ayah sudah seharusnya aku tau alasannya." Lanjutku.
Tiba-tiba Ibu batuk karena tersedak, dengan cepat aku memberikannya minum.
"Kata Ayah? Maksud kamu?"
Dasar bodoh. Aku menutup mulutku dengan refleks, kenapa aku tidak sadar mengatakannya dengan enteng.
"Shealyn, liat Ibu."
Tuh kan. Mau tidak mau aku berani menatap Ibu dan menjelaskannya.
"Aku tadi nggak sengaja ketemu Ayah di taman."
Ibu terus menatapku dengan tatapan seperti mengintimidasi, "Terus?"
"Aku cuman bilang kalau aku benci sama Ayah." Jawabku dengan gugup.
"Lyn... "
"Dan Ayah juga mau menjelaskan alasan kenapa Ibu sama Ayah cerai, tapi aku nggak kuat. Aku lari bu, aku nggak kuat ngeliat Ayah." Akhirnya tangisku pun pecah lagi, aku menangis di bahu Ibu.