"Taraaaa!" Senan melebarkan belah tangan. Di balik punggungnya, pintu kembar berdiri angkuh. Putih dan kuning gading mewarnai dinding, saling memperlihatkan eksistensi.
Aren tidak merespons. Atau, belum?
"Ini rumah yang bakal kita tempatin."
"Seriusan?!" Sepertinya sinyal Aren belum diperbarui ke vaifji, jadi reaksinya agak lambat.
Namun, tidak apa. Ini saja cukup menambah ombak gembiranya Senan. Apalagi serangkaian acara pernikahan tadi pagi terus berputar dalam kepala sebagai rekaman paling dikara.
"Aren suka?"
Perempuan itu mengangguk semangat. "Kamu yang buat arsitekturnya?"
"Seratus buat istriku! Ya ampun, kenapa mudah ditebak, ya?" Senan mendekat arah Aren yang berjarak dua langkah, merangkulnya dan memperlihatkan dua kunci tergantung dalam satu ring kembang.
"Selamat datang di rumah kita, Nyonya Agler."
"Hih, geli." Menyikut pinggang Senan, Aren sukses bikin sengatan, tapi rangkulan laki-laki itu tidak terlepas.
"Sekarang memang Pinata Aren resmi jadi istrinya Senan Agler, 'kan? Jangan malu-malu gitu, mukamu bilang kamu lagi seneng."
"Senan!"
Suasana khas pengantin baru.
Di dalam rumah, sudah banyak perabot yang tertata. Senan benar-benar telah mempersiapkan seluruhnya; rumah beserta isi, tanpa Aren tahu sebelum ini.
Senan melepas lengannya yang melingkari pundak Aren, segera menjauh dan memasuki satu kamar yang saling terhubung sama ruang tengah. Tidak lupa menutup pintunya.
Dia meninggalkan Aren tanpa penjelasan apa pun.
Tingkah konyol apa ini?
"Sen—"
"Tunggu sebentar ya, Sayang!" Orang yang hendak dipanggil berteriak dari dalam kamar.
Baik, Aren harus menunggu. Namun, pelan-pelan ia mendekat persis ke depan pintu, penasaran juga apa yang sedang suaminya lakukan.
Niat Aren menguping, tapi di dalam sana sungguh hening.