Bawang merah hasil irisan Aren terlalu tebal. Bukan tidak bisa dijadikan bawang goreng, tapi akan lebih bagus jika tipis-tipis, 'kan?
Dengan kesabaran penuh, Senan bantu menggerakkan tangan Aren dari belakang, mengiris bawang merah perlahan. Sementara kedua mata perempuan itu sudah perih; hanya tangan yang bekerja, pandangannya tidak tentu arah, kadang berkedip-kedip demi meminimalisir reaksi enzim.
"Nan ...."
Lirih, Aren memohon dari nadanya, barangkali Senan peka.
"Mm?" Embus napas Senan menyentuh permukaan leher Aren, kontan si empunya menggigit bagian dalam bibir. Tanpa terduga merasa gugup sekaligus melupakan niat untuk mengatakan; nggak mau lagi ngiris bawang!
"Kamu pasti bisa," kata Senan. Dia melepas tangan Aren, bermaksud berhenti membimbing, tapi ternyata perempuan itu tidak sadar telah melukai jarinya sendiri lantaran menggerakkan pisau sembarangan.
Baru darah keluar lalu rasa sakit menyeruak, Aren mengaduh pelan dan membiarkan pisau jatuh ke talenan. Senan yang mengetahui itu segera meraih jari Aren, mengisapnya tepat di luka demi menghentikan pendarahan kecil.
Pisau yang dipakai mampu menggores bagian telunjuk Aren dengan sekali garit, berarti benda paling wajib di dapur itu tajam, dan seharusnya tidak menghancurkan lebih banyak sel-sel milik bawang merah, apalagi sampai berpengaruh pada mata Aren. Ia hampir kepingin nangis, serius. Atau ... Aren yang belum terbiasa mengiris bawang jadi efeknya begitu besar?
"Hati-hati, Ren. Pelan-pelan aja."
Kalimat Senan terasa berdengung. Pemikiran riuh Aren soal bawang berhenti. Sadar punggung tangan masih dalam kepalan lelaki itu, juga satu jarinya masih mengacung, ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik perasaan Aren.
Senan baik. Aren tahu betul, dan sikap-sikap Senan sudah tidak asing, dia memang laki-laki penyayang. Namun, mengapa seolah-olah Aren terganggu sama sikap Senan yang 'biasa' itu?
Bukannya Aren tidak bersyukur Tuhan mengirim malaikat berupa Senan untuk menjadi suaminya, hanya saja ... ah, apa ini benar? Dari khawatir kini Aren takut. Ada perasaan semacam itu. Bagaimana jika semua yang dialaminya bersama Senan adalah fatamorgana, dan akan hilang seiring Aren semakin memercayai apa yang terlihat? Bagaimana kalau—
"Kesambet Ren, jangan ngelamun. Mikirin apa, sih?"
"Kamu."
Seketika tawa Senan memenuhi dapur.
Oke, saat ini Aren memang terlalu banyak berpikir. Kata lebih tepat, berlebihan. Dari bawang sampai ketakutan tidak berarti.
"Uh, istriku mulai pinter rayu. Coba bilang sekali lagi," goda Senan. Tentu, dapat tatapan apatis dari perempuannya.
"Aku memang lagi mikirin kamu," gumam Aren. Setelah membebaskan tangannya dari genggam Senan, ia kembali memberi perhatian ke bawang merah. Masih ada lima siung yang menunggu diiris.
•••
"Wuah!" Aren tidak menyangka rasa sup buatan Senan betul-betul enak, masakan rumahan dimana seorang anak akan mengingat ibu mereka yang selalu bikin rindu.
"Kamu kalau takjub ekspresinya pasti gitu, ya?"