"SENAN KAKIMU!"
Kedua tungkainya mengerem kala suara bernada tinggi menukik telinga. Si pelaku tidak berani bergerak, apalagi memutar tubuh yang menegang.
Aren melepas gagang pel hingga jatuh ke lantai, bersedekap, kemudian berposisi di hadapan Senan. Sementara lelaki itu segera menampilkan senyum selembut kapas-kapas, berharap mampu menurunkan tensi Aren yang mendaki level jengkel.
"Kamu habis dari sawah?"
Isi pertanyaan Aren mungkin biasa, tapi Senan cukup peka kalau kalimat itu serupa letusan senjata api tanda peringatan. Sejak memasuki rumah, menginjakkan kaki yang penuh tanah ke ubin, Senan tahu alasan atas teguran keras Aren barusan.
"Aku nggak punya sawah, cuma punya lahan kecil yang jadi halaman belakang. Aku nggak punya harta berlebih, tapi aku punya Aren yang bisa mengalahkan kekayaan jenis apa pun di dunia."
Sableng! Aren memaki dalam hati.
Senan masih mempertahankan senyum, bahkan sesudah melontarkan kalimat yang jelas-jelas konyol, tidak masuk dalam kategori nyambung.
"Lihat," tunjuk Aren mengarah lantai menuju pintu luar sehingga Senan menoleh. "Bekas kakimu tuh. Pel lagi. Oya, aku juga belum pel dapur, sekalian ya."
Tepat saat Aren hendak beranjak dari posisinya, Senan mencekal lengan sang istri.
"Kamu tega sama aku?"
"Siapa suruh main masuk ke dalem nggak liat-liat dulu kakinya kotor apa nggak?"
"Yaaa ... udah telanjur. Maaf. Lagipula, kamu pel lantainya terlalu basah, kan jadinya—"
"Salah aku?"
Senan menelan ludah.
Perempuan memang tidak pernah keliru, mereka adalah makhluk mahabenar yang menghuni sebagian besar dunia. Paham, di sini memang Senan yang salah, padahal dia tahu bahwa Aren sedang bergerak mirip jalanya undur-undur di ruang tengah, mengepel. Jika pun lantainya tidak basah, jejak kaki Senan tetap terlihat nyata karena memang kotor.
"Iya, aku pel lagi." Tangannya perlahan melepas lengan Aren.
"Ren, kamu tambah cantik kalau lagi kesel. Tau?"
"Tempe!"
Kok tempe? Baru Senan membuka bibir lagi mau bicara, Aren sudah menunjuk gagang pel di belakang Senan menggunakan dagu.
•••
Binar lampu kecil kelap-kelip menyapa indra penglihatan Aren, tergantung mengelilingi halaman disangga batang bambu. Sesekali tali lampu yang menyambung satu sama lain bergerak tertiup angin, seolah-olah memberi sapa.
Satu kursi panjang dari kayu terletak anggun di tengah pelataran, ditambah bunga berwarna ungu tertanam melingkari pagar rendah yang menjadi sekat antara halaman dan luar. Benar-benar memanjakan mata siapa pun yang melihat.
"Ini ... beneran belakang rumah kita?" Mengagumkan! Padahal bagi Aren, sebelumnya persegi tidak terlalu luas ini terlihat biasa saja.
"Kamu kira di mana?" Senan justru balik bertanya. Memegang kedua pundak Aren dari belakang, dia menambahkan. "Tiba-tiba aja tercetus ide bikin ini."
"Buat?"
Lalu dekapan Senan mampu melindungi Aren dari dingin angin malam yang berembus. Terasa sekali tubuh Senan amat rapat di punggungnya, juga kedua tangan lelaki itu yang menurun, berhenti tepat di perut dan mengunci area sana.
"Nyenengin Aren."