VII Diebus

Ilestavan
Chapter #5

4/26

Hanya dua hari.

Senan belum rela kembali bekerja. Dia kurang puas. Oh. TIDAK puas tepatnya.

Tunggu, jangan berpikir 'memang kapan sih manusia bisa puas?' bagi Senan, wajar merasa tidak puas ketika kantor hanya memberi dua hari libur setelah menikah. Atasannya memang tidak pengertian. Dia dan Aren belum bisa berbulan madu karena bebas dari pekerjaan sesempit itu. Kata si orang berwenang, bereskan dulu pekerjaanmu, ambil cuti bisa belakangan.

Hah. Senan jadi punya keinginan membangun biro arsitektur sendiri. Rasanya kalau bekerja di bawah kaki orang lain tidak bebas.

"Maaf, ya." Senan telah mengatakan hal serupa lebih dari tiga kali pagi ini, seolah-olah dia tidak punya ungkapan lain.

Padahal, Aren sudah bilang tidak masalah. Dua harinya bersama Senan dalam rumah, anggap saja liburan romantis di depan Singa Merlion. Namun Senan tidak terima, dan mengatakan bahwa akan lebih romantis Aren menganggapnya di depan Menara Eiffel. Kalau sudah begitu, terserah Senan saja.

"Jadi, mau berangkat atau mau minta maaf terus?"

Senan memang sudah mempersiapkan diri bekerja kendati ogah-ogahan. Setelan kemeja rapi terpasang di badan. Dari pukul enam, sampai sekarang sudah lewat tiga puluh menit seusai sarapan, Senan masih berdiri berhadapan Aren.

"Ketusnyaaa ...," goda Senan sambil mencubit gemas sebelah pipi Aren sebentar. Kalau lama-lama, perempuan itu akan membuat Senan mati kutu. Ingat kalimat sadis bernada tenang Aren? Menyeramkan.

"Aku janji, setelah proyekku selesai, aku bakal ajak kamu bulan madu, ya?"

"Jangan mikirin itu, fokus kerja aja dulu."

Senan menggeleng, menolak kalimat pengertian Aren. Dia memegang kedua lengan mungil sang istri. "Kita perlu ngelaksanain itu, Ren. Semestinya kita memang pergi bulan madu setelah menikah. Bukannya—"

"Kalau kamu terus komentar gitu, kapan berangkatnya?"

Senan cemberut. "Aren emangnya nggak mau pergi bulan madu?"

"Bukan, Nan. Proyek kamu butuh tanggung jawab kamu, 'kan? Kenapa nggak fokus dulu, setelahnya baru mikirin bulan madu? Kita bisa pergi kapan aja, Nan. Kita masih punya banyak waktu sama-sama."

Masih punya banyak waktu sama-sama. Benar, pikir Senan. Jadi, mengapa mencemaskan perihal bulan madu terlalu berlarut-larut?

Senan melempar senyum, lalu mengelus beberapa kali kepala Aren. "Makasih ya, kamu udah ngertiin situasi aku."

Nyaman. Lantas ketika usap Senan berakhir, Aren jadi merasa seperti hewan manja berbulu akibat ketagihan diperlakukan begitu.

"Nan," panggil Aren kala baru saja Senan memunggungi, hendak angkat kaki.

Lelaki dengan satchel bag biru dongker di pundak kirinya itu menoleh, tubuh ikut berbalik demi memandang sekali lagi wajah sang istri.

"Hati-hati."

Senan masih memaku di tempat. Wajahnya kaku, tidak bisa mempresentasikan ekspresi yang selaras sama keadaan batin. Terus terang, Senan merasa ada sesuatu terkandung dalam satu kata itu.

"Di jalan, hati-hati. Jangan ngebut setir mobilnya, berenti kalau ada lampu merah."

•••

Suara tepuk tangan berjejal di ruang tertutup. Daun kaca nako untungnya dibuka, setidaknya mampu mendinginkan pikiran sekaligus badan Senan sebab penyejuk ruangan mati. Benda itu cuma buat pajangan lantaran tidak pernah dipakai. Bukan karena remot kontrolnya hilang, tapi memang sengaja. Aturannya, kalau ada bos besar saja dinyalakan, supaya irit listrik juga.

Ya ampun, kantor macam apa ini? Lucunya, Senan mampu bertahan di sini hampir setengah dekade!

Gila, strong juga.

Senan cepat-cepat mengenyahkan seluruh pemikiran tidak beraturannya, sebelum senyum prihatin untuk diri sendiri terlukis jelas dan dia betulan terlihat gila secara harfiah.

Tadi, datang-datang Senan sudah diajak rapat oleh ketua tim divisi project operation. Empat orang anggota terhitung Senan berada di sini, lengkap.

Lihat selengkapnya