VII Diebus

Ilestavan
Chapter #6

5/25

Melihat mi rebus lengkap telur mata sapi di atasnya, Senan baru tahu bahwa hidangan ini yang Aren maksud 'sudah masak makan malam'. Membentuk senyum, Senan segera menarik kursi, aroma gurih kaldu ayam mi terlalu menggoda untuk dibiarkan lama tersaji.

Pemandangan yang menyenangkan bagi Aren ketika Senan makan lahap. Pulang-pulang Senan mengeluh; bukan perihal kerjaan dengan segala tekanan yang menyertai, melainkan harus menahan rindu kepada Aren selama berjam-jam di luaran. Walau terkesan gombal, tapi bibir Aren tidak bisa hanya diam lurus, pasti melengkung. Pun, hati Aren menolak terus diam, selalu saja memberi efek getar.

"Nan, aku udah punya dua masakan yang aku bener-bener bisa." Aren mengabaikan mi miliknya, memilih untuk membanggakan diri di depan sang suami.

"Masak mi, dan air?" Tebakan Senan benar, tapi kurang tepat.

"Mi, sama telur rebus!" Menggebu, Aren kembali melanjutkan selagi Senan berhenti menyuap mi demi menumpahkan atensi kepada Aren. "Kalau masak air aku suka lupa, akhirnya kering. Jadi itu nggak masuk daftar masakan yang aku bisa. Hehe, aku hebat, 'kan?"

Lantas mengangguk sebagai jawaban, Senan mengakui bahwa Aren sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Cucian baju yang sudah mengering dan masih tertumpuk di atas sofa, misalnya. Senan yakin bahwa Aren belum pernah menyentuh detergen, tapi perempuan itu mau mencoba. Senan hanya percaya, kalau di masa mendatang Aren akan menguasai seluruh pekerjaan rumah tangga. Kesuksesan dapat hadir sebab ada kemauan dan usaha, bukan?

Satu suapan terakhir sudah masuk mulut, Senan bangkit sekalian angkat mangkuk bekas mi ke tempat cuci piring. Makan sambil ditemani cerita Aren memang seru, bahkan Senan tidak sadar bahwa si kenyal nan panjang miliknya telah tandas.

"Eh, kamu mau apa?" Aren mengekor Senan yang sudah melipat lengan kemeja sisa kerja hingga siku dan segera meraih spons. "Aku aja yang cuci."

"Kamu makan, Ren. Mi punyamu mangkak tuh, ntar jadi sombong." Senan melirik Aren sekilas, lalu menoleh arah meja makan; meminta perempuannya segera menghabiskan makan malam melalui isyarat mata.

Tanpa membantah, lantaran tahu bahwa Senan akan teguh sama kemauannya, Aren kembali ke meja makan. Ia sengaja duduk menghadap Senan yang membelakangi, meski begitu seluruh aktivitas tangan lelaki itu terekam sempurna dari sini.

"Wahh ...," gumam Aren. Wajahnya menampilkan ketakjuban khas, seperti kebiasaan. "Ternyata emang bener narasi di cerita fiksi, cowok cuci piring itu ... keren?"

Sebetulnya Aren kira, kalau cerita-cerita fiksi yang gemar ia baca suka melebih-lebihkan, kadang bahkan tidak masuk akal. Mana ada lelaki cuci piring dan pesonanya sampai luber sana sini? Walau ada beberapa yang memang tidak dapat dinalar, tapi sepertinya fiksi juga diambil dari realitas dunia nyata.

Aren kembali memfokuskan diri terhadap punggung Senan, tanpa sadar bahwa mi miliknya sudah benar-benar menyombongkan diri sehabis menyerap seluruh kuah.

•••

Malam kian larut. Ditemani cahaya lampu nakas yang remang, pasangan itu saling memeluk di atas ranjang. Mereka belum tidur, Senan bilang kantuk belum menjemput, makanya Aren menemani, dan berakhir Senan bermanja ria.

"Aaahhh, angetnyaaa ...." Suara Senan teredam akibat kepala yang makin masuk ke tepi leher Aren.

"Senan, ihh. Geli!"

Segera menjauh beberapa senti, Aren mengubah posisi jadi telentang, hanya kepala mengarah Senan.

Namun, Senan belum ada niat berhenti berulah. Dia terus mendekati istrinya, sampai terjadi perang gelitik. Oh, sebetulnya hanya Senan yang menggelitik Aren.

Riuh bercampur baur antara suara 'sikisikisik' Senan dan ....

"Nan, kamu ini nyiksa aku!"

Nada tinggi Aren, tentu. Ia hampir menangis sambil tertawa. Tubuhnya sudah menggeliat. Tidak tahan.

"Gelitikin orang itu bentuk penyiksaan. Bisa ngebunuh tau!"

Spontan menghentikan aksinya, Senan terpaku keheranan. "Masa sih?"

"Makanya baca buku."

Lantas gelakak Senan melimpah terdengar. Pasti kerjaan Aren di rumah seharian selain beberes, tidak jauh dari membaca buku atau menonton film. Ia juga suka nonton drama dari negeri ginseng—kalau ini sudah Senan tahu sejak masih pacaran sama Aren.

Jarum jam pendek dinding kamar menunjuk angka sebelas, serangan gelitik tadi menghasilkan seprai kusut, selimut berada di bawah, rambut Aren berantakan, dan dua kancing piama Senan terbuka tanpa sengaja. Tiada percakapan lagi, Senan juga tidak mau memberi gelitikan maut ke sekian kali kepada istrinya. Mereka sama-sama terbaring, memandang langit-langit kamar, mendengarkan deru napas masing-masing.

"Nan."

Setidaknya senyap selama puluhan detik, sebelum panggilan Aren terdengar hingga yang punya nama menoleh. Aren juga demikian, menciptakan saling pandang.

Lihat selengkapnya