VII Diebus

Ilestavan
Chapter #7

6/24

"Kamu pernah liat kertas sobek?"

Senan menoleh Sania. Perempuan itu asyik memandang tetesan hujan yang jatuh kala sore menerkam langit. Pertanyaannya jelas bukan minta jawaban, melainkan perhatian. Semua orang juga pernah melihat kertas sobek, bukan?

"Kertas sobek masih bisa diperbaiki pakai perekat atau selotip. Walau nggak sempurna, kertas yang sobek bisa nyatu lagi."

Tidak paham inti pembahasan, Senan masih menetapkan mata pada satu titik; tepi muka Sania, sekaligus mendengarkan demi formalitas dan penghargaan atas Sania yang tidak neko-neko.

Hari ini diluar rencana, Senan bekerja lapangan, melihat lokasi pembangunan bersama si klien. Tanah Permai Almiran yang juga properti milik Murya Karya, akan dibangun satu rumah tunggal lagi setelah ada sekitar tiga rumah yang berdiri tangguh.

Percakapan soal pondasi, berbagai kegunaan, dan aspek lain untuk bahan rumah telah Sania sepakati usai Senan mengemukakan penjelasan. Senan juga dibantu kontraktor menerjemahkan gambar kerjanya menggunakan bahasa yang lebih mudah Sania pahami.

Sebetulnya, Senan sempat mengeluh di depan Yopi bahwa proyek Sania terlalu gercep—bayangkan, tadi pagi baru rapat resmi bersama Pakron, sudah langsung meluncur ke proses lain hingga kontraktor Ariet yang kebetulan job free mendukung dengan semangat 'kecepatan' itu dan tidak memberi jeda buat Senan bernapas sebentar. Gambaran kerjanya juga masih kasar.

Memang ya, kenyataan suka lebih tidak masuk akal dari cerita rekaan. Namun, sisi positifnya proyek Sania akan lebih cepat selesai dari perkiraan. Senan harus bergantung pada pemikiran itu guna tahan banting.

"Seperti kita."

Hah?

Terus terang, Senan tidak lagi memerhatikan apa yang lawan bicaranya bahas kendati mata tetap tertuju Sania. Senan selalu bisa sibuk sama isi pikiran sendiri, tidak beda jauh dengan istrinya.

"Kita bisa mulai dari awal, Sen." Sania menoleh, dan keadaan mulai tidak wajar ketika ia merapat sedikit arah Senan.

Tadinya tidak ada yang aneh. Pergi ke Permai Almiran mengendarai Luxio kantor dan Senan tidak harus merasa canggung melakukan tugasnya meski ada Sania. Saat hendak kembali menuju tempat parkir, hujan keburu mengurungkan niat mereka, lantas saung sederhana dekat taman hijau menjadi pemberhentian langkah. Senan sempat waswas bahwa wanita ini akan mengganggu.

"Aku kangen kamu."

Memang benar, Sania mengganggu.

"Sekarang udah beda." Senan bergerak menjauh. Tidak banyak jarak yang diambil, saung segi empat cukup sempit. Cuma lumayan buat berteduh karena atapnya sirap.

Ya ampun, mengapa tidak ada orang, sih? Kedua mata Senan liar, ke mana rekan-rekannya yang ikut tadi? Sopir kantor juga, tidak kelihatan. Senan baru sadar setelah menit-menit berlalu kalau dia terpisah dari timnya.

Kabut tipis kemudian berjejal melingkup udara, memenuhi pandangan.

Sial. Senan memaki dalam batin. Apa Tuhan tidak punya skenario lain untuknya hari ini? Kesialan apa pun Senan lebih rela dibanding terjebak di sini bersama Sania.

Hujan makin gila-gilaan memecah diri bersama angin sebagai teman pengiring. Sania melingkari pinggang Senan sekaligus memosisikan tubuh laki-laki itu tepat di hadapan, agar wajah Senan juga hanya menatap dirinya saja. Seperti tadi.

"Aku pernah bikin lem dari sagu waktu praktik seni di bangku sekolah dasar. Sama halnya lem itu, aku bakal melekati kamu lagi, Sen."

Berbeda dari hawa dingin, tubuh Senan berkhianat; hangat mendekap. Dia tidak bisa mengendalikan diri kala Sania dengan berani menempatkan bibir di bagian yang tidak seharusnya. Mudah, tentu saja. Sania menggunakan sepatu hak tinggi, tidak perlu berjinjit.

Lihat selengkapnya