Dalam tenangnya pagi, Aren selalu terbuai oleh kecupan Senan yang mendarat di dahi. Rutinitas dari awal membuka mata sehabis lelap sejak menikah. Kendati pertama kali mereka malu-malu, setengah bulan yang berjalan menjadi satu kebiasaan.
Aren suka. Kedua pipi menghangat ketika merasakan presensi bibir lelaki itu menyentuh kulit wajahnya.
Berlainan pagi ini, dingin lebih mendominasi. Entah karena Senan tidak melakukan rutinitasnya, atau memang udara benar-benar dingin. Akhir September, intensitas hujan meningkat pertanda air-air langit bakal kompak turun merata di berbagai daerah.
Mungkin Senan lupa. Dia begitu tergesa-gesa bangun tadi, langsung menuju kamar mandi. Senan juga tidak melempar candaan menjengkelkan kepada Aren atau bertingkah manja.
Mengambil handuk sendiri, menyiapkan pakaian yang hendak dipakai sendiri. Senan kata, lagi kepingin pakai kemeja krem dan celana cokelat sebagai outfit. Padahal Aren sudah mengambilkan baju warna lain.
Tidak masalah, sih.
Meski sudah berulang kali hal negatif muncul dalam benak, Aren tetap teguh menatap sisi positif. Namun, itu cuma bertahan sampai detik teman nasi yang telah Aren masak, ditolak Senan.
Ini baru masalah, bagi Aren.
Aren tidak suka penolakan. Anggap ia hipersensitif, tapi bukankah wajar mengalami perasaan begini? Aren sudah berusaha, dan Senan tidak coba menghargai.
"Satu suap aja deh, masa nggak bisa? Kamu buru-buru banget, ya?" Aren tidak sangka kalau Senan jadi begitu sibuk.
Di sofa, Senan hanya menggumam untuk tanggapan dari kalimat istrinya, kedua tangan sibuk menyimpul tali sepatu derby yang sudah dia pakai.
"Senan ...."
Kesal, tapi Senan pilih melunak. Mendengar namanya disebut menggunakan nada memohon begitu, bikin bagian dari dirinya tercubit.
Beranjak dari tempat duduk awal ke kursi meja makan, pasang mata Senan merekam mangkuk besar isi opor ayam.
Aren sudah membumbui opor kemarin sore, sengaja untuk sarapan. Aren memang lagi senang mengeksplorasi masakan, mencoba resep-resep makanan yang dirinya dan Senan suka dari internet. Iya, Aren memang belum mahir, tapi ia paham tidak ada orang yang mahir dalam suatu hal kalau tidak punya keberanian memulai.
Jadi semestinya, Senan mengatakan sekiranya kalimat pengertian. Seperti biasa.
"Asam." Satu kata yang tidak diharapkan Aren. Lelaki itu angkat bokong, berdiri, melihat sang istri tanpa sorot bermakna. "Ini basi. Mana kamu masaknya banyak. Kalau kayak gini jadinya kamu buang-buang makanan. Belum lagi bahannya beli, 'kan?"
"Aku ... aku nggak tau itu basi. Nan—"
"Kamu masaknya kapan?"
"Kemarin ...."
"Nggak mungkin basi kalau kamu masaknya bener. Cara kamu masak pasti bermasalah. Atau belum mendidih banget udah dimatiin kompornya, ditutup rapet."
Aren baru belajar masak. Senan tidak mesti menghakimi.
Ingin menganggap apa yang Senan katakan sebagai bahan pembelajaran, tapi ada satu kecewa yang membombardir Aren hingga sisi egonya malah menyalahkan diri sendiri dan mengutuk betapa bodohnya ia.
Tanpa bicara apa-apa lagi, Senan menuju pintu utama rumah, meninggalkan piring sarapannya.
Merasa ada yang mesti ditagih, Aren mengejar langkah lebar Senan. Segera menghadang tubuh tegap itu.
"Kamu nggak kelupaan sesuatu?" Aren merentangkan sepasang tangan, memberi isyarat.
Selain mencium kening tiap bangun tidur, sebelum berangkat kerja juga Senan punya kebiasaan memeluk Aren. Lagi, sepertinya lelaki itu lupa.
Menatap tepat pada netra Aren ....
Mengapa Senan tak lagi menerima stimulasi seperti awal? Maksud Senan, sesuatu yang meluap-luap sewaktu mereka baru menikah tiba-tiba padam. Senyap.
Mengusir apa yang dipikir, Senan merengkuh tubuh Aren. Hanya saja Senan harus cepat pergi, maka Aren tidak mendapat pelukan lebih lama.
"Aku berangkat." Dua kata terakhir Senan. Dia berbalik arah, tanpa menoleh Aren atau melambaikan tangan bersama senyum lebar.
Figurnya masuk ke dalam mobil yang sudah keluar dari garasi, tanpa peduli kalau sinar mata Aren redup. Tidak bergairah.