"Pinata mau ikut siapa? Papa atau Mama?"
Adakalanya, masa-masa sulit datang di waktu tidak tepat. Atau, waktunya sudah menetap, tapi manusianya saja yang tidak siap?
Menghadapi kenyataan bahwa mereka memberi opsi semacam itu terasa mencekik bagi Aren. Lagi pula, mana ada anak di dunia yang menyayangi kedua orang tua dapat memilih? Meski Aren tidak pernah makan masakan ibunya, ia tidak sebal. Seringkali ayahnya mengingkari janji akan membawa manisan buah kering untuknya, Aren tidak ada niat menanam benih benci.
Rencana awal, Aren ingin membanggakan diri di depan mereka karena soal matematika hari ini terasa mudah. Peran utama sang ayah yang mendorong untuk terus berusaha. Katanya, jangan cepat menyerah. Lalu pertanyaan yang ayahnya lontarkan barusan, bermakna apa?
"Dia perempuan, ikut sama saya aja. Lagian lebih baik anak diurus ibunya." Serius? Aren pikir, akan jauh lebih bagus jika mereka tetap bekerja sama dalam urusan itu.
Seragam putih abu-abu yang belum lama resmi dipakai tiap ke sekolah masih melekat di badan, bahkan mereka tidak membiarkan Aren membuka sepatu dulu. Paling tidak, menawarkan makan? Sungguh, Aren ingin pulang cepat sebab sudah kelaparan. Hati terasa mengembang ketika mendapati kendaraan roda empat ayahnya terparkir di halaman, membayangkan mereka bisa makan hidangan siang bersama.
Kerangka imaji paling konyol. Bukti nyata, semuanya tertangkis di depan muka Aren sendiri.
"Dia udah lima belas tahun, punya hak buat milih."
Jika untuk ukuran orang luar, suara tegas Justius Graha mampu meremangkan bulu roma. Kalau Aren, tidak terpengaruh, apalagi terintimidasi. Maka ia tetap bungkam, masih memegang secuil harapan kalau kedua orang tuanya mampu memahami; keadaannya, perasaannya.
"Pinata ... jawab, Nak."
"Pa," katanya, pelan. Graha sudah bersiap pasang telinga, menjadikan putrinya pusat perhatian tunggal. "Ma."
"Ya, Sayang?"
"Kenapa aku harus milih?"
Giliran Graha yang menutup rapat bibir. Ia tidak mampu menjelaskan bahwa rumah tangganya tidak lagi nyaman dihuni bersama Litani. Namun, Litani menyerdehanakan sesuatu yang bahkan rumit bagi Graha untuk diucapkan.
"Papa Mama nggak bisa sama-sama lagi. Semua udah nggak kayak dulu, Sayang."
Nggak kayak dulu? Sehingga pertanyaan lain bermunculan; memang dulu mereka bagaimana, sekarang bagaimana?
"Tolong ngertiin ya, Pinata? Hm?"
Kesedihan Aren sudah menumpuk tidak rapi. Kalimat Graha menambah susunan getir yang tidak sudi Aren sentuh.
Tanpa sengaja, mereka memaksa Aren menekan ego diri, mengesampingkan pendapat-pendapat sendiri demi memberi mereka satu pengertian. Timbal baliknya, tidak ada yang mengetahui apa yang Aren pikirkan, bagaimana cara Aren menerima keadaan itu, bagaimana rasanya berada di tengah-tengah mereka yang merenggang.
Aren kesal? Ya.
Ingin berontak? Tentu. Pikiran bahkan menolak diam, hati berusaha mengemukakan gejolak bara melalui mata yang redup, hampir melahirkan cairan-cairan kepedihan. Hanya saja, kendati Aren kesal, memahami adalah pilihannya sendiri. Meski Aren ingin menentang ... kedua orang tuanya tetap pilih pisah. Ada atau tanpa persetujuan Aren.
Ketika Aren akan menginjak ubin SMA, ia gugup luar biasa, dan Graha bilang semua orang pasti mengalami perubahan yang Aren rasa; lingkungan baru, teman baru, materi pelajaran baru. Aren pasti bisa melewatinya sebagaimana pertama ia lulus sekolah dasar dan harus ke tingkat sekolah menengah pertama. Jadi, mengapa Graha tidak mampu mengatasi perubahan bersama Litani sang Ibu?
Semua bermula dari perubahan itu.
Kaca-kaca yang melapisi mata akan pecah seandainya Aren mengedip. Ia terlalu beku seraya menatap baju tidak terlipat di atas ranjang. Menghadapi suami sendiri mulai memberati relung. Belum lagi ingatan-ingatan tentang hari terik itu. Padahal kejadiannya sudah lama, Aren juga telah banyak mengalami berbagai hal, seharusnya bisa terlupa. Tidak. Sudah terlupa. Namun, ketakutan yang merongrong menolak tertimbun.