VII Diebus

Ilestavan
Chapter #10

9/21 [18+]

Entah bagian semesta mana, pasti ada seseorang yang meragukan cinta. Bertanya, bagaimana itu bentuk cinta. Bagi Aren, cinta memang tidak pernah bisa dilihat, tapi dapat dirasa secara erat. Ada lagi yang bilang, kalau cinta itu fiksi. Cinta sebetulnya tidak ada, dan manusia hanya dibodohi atas nama cinta.

Jika benar demikian, bisa jadi ... marah, kesal, benci, bahagia, suka, tidak akan ada. Karena cinta bagian dari emosi. Makanya Aren pikir, cinta bukan sesuatu yang bisa dipilih. Kalau seseorang menyimpulkan cinta itu pilihan, mungkin Aren bisa saja bukan memilih Senan untuk berlabuh.

Aren tidak akan memilih laki-laki yang begitu kasar pada tubuhnya. Andaikan pula cinta membara itu bisa menentukan atau menggambarkan masa depan, apakah Aren tetap pilih untuk mendampingi Senan?

Setahu Aren, laki-laki itu tidak pernah mabuk. Namun, malam ini aroma alkohol terlalu menyengat dari mulut Senan. Aren yang memapahnya sampai mual.

"Kamu kenapa sih, Nan? Sebenernya apa masalah kamu?" Aren mengempas tubuh suaminya di sisi ranjang. Beruntung tidak ia jatuhkan saja Senan di sofa luar daripada susah-susah sampai kamar.

Aren benci Senan yang begini. Lebih baik dia bercerita apa bebannya dibanding mabuk dan berakhir teler.

"Nan, kamu ...."

Senan menarik pergelangan tangan Aren tanpa aba-aba. Tanpa ingin mendengar kalimat apa pun dari istrinya.

Kembali, sikap tidak biasa Senan menginfeksi. Kali ini lebih parah.

Senan menciumi Aren membabi buta, melucuti pakaiannya secara brutal, dan Aren tidak merasa terangsang sama sekali ketika lelaki itu menjamah tubuh, meremas kuat-kuat bagian dada.

Aren tidak menikmati apa yang Senan lakukan kepadanya. Rintihan yang tersuara dari Aren bukan tanda senang.

Senan terlalu kasar.

Bahkan kala penetrasi benar-benar terlaksana, bukan momen manis penuh gairah yang Aren dapat, melainkan perih. Apalagi Senan kian serampangan bergerak di atasnya. Lebih perih, ketika mulut itu menggumam satu nama seraya berdesah.

Nama yang tidak asing di telinga, dan Aren pernah yakin tidak bakal mendengarnya lagi dari Senan. Lantas di momen paling menyakitkan seperti ini, bak gempa yang datang tiba-tiba mencederai batin, Aren disuguhi gelembung pilu.

Aren salah dengar?

Jika ada yang pernah salah dengar secara berulang. Lebih dari satu kali di satu waktu, mungkin Aren percaya. Ia akan langsung memeriksa indra pendengarnya ke spesialis otolaringologi.

Membiarkan Senan terus bergerak semaunya, Aren tidak bersuara lagi; merintih, apalagi mendesah. Ia hanya terpejam. Merasakan cinta seharum gardenia menghancurkannya sedikit demi sedikit ketika ilalang ikut tumbuh.

Senan telah berhasil. Sukses besar memberi sekotak ketidakberhargaan kepada Aren.

Ah ya, sangat mudah membuat orang merasa tidak berharga daripada sebaliknya.

•••

Hidup itu penuh genre.

Pernah menonton film genre berbeda?

Seperti kamu nonton film fantasi sekarang, kemudian berpindah ke film aksi. Kalau dipikir-pikir, itu seperti alur hidup. Hari ini, kamu mungkin ada dalam genre romansa bertabur gula-gula. Mana tahu jika esoknya kamu ada di genre kriminal dan menjadi tokoh utama? Menjadi buron sebab membunuh seseorang, misalnya.

Yah, Aren sedang mengalami hal demikian. Genre romansa dalam hidupnya bertukar horor paling mengerikan tadi malam, dan berganti lagi menjadi misteri dibumbu melodrama ketika Senan masih bungkam setelah menjawab 'iya' pertanyaan Aren.

Bukan bermaksud mau mengungkit, tapi apakah Senan tidak ingat? Aren pernah mengulurkan tangan, membantunya bangkit kala dia terlihat keropok. Aren secara sukarela membagi waktu untuk mengompres lebam-lebam di hati Senan.

Cerita tentang Sania, perempuan yang meninggalkan Senan tanpa secarik alasan mengalir, menciptakan sungai beriak. Dia bahkan memaki, Sania Amy berengsek—menggunakan intonasi putus asa. Saat itu Aren memantapkan diri untuk memeluk Senan. Menyelamatkannya dari gelap. Memberi warna cerah agar Senan bisa tersenyum lagi. Lalu bagaimana bisa lelaki itu kembali pada luka lama?

Oke, kedua kaki Aren sudah pegal. Ia juga sudah tidak tahan ingin menegur Senan yang terlalu lama membisu di posisi sama, seolah-olah keberaniannya menjawab tadi adalah energi terakhir.

"Nan," sebut Aren. Ia menarik napas sebelum mengajukan kalimat yang berpotensi keharusan Senan menjelaskan. Seluruhnya. "Mabuknya kamu, berkaitan sama Sania, 'kan?"

"Aren ...." Lirih ketika Senan mulai bicara.

Sejak mengenal Aren lebih akrab, Senan selalu membuka diri. Terbuka atas apa yang dia rasa, mengalami kejadian apa, atau jujur tentang pemikirannya akan suatu hal. Walau awal-awal tidak disengaja, tapi itu seperti satu kebiasaan penting yang Senan terus ulangi. Demikian ketika harus merahasiakan perasaan terlarangnya, Senan tersiksa. Dia berusaha keras menjalani rutinitas di bawah bayang-bayang yang bukan cuma masa lalu, tapi juga susunan dilema tiap berhadapan Aren.

"Kamu nggak bisa jelasin?"

"Aku udah nyakitin kamu. Maaf."

Bukan itu.

Senan memang orang yang gampang meminta maaf, tapi apakah benar-benar paham dimana letak salahnya? Tahu sudah menyakiti bukan berarti memahami kesalahan yang telah diperbuat. Tidak berarti pula mudah memperbaiki kesalahan.

Aren ingin tahu apa yang melatarbelakangi Senan bertemu Sania sampai dia memutuskan minum, bahkan malam tadi ... astaga. Ada banyak pertanyaan di kepala Aren, tapi ia coba meringkas. Seharusnya Senan sudah bisa menjelaskan.

"Aku mau ambil mobil," kata Senan. Dia ingat kalau meninggalkan mobilnya di tempat parkir bar, menuju rumah naik taksi daring sebab fokusnya berkurang. "Sepulangnya bakal aku jelasin."

Perihal mobil hanya dalih. Senan sengaja mengulur waktu.

Aren mengeratkan genggaman tangan pada gagang sapu ketika Senan dengan tubuh terbalut selimut keluar kamar. Kelihatan kesulitan, tapi lelaki itu memaksa berjalan menjauh dari lingkaran keberadaan Aren dibanding cepat menjelaskan, guna sedikitnya Aren bisa memaklumi kendati keadaan telah rusak. Perasaannya untuk Senan sudah cacat.

•••

"Pinata, aku mau curhat."

Hanya ada dua orang yang memanggil nama depan Aren. Ayahnya, pertama. Kedua, pria itu.

Lihat selengkapnya