Pandangan rata-rata orang, perempuan kedudukannya di belakang laki-laki. Tidak pernah setara. Aren punya pandangan nyeleneh; laki-laki dan perempuan sama. Sama-sama manusia. Mereka berhak jalan berdampingan.
Perempuan tidak selamanya lemah, sedikit-sedikit menangis—walau menangis bisa diartikan penguatan secara mental. Laki-laki tidak selalu tahan banting, adakalanya mereka putus asa, tapi dianggap haram kalau perasa. Aren juga kurang setuju sama gagasan, perempuan selalu benar. Toh, sepintar apa pun seseorang, pasti ada kelirunya. Sehebat apa pun mengontrol emosi, pasti ada marahnya.
Maka dari semua pandangan itu, Aren tidak melulu ada di posisi sebagai perempuan; bersikap anggun, mengenakan rok, pakai mekap, apalagi menjaga suara supaya terdengar halus. Seperti sekarang, ketika kebanyakan model di hari tidak bekerja mengunjungi salon, melakukan perawatan kulit, paling tidak pijat relaksasi ... Aren? Mancing.
Sesuai janji temu dengan Gustian hari itu, mereka akan pergi memancing. Aren sudah siap sebelum si adik datang. Tidak lupa rambut dikucir, kepala diselubung topi hitam berlidah. Pada bagian atas depan topi ada bordiran, je maintiendrai.
Gustian punya tempat memancing favoritnya. Pasti Berhasil. Konon, orang-orang yang mancing di sana selalu membawa hasil meski sedikitnya satu ekor ikan. Nah, di Pasti Berhasil ada kolam lele. Aren punya kesenangan tersendiri sama ikan berkumis itu selain rasa daging yang gurih kalau digoreng.
"Kita lagi jadi tim pemalas." Aren menduduki kursi kosong setelah sampai.
Kursi-kursi berpunggung di sepanjang tepi kolam tidak diberi nomor. Pengunjung bebas mau duduk di mana saja, terpenting kosong: ketahuan jika sudah ada yang menempati. Meski ditinggal, terdapat barang-barang orang di sisi atau kolong kursi.
Gustian menyengir demi menanggapi kalimat Aren barusan. Bukan rahasia lagi, orang yang tidak tahu atau tidak minat memancing senang membicarakan seseorang yang suka mancing; mereka pemalas. Lebih buruk, ada cap tak kasatmata kalau pemancing adalah pengangguran.
"Padahal nggak juga, 'kan?" Aren mengangguk sebagai persetujuan tingkat tinggi atas tanggapan Gustian. "Buat aku sih, mancing bisa ngilangin penat. Hari-hari kita udah penuh tekanan, otak juga butuh refreshed. Kalau Pinata, mancing kenapa?"
"Suka aja," sahut Aren sekenanya. Ia lalu fokus sama joran yang baru dikeluarkan dari jinjingan.
"Pinata pernah mancing ya sebelum ini?" Kemudian Gustian baru menangkap hal penting dari bagian katanya. "Seriusan?"
"Kalau nggak ada kerjaan doang. Biasanya di kolam ikan mas atau nila. Nggak ada lelenya. Jadi mau coba lele."
Itu sebabnya, ketika Gustian menawarkan ikan lele kepada Aren, gadis itu langsung menjawab 'mau' menggunakan huruf kapital tiap suku kata dalam chat. Gustian bilang harus mancing dulu. Aren tambah semangat, ingin ikut.
"Aku baru tau Pinata suka mancing."
"Yaiyalah. Kalau kita tinggal bareng, kamu udah tau, bukan baru tau lagi."
Kalimat Aren berhasil mencubit hati Gustian dan mengacak isi kepala lelaki itu. Mata kail jadi pusat perhatian. Ah ... jangankan tinggal bersama, mereka bahkan tidak tumbuh di lingkungan serupa. Main kejar-kejaran saat kecil, atau saling melempar ejek khas anak-anak. Mereka baru diperkenalkan setelah Graha menikahi ibunya, Karuna Wen.
Sangat menyenangkan bagi Gustian ketika tahu ia punya saudara dan batal jadi anak tunggal. Namun, Aren tidak mau dipanggil kakak, apalagi mbak. Katanya, Aren merasa jadi sasaran sales kalau dipanggil kakak. Sementara mbak, kesannya terlalu tua, padahal Gustian hanya satu tahun lebih muda. Masalah panggilan itu menjelma cerita lucu kala remaja bagi Gustian. Sampai sekarang juga, sih.
Memang dasarnya mereka harus bertemu untuk menjadi keluarga, meski tidak satu ibu atau tinggal bersama, mereka bisa akrab acap kali bertemu atau sesederhana bertukar kabar melalui pesan. Hubungan mereka seajaib itu.
"Kamu mau makan umpannya?" Sudah dua puluh detik lalu Gustian pindah tatap ke umpan. Aren yang menangkap gelagat adiknya merasa heran. Ya barangkali Gustian sedang lapar.
Oh iya, jika biasanya Gustian mancing lele menggunakan umpan hidup, kali ini ia meracik sendiri, sebab Aren merinding melihat hewan menggeliat seperti cacing atau ulat. Aren juga tidak mau membayangkan bagaimana sulitnya mereka di dalam air sana dan dimangsa. Gustian menghargai pendapat Aren, meski bagian membayangkan hewan yang dimangsa bikin Gustian tergelak. Mana ada pemancing memikirkan perasaan umpan?
"Pinata mau kopi? Sekalian ini." Gustian mengusap kedua telapak tangannya yang berkeringat ke samping baju, lantas berdiri.
"Nggak minum kopi."
"Takut jadi komposisi, ya?"
"Ha?"
"Sekarang lagi banyak merek kopi instan dicampur gula aren," sahut Gustian, lalu mendapati pelototan kakaknya. "Ya udah, aku pesen kopi dulu. Pinata mau apa? Mi di gelas?"
BYUUR!
"EH!"