VII Diebus

Ilestavan
Chapter #12

11/1

Aren hadir saat Senan patah hati. Entah itu disebut keberuntungan atau kesialan runcing menuju kehancuran. Mereka semakin dekat karena yang satu bersifat menyembuhkan, dan satu lagi selalu menabur kehangatan. Aren jelas terbuai, hangat yang sempat hilang sejak sang ayah tidak lagi tinggal bersamanya, terasa menemukan tempat kembali ketika duduk di sisi Senan.

Iya, Aren keliru menganggap Senan sudah selesai dengan masa lalunya; sudah tidak hidup dalam hitam masa itu. Jadi, keraguan Aren terhadap semua sikap manis Senan terbukti, dan ya, Aren kecewa. Lalu apa? Tujuan mereka menikah ingin terus bersama dalam waktu lama. Mereka tahu punya perasaan yang sama. Kalau ternyata ada parasit penghalang, maka salah satu dari mereka harus bertindak.

Konsepnya serupa kala percakapan mereka soal perubahan hubungan, Aren masih ingat. Kemudian perihal Senan yang mencintai Sania, itu perasaan Senan, Aren tidak bisa menekan tombol off untuk mengakhiri apa yang ada dalam hati suaminya.

"Aku masih yakin kalau apa yang kamu rasa ke wanita itu bukan cinta, sekalipun kamu belum lupa sama dia. Ayo kita bertaruh. Tujuh hari."

Aren sudah memutuskan. Ia menyeka semua air dari mukanya. Senan bahkan tidak merasa sedikit pun harus menghapus itu, seolah-olah tangisan Aren tidak membuat dirinya tercabik. Mungkin Senan salah satu penganut paham; jika kita memikirkan perasaan orang lain, kita tidak akan berdaya. Maka Senan menolak memikirkan perasaan Aren terlalu jauh, menolak bertanggung jawab atas perasaan perempuannya yang terluka.

"Kalau di hari ketujuh memang bener apa yang kamu rasa ke wanita itu cinta, aku bakal ngelepas kamu."

Pelupuk Senan mengembang, tidak percaya atas kalimat yang dia dengar.

"Kamu mempertaruhkan rumah tangga kita?"

"Kenapa?" Sedikit, Aren angkat rahang. Terlihat tangguh, atau mungkin, congkak? Terserah apa pun sebutannya.

"Kamu mulai ragu sama perasaan kamu? Aku berani mempertaruhkan rumah tangga kita karena aku yakin, sekarang ini, kamu cuma salah haluan." Aren tidak mau sampai terisak, jadi ia menarik napas panjang sebelum dikeluarkan cepat. "Kalau ternyata perasaan kamu ke dia salah, temuin aku di Omayeka minggu depan, jam delapan. Kamu nggak dateng, artinya aku kalah. Aku bakal balik terakhir kali ke rumah ini buat beresin barang aku. Aku bakal akuin nyerah sama hubungan kita."

Sebab Aren tahu, menikah bukan cuma perihal berbagi tempat tidur. Mempertahankan rumah tangga dengan salah satu tangan jembatannya menetap ke arah lain hanya akan timpang. Dipertahankan percuma, hubungan beracun bakal tersaji.

Kalimat yang mungkin terdengar enteng dan remeh dari Aren, bersama ekspresi angkuh itu sebenarnya terasa menguliti diri sendiri. Andaikan mereka masih dalam masa berkencan, tidak akan serumit ini. Aren bisa mengalah meski akan menderita luka, tidak perlu banyak bicara.

Terkesan keras di luar, Aren ketakutan dari dalam. Ia tidak mau menginjak jejak sang ibu. Sewaktu Aren memutuskan untuk menikah, ia ingin Litani melihat bahwa 'anaknya' berhasil dalam pernikahan.

Bukan hari yang mudah. Usai beradu lisan dengan Senan, tengah malam Aren mencabut charger komputer tabletnya. Keluar kamar, duduk di bawah, menyandari sofa, Aren tertawa keras sebab menonton video lucu.

Sampai beberapa menit berlalu, Aren bosan. Ia berpindah menonton episode drama yang telah ditunggu selama seminggu setelah mengambil macaron dari dalam kulkas. Rasanya manis, herannya manis ini tidak berfungsi memproduksi hormon bahagia kepada Aren. Ia menangis. Membuktikan kalau tawanya menit-menit lalu adalah palsu.

Adegan yang memutar di tabnya sedang menampilkan intermeso tanpa percakapan, backsound mengiringi, dan Aren tambah sesenggukan menangis. Lalu ia tertawa lagi kala adegan berganti humor, sang lead-male berkata tidak karuan ketika salah tingkah. Hanya saja, mata Aren enggan berdusta, mereka tetap memproduksi air. Merah, bengkak.

Melepas benda tipis itu ke karpet, ia tidak peduli kalau tayangannya masih modus putar. Fokus telah hilang. Lanjut menangis hingga wajah lembap dan hidung pampat, Aren mendongak guna bisa bernapas leluasa yang sayangnya sia-sia. Senan bahkan tidak bangun, padahal tangisan itu terdengar memedihkan.

Aren merasa sendiri, dalam arti sesungguhnya memang tidak ada makhluk bernapas yang kini bersamanya. Dalam arti lain ... siapa bilang jika kamu menikah, kamu takkan kesepian?

Justru sekarang, rasanya, dua kali lipat lebih sepi dibanding dulu ketika Aren sedang menapaki masa tersulit sebagai model.

•••

Lihat selengkapnya