VII Diebus

Ilestavan
Chapter #13

12/2

Semua orang punya porsi waktu sama. Semua orang bisa sukses. Semua orang juga bisa. Hampir semua orang merasakan itu. Semua, semua dan semua orang. Apakah hidup adalah tentang seluruh orang? Lantas jika kita tidak serupa dengan orang lain, dianggap gagal jadi manusia?

Tentu saja, tidak adil rasanya menyamaratakan apa-apa dengan manusia lain: masalah atau tekanan yang dipikul. Fakta bahwa semua orang punya hak waktu yang sama itu benar, dua puluh empat jam sehari, seratus enam puluh delapan jam tujuh hari. Namun, latar belakang dan fasilitas hidup tiap orang tidak serupa sehingga memengaruhi alur kisah mereka.

Sania sudah khatam perihal itu. Dari sana ia menciptakan nilai-nilai tersendiri dan berasumsi, tidak ada yang mampu lebih paham atas pribadi kecuali diri sendiri. Kedua orang tua? Masuk dalam jajaran orang luar, Sania tidak beranggapan kalau mereka memahaminya dengan alasan orang paling dekat.

Waktu kecil sampai remaja, Sania suka menggambar pelangi. Berbagai macam pelangi berlatar berbeda memenuhi drawing book-nya. Penggambaran kebahagiaan, anggap kedua orang tua.

Jelas, Sania kurang apa lagi di hidupnya? Ia ibarat putri dalam rumah sendiri, diberi kasih sayang berlimpah, kecakapan fisik baik, pendidikan memadai, tidak ada yang kurang. Namun, di jeluk semesta alam apa yang gratis? Tidak peduli jika kita terlahir dari keluarga berada dan harmonis.

Sebanyak pelangi yang Sania gambar, sebanyak itu pula ia bersusah hati. Kedua orang tuanya salah mengerti. Bukan karena mereka sibuk bekerja lantas Sania kurang perhatian. Ibunya selalu memberi perhatian, tapi saking banyak jadi berlebihan.

Sesederhana respons anak terjatuh, orang tua sudah menyumbang sekeping kepribadian untuk buah hati. Tiap anak punya pengalaman bagaimana mereka jatuh sejak mencecah bumi. Mereka menangis, entah karena terkejut atau memang perih di lutut.

Dulu kalau Sania jatuh, sang ibu menyalahkan batu, kecoak atau apa saja yang beliau lihat di tempat kejadian dimaki-maki—tidak peduli kalau yang kena salah benda mati.

"Nakal ya kamu, bikin anak saya jatuh. Aduuuhhh anak Mama jatuh, nakal banget ya aspalnya. Udah, jangan nangis lagi, udah Mama injek kenceng dia." Alih-alih menguatkan anak bahwa jatuh adalah bagian yang mesti dihadapi, sebab jika ingin berlari atau berjalan, pasti menemui hambatan. Sania kecil terganggu atas pengelolaan emosi api yang sedang meletup.

Ayahnya seorang yang taat aturan. Sampai-sampai apa pun yang dilakukan Sania harus sesuai aturan. Kasih sayangnya terlalu kuat, perlindungannya ketat hingga mencekik. Beliau tidak mau membiarkan Sania pergi sekolah sendiri, senantiasa diantar sopir. Kala Sania sudah menapaki sekolah dasar, latihan membawa nampan berisi gelas—menjamu tamu, pasti ditegur, hati-hati, nanti gelasnya pecah.

Apa yang salah dari sana? Tidak ada. Krusialnya, secara perkembangan Sania semua adalah kesalahan. Mengurus anak memang tidak mudah.

Orang tua Sania merasa sudah memberikan apa yang terbaik. Mereka juga bukan tipe orang tua yang memaksakan mimpi mereka untuk anak pikul. Sempurna. Lantas yang terlihat sempurna selalu keropok, luput dari mata telanjang.

Bagi Sania, tiada yang bagus dari punya segalanya lalu tidak memiliki kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Ia tidak pernah percaya pada kemampuannya. Maka jalan pelarian sekaligus cara mengenal diri sendiri, hanya menggambar.

Beranjak dewasa, gambar naik level jadi lukisan. Sania bisa menyalurkan kekacauan isi kepala pada coretan cat, tapi manusia punya sisi serakah dengan cara mereka. Sania butuh validasi orang, seolah-olah dirinya belum cukup, mengenal diri sendiri tidak berbanding, pujian untuk pribadi selalu kurang. Ia juga butuh perhatian. Bukan perhatian seperti yang ibunya kasih, atau standar jadi diri sendiri yang ayahnya sekat dan tidak boleh lewat batas.

"Aku baru tau kamu pemilik mebel Murya Karya," celetuk Senan, sedikit mengagetkan Sania yang terlalu fokus sama es campur di depan mata.

Wanita itu menoleh.

Jika ada warna baru yang akan ditemukan, adalah warna Senan. Sania akan menggunakannya ke kanvas tiap waktu. Lelaki yang duduk di sisi, satu kursi memanjang untuk pantat mereka berdua, bukankah ini yang disebut mahakarya?

"Orang tua aku yang punya."

"Terus atas nama MK mebel, kamu bangun rumah pribadi?"

Lihat selengkapnya