VII Diebus

Ilestavan
Chapter #14

13/3

Pernah terpikir, mengapa magrib identik dengan vibes negatif, sementara subuh selalu terasa positif? Senan tidak pernah memikirkan itu, dan mana penasaran tentang kenapa kursi-kursi yang disediakan tukang martabak pinggir jalan jarang sepaket sama meja?

Jadi bagi Senan, Aren unik dengan caranya bertanya. Tiap apa pun yang ia lihat atau rasa, pasti terselip ingin tahu.

Sebetulnya, di malam yang tidak dingin itu Aren hanya bermaksud membuka gerbang pembicaraan bersama Senan sambil menunggu giliran martabak manisnya matang. Momen yang pas ketika mereka sedang menikmati waktu berdua usai melewati hari-hari sibuk oleh kegiatan masing-masing; hadiah dari menahan godaan bertemu dan hanya bertukar kabar melalui pesan atau video call.

"Mungkin karena pembeli nggak makan di tempat langsung? Kebanyakan dibawa pulang, 'kan?" Itu hanya asumsi Senan yang belum teruji keakuratannya. "Kalo gitu hayuk kita coba makan di tempat."

"Masa iyaa?" Tawa Aren tumpah tiga detik, mengira Senan bercanda. Namun, tidak lama kotak kuning martabak dibalut plastik diberikan kepada Senan dan ditukar dengan selembar uang, Aren tahu kalau lelakinya serius.

Menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di situ, abang martabak juga kebagian salah fokus—hampir, soalnya si abang harus mendengarkan dengan seksama pesanan pembeli.

Aren menghidu aroma manis legit ketika kotak martabak dibuka Senan, berpapasan oleh asap gurih dari minyak panas di atas wajan datar paling sisi sana, aroma telur berhasil membelai manja hidung.

"Orang pasti ngira kita nggak punya malu," celetuk Aren, mengambil sepotong martabak yang masih setengah panas di atas pangkuan Senan.

"Kalo belinya di tukang martabak yang punya gerai, sih ... nggak masalah duduk ya, eh martabak mereka nggak dilipet lho. Jadi keliatan gitu toppingnya." Bicara acak, itu juga yang namanya Pinata Aren.

"Kamu suka keju susu dibanding cokelat kacang?" Bukan mau alih pembicaraan, Senan cuma baru mengingat ingin menanyakan hal itu. Sebab saat ditanya mau martabak isi apa, Aren pilih keju susu.

"Iya, nggak gitu demen isian cokelat. Kamu gimana? Jejangan kamu gak gitu suka keju, ya?"

"Enak kok ini, suka juga." Senan mengelap ujung bibirnya sekilas. "Nggak masalah mau martabak gerai atau kaki lima, kalau mau duduk menetap ya udah duduk aja. Nggak usah mau tau pendapat orang tentang kita, karena kita yang jalanin kisah kita sendiri. Ya nggak?"

Aren tahu bahwa kalimat terakhir itu adalah tanggapan Senan atas pembicaraannya barusan, maka Aren mengangguk, lantas melahap martabak di tangan yang tinggal satu suapan.

Karena tidak habis hanya berdua, Senan menyerahkan kotak martabak kepada Aren sekalian menyuruhnya bawa pulang saja.

"Lho?"

"Kalo malem suka laper, 'kan? Nah, kamu bisa ngemil itu martabak."

"Kebanyakan, nanti berat badan aku naik. Nggak cantik di kamera."

"Tapi selalu cantik di pandangan Senan," timpal lelakinya yang bikin Aren tidak bisa mencegah senyum lebar menyingsing.

Mereka beranjak untuk kembali menuju mobil Senan yang sengaja parkir di depan Idolamarket.

"Ini seandainya," kata Aren, mata menatap bumper Altis yang kian jelas, tidak perlu melangkah terlalu lama memang. "Seandainya, kita udah menikah ... konflik apa yang bakal tersaji? Sekarang banyak banget kasus orang ketiga, tapi nggak mungkin cuma itu. Bisa kompleks, bisa jadi dari ekonomi."

"Juga beda pendapat?" Senan menanggapi seraya menarik kunci mobil dari saku samping celananya.

"Komunikasi kurang?"

Lihat selengkapnya