Perut Aren terasa penuh hanya karena aroma tanak nasi terhidu. Ia pusing, lelah, tapi terpaksa membungkuk depan bak cuci piring demi memuntahkan apa saja asal lega ditemui. Keran air ia putar tutup-buka sampai berbunyi ngilu.
Kesimpulan dari pikirannya, sudah pasti sebab telat makan kemarin, tubuhnya jadi tidak keruan. Badan sakit semua, dan untuk sementara Aren ingin mengatakan kalau ia membenci nasi—walau berapa detik kemudian, Aren menarik pemikiran itu karena tahu pemali.
Keluar dari area dapur, Aren melihat Senan yang tidur di sofa. Semalam tidak tahu pulang jam berapa, Aren masuk kamar duluan sebab tidak tahan jika menunggu di luar. Jam sepuluh padahal Aren masih menatap hujan yang aromanya anyir menyiram aspal. Apakah itu yang disebut petrikor? Jika iya, aromanya tidak semenarik yang pujangga tulis dalam karangan mereka.
"Nan, berangkat nggak?" Pertanyaan Aren jadi aneh, ia cuma memikirkan intinya saja. Mungkin sebab mereka jarang berkomunikasi akhir-akhir ini.
Oh iya, konon pernikahan itu isinya mengobrol, hampir delapan puluh persen. Maka jika tidak sering mengobrol, delapan puluh itu hilang. Makanya Aren akan mempertahankan komunikasinya dengan Senan kendati luka yang dipikul kian memberat.
Aren mengguncang lengan Senan. Dia melenguh, ngulet singkat sekaligus membuka mata sedikit.
"Jam berapa?"
"Tujuh."
Lalu laki-laki itu beranjak dari sofa, masuk kamar dan keluar membawa handuk. Tanpa menatap dulu wajah Aren yang pucat.
"Sayang," panggil Aren tiba-tiba yang membuat tubuh itu batal tertelan pintu kamar mandi. Aren menghampiri Senan cepat-cepat.
"Kamu ambil cuti aja, kita bulan madu."
"Kerjaanku belum selesai."
"Kapan selesai? Kamu lagi ngerjain projeknya Sania, 'kan?"
"Kita bahas nanti."
"Aku butuh kepastian sekarang. Dua hari lagi juga aku butuh kepastian kamu soal perasaan kamu."
"Aren, aku baru bangun, mau man—"
Kata-katanya mengambang, terganti telan ludah sendiri. Senan agak terkejut kala Aren peluk.
Bagi Aren, memeluk pasangan saat bahagia, itu biasa dilakukan, tapi memeluk saat pasangan sedang merasakan emosi negatif, itu luar biasa—berlaku bagi dirinya dan Senan. Makanya pagi itu dekapan Aren erat, lebih dari sekadar hangat.
Tak ada hal lain yang Aren katakan. Seolah-olah dengan itu ia dapat menceritakan sedih. Haya saja, terkhusus ini, ia ingin menghibur Senan dari kegelisahan. Selama beberapa hari belakangan, Aren tahu bahwa apa yang dialami lelaki itu tidak sembarang kendati Senan telah menyakiti.
"Aku mau mandi, Ren."