"Serius lo gak mau balik?" Gustian menyerahkan bingkisan secara paksa kepada lelaki yang berdiri teguh seperti keputusannya.
"Jawab coba!"
"Lo mau gua mati apa?!"
Gustian yang terburu-buru ingin dapat jawaban, malah diri sendiri terkejut dengar Samuel balik bersuara tenor.
Sebentar. Jadi, apa maksud kata mati itu?
"Kalo gua terus di sana, bisa mati. Mereka keterlaluan. Gua tu mau jadi dokter, Gustian. Bukan budak mereka. Apalagi orang yang katanya paling pinter, si senior Bapak Ibnu terhormat."
"Serius mereka semua?" Gustian pernah mendengar sesuatu yang menjijikan, tapi berharap itu hanya rumor. Lantas sekarang, dia dipaksa untuk menghadapi bahwa semua yang didengar bukan hanya omongan selewat.
"Waktu lo jadi koas kagak ngalamin?"
"Gua di sana pas ... udah dapet sertifikasi dokter."
Samuel mendecih, bukan untuk mengejek Gustian. Ada sekelumit syukur ternyata temannya tidak mengalami hal serupa meski sebetulnya Samuel ingin Gustian memahami kondisinya sekarang.
"Pokoknya, gua gak mau balik, gak mau jadi dokter. Apalagi jadi dokter yang tiap hari ngebeliin nasi padang. Masalahnya udah berapa minggu gua di sana dan belom ada satu pun yang mereka ajarin ke gua kecuali kekerasan fisik ama mental. Btw thanks minumannya, lo balik gih."
"Lo bisa pindah, El. Jangan nyerah jadi dokter." Gustian mencoba cegat langkah Samuel menggunakan kalimat, tapi dia tidak mau goyah. Lelaki itu hanya memelankan langkah demi memberitahu Gustian bahwa tidak ada yang bisa mengubah apa pun—karena ini hidupnya.
"Gua udah ngajuin permohonan tertulis buat pindah, tapi ditolak. Gua gak mau lanjutin lagi. Daripada akhirnya gua jadi dokter abal-abal yang tukang perengat perengut ke pasien, asal kasih obat tanpa evaluasi, jutek, mending gua gak usah jadi dokter sekalian."
Lantas Gustian tercenung, membiarkan Samuel mempercepat langkah. Punggungnya tiada terlihat sekarang.
Menurut Samuel, semestinya Gustian tidak perlu khawatir, justru temannya itu harus risau jika dirinya masih masuk RS Bestari besok.
Samping gereja Omayeka hari itu terasa sejuk. Rumah Samuel tidak jauh dari sana, dan Gustian yang pertama ajak bertemu.
Menjadi salah satu dokter pembimbing Samuel sebagai spesialis, Gustian bahkan tidak sadar sesuatu buruk telah menimpa rekannya. Payah sekali.
Sebelum berangkat lagi ke rumah sakit, Gustian menyempatkan diri masuk gereja dan, menemukan punggung yang terlihat sayu penuh luka. Kali ini, payah apa lagi yang mesti Gustian rasakan?
•••
Dalam perkumpulan, Aren pernah mendengar sesuatu yang membuatnya kagum. Ujar antara dari mereka, sebelum kamu terlahir, kamu sudah terima perjanjian dari Tuhan. Kamu melihat kebahagiaanmu jika bersedia hidup di dunia. Jadi mungkin, kebahagiaan apa juga, ada yang membuatmu setuju lahir ke dunia. Kebahagiaan sekecil apa pun itu.