Rambut ikal keriting panjang menjuntai serasa masih sedikit rasa basah, wajah cantik dagunya tirus berhidung mancung serta bibirnya tipis terkecup ketika selesai terbaluiti liptisk merah tua. Ruat wajah ceria penuh senyuman sumringah tergambar jelas pada cermin lebar bulat bertahtakan meja rias.
Tamira, yakin bila hari minggu ini dirinya akan melepas penat dengan sebentar lagi akan pergi bersama Bram, soh pasti akan menembak dirinya dengan sejuta kebahagiaan yang makin terasa dirindukan dalam hatinya. Tangan kirinya sejak dari tadi tidak henti-hentinya masih menyisir rambut tetap saja tidak akan bisa lurus, karena sejak lahir rambut Tamira sudah ikal keriting.
Kaos putih berkerah serta celana jeans hitam ketat, pastinya tas hitam bertali kecil sudah menyelempang pada bahu kanannya serta sepatu kets putih juga membungkus dua kakinya menopang tubuh langsingnya.
Matahari sudah bersinar ceria sejak Tamira terjaga dari tidur tadi pagi, begitu berharap penuh senyuman terselubung dari relung hatinya, bila sebentar lagi dirinya hatinya akan tersemat cinta dan tidak akan jombloh lagi.
Karena sang pujaan hatinya, selama ini yang terus menggebet dirinya akan melancarkan niat untuk mengarahkan ujung laras panjang senapannya. Pastinya muntahan peluru panas pasti akan berubah sejuk menembus hati Tamira yang selama ini menanti kepastian cinta dari Bram.
Berapa kali wajah cantiknya dilongokan kearah jendela luar, terbuka setengah tirai berwarna merah mudah, warna kesayangan Tamira. Padahal colekan sinar matahari makin tinggi, makin tergurat raut wajah cemas dan mencemasi hati perasaan Tamira sejak dari tadi dirinya menunggu Bram yang belum datang juga.
"Kok, dari tadi kenapa Bram belum datang juga?" mulai deh rasa cemasnya makin menggelayuti raut wajah dan hati kecilnya Tamira. Rasa kesal, kaki kanannya serasa menjejekan bumi berapa kali, tapi lantai kamar tidak bergoyang.
Sikap Tamira memang kadang-kadang dingin lembut, kadang-kadang emosinya meluap seperti katup penggerak yang cepat sekali bergerak ketika mesin di panaskan.
"Uhhhh!" makin merasang marah Tamira melempar tas kecilnya keatas ranjang besi berukir kembang dengan tirai merah mudah membungkus atapnya.
"Katanya jam 10 mau datang jemput gua? Ini udah jam 12 siang!" tadinya bibirnya serasa halus dengan polesan lipstik merah mudah, tapi kali ini bibirnya rada pucat bercampur kesal ketika tangan kirinya menghapus warna lipstik.
"Selalu dan selalu deh, Bram,"menahan emosinya Tamira terbaring setengah tubuhnya diatas ranjang berkasur empuk. Dua kakinya masih bermain menyentuh lantai keramik warna putih, tapi tidak seperti hatinya siang itu, rada kelam menghitam mulai mengurung hatinya.
"Apa Bram lupa sama janjinya?" guman dibarengi kepalanya terangkat mengajak bangun tubuhnya, kelihatan rambut ikal panjangnya ikut kusut, sekusut hatinya berpikiran macam-macam tentang Bram yang sudah siang belum datang juga.
Lirikan dua matanya melihat jam dinding sudah jam 12 lewat, hampir 12.30. "Pasti Bram lupa," guman kecil seraya bibirnya meyakinkan hatinya Tamira agar tidak marah apalagi menuduh macam-macam tentang Bram.
Sekali lagi karena penasaran berharap masih menunggu Tamira berdiri dijendela, kali-kali saja apa yang sedang ditunggu sudah datang. Tapi tetap saja harapan menunggu masih berkalung kesal dan kecewa makin menggurat wajahnya Tamira, ketika melihat selasar halaman depan rumah tidak ada tanda-tanda mobilnya Bram terparkir.
Menahan kesal Tamira akan menggeser jatuh remot tv yang sejak tadi tergeletak di atas meja rias, tapi tidak jadi. Jempol telunjuk jari tangan kanannya menekan kesal tombol power tv berlayar sedang menyalah lalu sambil menarik kursi kecil lalu terduduk di hadapan tv.
"Menanti jawaban dan menunggu pastinya cinta sangat diharapkan Lika, gadis remaja yang kini akan segera menjadi penghuni rumah dikelilingi teralis besi. Awalnya, Lika tidak terima ketika hatinya hanya dipermainkan Rudi, pacarnya yang menjanjikan akan segera menikahinya. Rudi malahan ketahuan berselingkuh berpacaran dengan gadis lain. Sehinggah Lika sampai nekat menghabisi nyawa Rudi dikebun kosong tidak jauh dari rumah." sekilas terdengar ocehan gadis perwarta berita di tv.
Dua matanya tajam berkaca-kaca memerah terus perhatikan Lika, gadis yang telah membunuh Rudi, pacarnya karena berselingkuh.