Ibu dan anak itu baru saja selangkah melewati gerbang sekolah. Dan kini mereka menjadi pusat perhatian siswa-siswi SMA Vrekodara. Walau sudah terbiasa, Stevina benci hal ini. Berbeda dengan Angelina yang malah santai sambil menebar senyumnya yang menawan.
"Siapa mereka?"
"Cantik amat."
Begitulah beberapa bisikan yang telinga Stevina tangkap.
"Sayang, anter mama ke toilet dulu yuk."
"Iyaa."
Toilet di sekolah itu terletak di dekat lapangan basket. Stevina memperhatikan sekeliling lapangan basket yang ia rasa lebih luas dibanding lapangan basket di sekolah lamanya.
Pagi itu cukup dingin. Stevina iseng memakaikan selendang Angelina di kepalanya agar tidak terlalu dingin.
❄️❄️❄️
Seorang murid laki-laki yang baru datang, memarkirkan moge hitamnya dengan terburu-buru. Ia melepas jaket kulit dan helmnya. Kemudian berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang OSIS.
Ia berjalan menuju lapangan basket. Setibanya di sana, ia meletakkan sekarung bola basket di dekat ring.
Stevina yang masih di sana, tidak melihatnya. Ia bahkan tidak mengetahui kedatangan murid itu.
Seketika angin berembus dengan tidak bersahabat. Selendang Angelina sampai terbang. Stevina berusaha menangkapnya tetapi gagal.
Begitu melihat wajah gadis yang baru terlihat ketika selendangnya terbang, murid laki-laki itu terpukau sesaat di sebelah ring basket.
Ia hanya diam melihat gadis itu berlari menghampiri selendangnya yang tersangkut di pohon tepat di belakang ring basket.
Stevina menatap pasrah selendangnya yang tersangkut itu. Menyadari ada orang di dekatnya, Stevina menoleh.
Laki-laki itu langsung tersadar setelah ditatap oleh Stevina.
"Sebentar. Biar gue bantu." Laki-laki itu pergi meninggalkan Stevina, dan kembali membawa tongkat yang sangat panjang. Entah dimana ia menemukan tongkat itu.
Laki-laki itu mengambil selendang Stevina dengan tongkat panjang yang ia sodor-sodorkan.
"Nih, selendang lo."
"Makasi banyak." Stevina langsung berlalu pergi. Laki-laki itu tersenyum kecil sambil memperhatikan Stevina yang semakin menjauh.
❄️❄️❄️
Sesampainya Angelina dan Stevina di ruang guru, ternyata benar. Angelina masih diingat dengan baik. Bahkan guru-guru barunya itu sampai heboh menyambut Angelina. Terlihat jelas betapa populernya Angelina di kalangan guru kala itu.
"Yaampun. Kamu ga ada berubah nak. Masih aja awet muda."
"Pake skincare apa sih?"
"Eh, si cantik ini siapa?"
"Ini anak aku loh. Mirip gak?"
"Pagi," sapa Stevina.
"Ibu tebak pasti pintar kaya mamanya nih."
Stevina hanya tersenyum mendengarnya. Rasanya ia ingin lekas pergi saja ke kelas barunya. Ia tahu betul. Saat para emak sudah berkumpul dan bercerita, hal itu akan menjadi sebuah urusan panjang.
Hingga pukul 7.45, bel masuk berbunyi. Stevina diminta untuk mengikuti seorang guru yang akan mengantarnya menuju kelas barunya.
"Yuk, ikut ibu."
Stevina mengangguk. Ia mengikuti guru yang bernama Bu Rosa itu menuju lantai dua.
Tiba di lantai dua, langkah Stevina terhenti seketika. Pandangannya mengarah ke lapangan basket. Seorang lelaki menyodorkan bekal makanan kepada seorang gadis yang ia duga mereka berpacaran. Dugaannya semakin kuat ketika lelaki itu mencium kening gadis itu.
Pikirannya melayang kepada David. Seseorang yang pernah ia cintai. Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa itu masih ada hingga sekarang. Mengingat hal itu, dadanya kembali terasa sesak.
Stevina melanjutkan langkahnya dengan pikiran yang kacau.
Bruk
Tiba-tiba, seseorang menabraknya. Lebih tepatnya, ia yang menabrak karena tidak fokus.
"Maaf," ucap Stevina. Pandangannya mengarah ke lantai.
"Lo minta maaf sama lantai?" tanya seseorang yang ia tabrak. Stevina refleks mendongak dan menatap orang yang ia tabrak.
Stevina malah terbengong menatap lelaki asing itu dengan wajah datar. Bukannya ia orang yang tadi menolongnya di lapangan basket?
"Stevina..?" panggil Bu Rosa.