29 Oktober 2015.
Bel istirahat telah berbunyi sekitar lima menit yang lalu, menyebabkan murid-murid berhamburan keluar kelas untuk pergi ke kantin membeli makanan. Saat ini keadaan kelas 11 IPA 2 terbilang sepi karena hanya ada aku dan satu teman sekelasku yang sedang memejamkan mata, dengan posisi kepala yang berada di atas mejanya. Seperti yang sering dia lakukan, Farhan memilih untuk tidur di saat jam istirahat karena semalam dia menghabiskan waktu bermain gim sampai larut malam. Beda halnya dengan Farhan yang memilih untuk tidur karena mengantuk.
Aku memiliki alasan berbeda, di jam istirahat, aku lebih memilih untuk duduk manis di kursiku kemudian mengambil buku tulis yang sering aku gunakan untuk menggambar, menyumpal telingaku dengan earphone untuk mendengarkan musik. Jujur saja, aku terlalu malas untuk pergi ke kantin karena di sana sangat ramai dan sesak, karena alasan itu aku enggan beranjak dari kursiku.
Lagi pula, aku tidak terlalu lapar sebab sebelum berangkat sekolah, aku sudah sarapan dengan nasi goreng sampai dua piring. Sembari menunggu waktu istirahat berakhir, tangan kananku yang memegang pensil mulai menggores serta membentuk sebuah garis yang berliuk-liuk di atas permukaan kertas yang kemudian akan membentuk semua mahakarya.
Ketika aku sibuk menggambar sebuah bangunan perkotaan yang kubuat, seseorang tiba-tiba saja mencabut earphone yang menempel di telinga membuatku tersentak kaget, aku menoleh untuk memarahi seseorang yang sudah menggangguku.
"Ck, Gilang! Bisa nggak? Nggak usah narik earphone gue, lo itu bikin gue kaget tahu!" Aku memandang Gilang alias sang pelaku dengan kesal.
"Hehehe. Maaf deh maaf." Gilang tertawa hambar, "Habisnya kalau earphone lo nggak gue tarik, lo nggak akan menyadari keberadaan gue di sini karena terlalu asyik gambar sambil dengar musik."
Ya, omongannya memang ada benarnya juga. Jadi sudahlah aku enggan untuk memarahinya lebih lanjut, lagi pula Gilang sudah meminta maaf.
"Ada perlu apa lo ke sini?" tanyaku to the point seraya menopang dagu menggunakan tangan kananku.
"Mau ngajakin lo ke kantin."
Mendengar jawabannya aku langsung menggelengkan kepala. "Enggak deh, gue lagi malas ke kantin."
Setelah menolak ajakan Gilang, aku berniat untuk menyumbat telingaku kembali menggunakan earphone, namun aku kalah cepat, pergerakanku terhenti karena Gilang terlebih dahulu mencegahnya.
"Ayo dong, Vio. Tiap kali gue ajak lo ke kantin, lo selalu nolak." Gilang merajuk, memohon agar aku mau ke kantin bersamanya.
"Ya jelaslah, lo tahu sendiri kan kalau gue itu nggak terlalu suka keramaian?"
Aku sudah memberi tahunya beberapa kali, mengenai satu fakta jika aku tidak suka dengan keramaian, pergi ke tempat yang sering disesaki oleh sekumpulan manusia bukanlah kesukaanku.
"Iya, tahu kok. Tapi sekali ini aja, ya? Tenang aja hari ini lo mau makan apa aja terserah, gue yang bayar."
Aku berdecak sebal lantaran Gilang terus saja membujukku dan kali ini dia ingin mentraktirku, tapi tetap saja aku enggan untuk pergi ke kantin.
"Percuma, traktiran lo nggak mempan."
Selanjutnya Gilang menampilkan wajah memelas. "Lo tega sama gue, Vi? Padahal gue udah bela-belain loh, datang jauh-jauh buat nyamperin lo doang ke sini."
Aku mendesis, karena perkataannya yang terlalu berlebihan. Pasalnya jarak antara kelasku dengan kelasnya tidak terlalu jauh hanya terpisah oleh dua ruang kelas saja.
"Memangnya sejak kapan kelas lo sama kelas gue jaraknya sejauh dari Jakarta ke Surabaya?"
"Untuk menengok nenek di sana? Mengendarai kereta malam."
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti akan ucapan yang dia katakan barusan. Masih dengan kerutan di kening aku berkata, "Hah?"
"Gue tadi nyambungin kalimat lo yang dari Jakarta ke Surabaya." Gilang terkekeh, mungkin penyebabnya karena teringat oleh ucapannya beberapa detik lalu, dan juga aku baru menyadari jika tadi adalah sepenggal lirik lagu dangdut.
"Ayo, ikut gue. Nggak boleh nolak dan nggak ada tapi-tapian juga. Cepetan ikut gue ke kantin nanti keburu habis waktu istirahatnya."
Sebelum aku ingin melontarkan sederet kalimat penolakan lagi, Gilang sudah terlebih dahulu menarik pergelangan tanganku. Sehingga membuatku mau tidak mau bangkit dari posisi duduk, dan melangkah mengikutinya dari arah belakang dengan tangannya yang masih menggenggam pergelangan tanganku. Aku hanya pasrah saat Gilang menyeretku ke kantin, tidak apalah. Sekali-kali menuruti keinginannya tidak ada salahnya.