Aku dan Tisa hendak melangkahkan kaki menuju kantin, sama seperti hari-hari sebelumnya, awalnya aku enggan untuk pergi dengan alasan yang sama. Jika bukan Tisa yang memaksaku seperti apa yang dilakukan Gilang padaku, dan mengatakan jika Tisa tidak mau pergi ke kantin hanya seorang diri hampir setiap hari. Jadi ya sudahlah, jika sudah begitu aku hanya bisa kembali pasrah.
Saat melewati koridor sekolah, aku dan Tisa terus bertukar cerita sampai-sampai Tisa melingkarkan tangannya di lenganku, hal yang sering dia lakukan agar aku tidak kabur untuk kembali ke kelas, karena bukan kali ini saja Tisa berhasil menarikku ke kantin dan dalam beberapa kali juga aku pernah kembali ke kelas jika sudah berada di pertengahan jalan menuju kantin.
"Violet!"
Sapaan dari seseorang itu, membuatku dan Tisa dengan kompaknya menoleh. Di belakang aku melihat Gilang yang sedang tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya, kemudian dia berlari kecil untuk menghampiri.
"Eh, Gilang. Ada apa?" tanyaku dan dia menggeleng pelan.
"Enggak apa-apa, cuma manggil aja," ucapnya terjeda sejenak, "Lo mau ke mana?"
"Ke kantin."
Gilang manggut-manggut seraya tersenyum tipis. "Boleh bareng? Gue mau ke kantin juga soalnya."
Tanpa pikir panjang dan berunding meminta persetujuan dari Tisa, aku menggangguk menyetujuinya. "Oke."
Mungkin ini hanya perasaanku saja, ketika Gilang melebarkan senyumnya menatap padaku, Tisa yang berada di sampingku, tangannya yang masih melingkar di lenganku dihempaskan dengan sedikit kasar, aku melirik ke arahnya sebentar. Dari ekspresi wajahnya, Tisa terlihat tidak begitu suka dengan keberadaan Gilang di sini.
"Eh. Ada Tisa juga di sini? Baru nyadar gue, Hahaha." Gilang tertawa, tawa yang terkesan dibuat-buat.
Seketika aku menaikkan sebelah alisku, ternyata Gilang juga mengenali Tisa, sejak kapan? Tapi jika mereka saling mengenal kenapa Tisa memasang wajah tidak sukanya karena keberadaan Gilang? Apakah di masa lalu hubungan di antara mereka tidak terlalu baik? Ah, entahlah. Aku tidak ingin berpikir buruk terlalu jauh tentang mereka.
"Kalian saling kenal?" tanyaku seraya menunjuk mereka secara bergantian.
Gilang mengangguk pelan sedangkan Tisa, saat aku melirik ke arahnya untuk kedua kalinya, dia yang masih berdiri di sampingku berdecak pelan.
"Iya, gue sama Tisa temen SMP. Iya nggak, Tis?"
"Hm."
"Oh, begitu." Aku sedikit meringis saat mengamati raut wajah mereka yang amat berbeda jauh. Mendadak aku merasakan suasana yang agak canggung, tidak ingin tenggelam terlalu dalam dengan suasana canggung yang semakin kentara.
Aku mengajak keduanya untuk segera pergi ke kantin sebelum bel istirahat selesai berbunyi, saat kami baru berjalan beberapa langkah aku menggenggam tangan Tisa agar dia tidak kembali ke kelas, sebab aku semakin yakin jika Tisa benar-benar tidak menyukai keberadaan Gilang di sini. Jika aku mengusir Gilang sangat tidak mungkin, sebab sebelumnya aku sudah menyetujuinya untuk ikut bergabung, dan aku sedikit menyesal kenapa tadi tidak berunding dahulu dengan Tisa.
*
"Tisa, tadi di kantin aku liat kucing kecil lucu banget. Aku pengin nyamperin tapi kucing itu udah kabur duluan." Aku mulai bercerita saat bu Rani selaku guru ilmu pengetahuan alam telah pergi meninggalkan kelas terlebih dahulu, karena katanya beliau ada urusan yang harus diselesaikan. Meskipun hanya tinggal beberapa menit lagi jam pulang sekolah akan berakhir.
"Hm."
"Kamu tadi lihatkan kucingnya?"
"Hm."
Aku memasukkan alat tulisku serta semua buku-bukuku, baik itu yang berada di atas meja maupun di kolong meja sembari terkekeh pelan, karena kucing kecil yang aku lihat di kantin masih membekas dalam pikiranku.
"Lucu kan, kucingnya?"
"Hm."
Sekali dua kali aku bisa memaklumi Tisa yang sedari tadi hanya berkata 'hm' saja dengan nada yang tidak semangatnya itu, namun ini sudah ketiga kalinya dia begitu, entah karena apa. Mungkin karena dia lelah oleh pelajaran-pelajaran sekolah hari ini yang sangat menguras pikiran serta tenaga.
Aku menoleh menatap Tisa teman sebangkuku yang pandangannya fokus pada handphone yang dia pegang.
"Tisa?"
"Hm."
Sebelum menanyakan lebih lanjut mengenai dirinya, aku menghela napas. "Kamu kenapa? Dari tadi aku ajak ngobrol jawabnya cuma 'hm' doang? Kamu sakit?"
Tisa tidak langsung menjawab, dia terdiam sebentar lalu menggeleng pelan masih dengan tatapan yang fokus pada handphone-nya. "Enggak apa-apa."
Dia memang mengatakan jika dirinya tidak kenapa-kenapa tapi aku sangat yakin sekali, suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu lagi badmood, ya?"
"Enggak."