Setiap pulang sekolah, aku selalu menunggu kendaraan umum di pinggir jalan, tepat di seberang depan gerbang sekolah, sama seperti yang aku lakukan sekarang ini. Aku menunggu angkutan kota bernomor empat puluh dua, angkutan kota yang searah dengan jalan rumahku.
Jika boleh jujur, aku sedikit iri dengan teman-temanku yang selalu diantar atau dijemput oleh orang tua mereka ke sekolah, dari raut wajah yang mereka perlihatkan ada yang bahagia, biasa saja, dan tidak suka—mungkin karena sudah cukup merasa dewasa untuk tidak diantar-jemput ke sekolah.
Sebenarnya aku ingin sekali berkata kepada ayah dan bunda, mengatakan jika aku ingin diantar oleh mereka, hanya sekali pun tidak masalah. Namun untuk saat ini aku cukup sadar diri, sebab ayah dan bunda sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka selalu berangkat bekerja pagi-pagi dan pulang ke rumah pada malam hari, bahkan sampai tidak pulang berhari-hari, dan dari situ aku sadar jika ayah dan bunda tidak ada waktu untuk mengantar jemputku.
Selagi aku masih setia menunggu kehadiran angkutan kota di pinggir jalan dengan matahari yang terik, di seberang jalan atau lebih tepatnya di depan gerbang sekolah. Aku melihat kak Bayu, si kakak kelas yang aku sukai keluar dari gerbang menggunakan motornya.
Dan entah hanya perasaanku atau bukan, kak Bayu sedang menatapku kemudian dia tersenyum, dengan refleks aku langsung membuang muka karena malu serta salah tingkah, bukannya aku kege-eran tapi sepertinya kak Bayu memberikan senyum manisnya itu untukku, aku berpikir seperti itu karena di samping maupun di depanku tidak ada siapa-siapa.
Beberapa saat aku masih mengalihkan pandangan, pura-pura memperhatikan jalanan sembari menunggu angkutan kota datang, masih salah tingkah karena kak Bayu. Jalanan yang tidak begitu ramai membuat indra pendengaranku menangkap sebuah suara motor yang melaju. Suara motor itu yang semakin samar-samar membuatku menoleh kembali ke tempat di mana kak Bayu tadi menatapku, dan di sana aku tidak melihat keberadaannya. Mungkin suara motor yang aku dengar adalah motornya.
Kembali pada kegiatan sebelumnya, yaitu menunggu angkutan kota bernomor empat puluh dua yang tidak kunjung datang, sukses membuatku kesal. Pasalnya sudah hampir sepuluh menit aku menunggu.
Dan di menit berikutnya saat aku masih setia menunggu, masih di seberang jalan dekat gerbang sekolah, aku melihat Tisa berjalan keluar gerbang sembari memainkan handphone-nya, jadi dia tidak mengetahui jika aku berada di seberang jalan sedang memperhatikan dan siap untuk menyapanya.
"Tisaaa!"
Aku yang sebelumnya memanyunkan bibir karena angkutan kota tidak kunjung datang, berkat kehadiran Tisa kedua sudut bibirku terangkat, hingga aku tidak memanyunkan bibir lagi.
Tisa menatapku dan aku melambaikan tangan kananku masih dengan senyuman lebar, namun bukan sapaan balik atau balasan senyum yang aku dapatkan. Tisa malah membuang muka tidak mengubris sapaanku, seolah-olah aku ini sesosok orang asing yang tidak dia kenali.
Respons Tisa yang seperti itu sangat membuatku kecewa, senyumku telah tergantikan oleh raut wajahku yang menyedihkan karena merasakan kekecewaan. Ini sudah hari keempat Tisa menghindariku, dan aku sendiri pun tidak tahu penyebabnya karena apa. Selama empat hari itu juga, Tisa memandangku dengan tatapan tidak suka, seolah-olah aku ini adalah pengganggu di dalam hidupnya.
Mendadak sifatnya berubah, sifat yang sangat tidak aku sukai. Padahal biasanya Tisa selalu bercanda dan bertukar cerita padaku, namun secara tiba-tiba sifatnya sangat jauh dari kata 'bersahabat' dia bukan seperti 'Tisa' yang aku kenal. Aku masih memperhatikannya, sampai akhirnya dia menaiki angkutan kota tanpa menoleh atau melirik sebentar padaku, sampai angkutan kota yang Tisa naiki pun sudah berjalan aku masih tetap memperhatikannya.
Masih berharap, jika Tisa menatap balik dan membalas senyumku tadi melalui jendela angkutan kota yang terbuka. Namun sayang, harapanku tidak secepat itu dikabulkan oleh Tuhan.
"Wei! Kok bengong sih? Kesambet setan bengong ya lo?"
Aku tersentak kaget, kemudian berdecak sebal saat tahu siapa orang yang membuatku terkejut. Meskipun aku ini mudah terkejut, namun untungnya aku bukan tipikal orang yang gampang latah mulut, menyebutkan kata-kata kurang pantas secara spontan di depan umum.
"Apaan sih lo?! Untung aja gue nggak jantungan," kataku sambil cemberut.
Gilang menyengir lebar. "Muka lo kenapa deh? Kayaknya bete banget?"
"Iya nih. Dari tadi nunggu angkot nggak dateng-dateng." Tidak sepenuhnya aku berdusta, aku memang cukup kesal dengan kendaraan umum yang aku tunggu tidak kunjung datang, tapi yang lebih dominan membuatku cemberut adalah sikapnya Tisa padaku.
"Oh. Yaudah sabar aja, nanti juga dateng."
Aku yang malas menanggapi jawabannya, merespons dengan mengangguk singkat. Setelah beberapa detik berlalu, aku baru menyadari dua hal, yaitu Gilang masih berdiri di sampingku dan kenapa tiba-tiba Gilang berada di sampingku? Mungkin poin nomor dua aku tidak memperhatikan keadaan sekitarku dengan benar, jadinya tidak menyadari jika Gilang sudah ada di sampingku secara tiba-tiba.