Bila ada yang bertanya kepadaku apa makanan paling enak sedunia, aku akan menjawab: omelet buatan Mama. Entah bagaimana caranya—aku memang tidak pandai memasak—Mama bisa memadukan telur, daging asap, sampai keju parut dan keju lelehnya dengan pas. Kulit puff pastry-nya pun renyah. Taburan parsley yang sebetulnya bukan poin penting dalam membuat omelet, anehnya selalu berhasil menaikkan nafsu makanku.
“Surat izin nggak masuk sekolah buat lusa udah kamu serahkan, Violet?” Mama bertanya sambil mengupas pepaya.
Di tempatku duduk, aku memperhatikan Widia Rahmani, mamaku, sembari menikmati sarapan pagi. Seperti biasa, Mama tampak rapi khas wanita karier dengan setelan blazer yang dikenakannya. Sapuan make-up yang tidak terlalu berlebihan, membuat Mama tampak lebih muda. Mungkin bila aku dan Mama jalan berdua di mal, semua orang akan mengira bahwa kami sepasang kakak beradik. Aku yang berusia 16 tahun dan kini kelas XI SMA, dan Mama yang tampak berusia menjelang tiga puluh. Padahal, ia sudah berusia 37 tahun dan di pundaknya sekarang sedang ada beban berat yang mungkin bila dialami wanita lain di luar sana, bisa membuat mereka menyerah dan menyihir tampilan wajah mereka menjadi jauh lebih tua.
Semua ini tentang masalah yang Papa hadapi selama hampir setahun belakangan. Masalah yang membuat Mama harus menjadi wanita tegar demi dirinya dan aku, juga demi Papa yang butuh dukungan hebat dari kami. Dan, sekarang, pelangi setelah hujan badai akhirnya muncul dalam hidup kami. Papa akan pulang!
“Udah, Ma. Kemarin aku udah kasih ke Bu Nita dan beliau udah ngizinin,” sahutku ceria. Rasanya sudah sangat lama hatiku tidak sebahagia ini. Perasaan ini mungkin bisa membuat hatiku meledak saking senangnya!
Mama yang sudah mengupaskan pepaya untukku, meletakkannya di piring, lalu menyodorkan buah itu kepadaku. Ia tersenyum hangat. Seakan sanggup mengalahkan hangatnya sinar matahari di luar sana.
Akhirnya, setelah delapan bulan berbaur dengan awan kelabu, kebahagiaan kami akan kembali. Lusa, Papa akan bebas dari penjara.
***
Suara seorang cewek terdengar merdu membawakan lagu. Denting piano dan petikan gitar akustik berbaur harmonis. Seingatku, judul lagunya “We Don‘t Talk Anymore” yang dinyanyikan oleh Charlie Puth dan Selena Gomez.
I just heard you found the one you’ve been looking
You’ve been looking for
I wish I would have known that wasn’t me
Sorak-sorai teman-teman sekolahku membahana ke segala penjuru, tenggelam dalam musik yang bersumber dari panggung yang ada di halaman belakang sekolah, tempat pensi sedang berlangsung. Seperti saat ini, sekolahku memang biasa mengadakan pentas seni setiap enam bulan sekali, setelah ujian semester selesai.
Kali ini adalah kali ketiga aku menyaksikan pensi di sekolah, tapi tidak pernah sekali pun aku terlibat menjadi panitia. Padahal, Tifa dan Andin, dua sahabatku sejak masuk sekolah ini, sering kali mengajakku bergabung dengan OSIS. Tapi, aku selalu menolaknya. Bukan karena aku sok sibuk, melainkan karena aku memang tidak tertarik dengan hal-hal semacam organisasi kesiswaan. Lebih baik aku menghabiskan waktu untuk mengurusi tanaman di green house sekolah daripada menjadi anggota OSIS.
Karena Tifa dan Andin sedang sibuk menjadi panitia pensi, jadilah sekarang aku sendirian berjalan menuju kantin. Bukannya aku tidak punya teman lain selain Tifa dan Andin, melainkan teman-temanku yang lain—yang tidak sedekat Tifa dan Andin—juga sedang heboh menyaksikan pensi. Jadilah aku sendirian saja untuk makan siang hari ini.
Papa akan segera bebas.