Apa yang kurasakan saat ini, mungkin sama dengan perasaan bayi saat kali pertama berada dalam pangkuan ibu atau ayahnya setelah dilahirkan. Nyaman, tenang, damai. Suara tangis yang keluar menandakan haru dan kebahagiaan.
Seperti yang kurasa kini, saat aku melihat Papa tidak mengenakan seragamnya yang berwarna biru. Tidak lagi bertemu dengannya kala jam besuk.
Aku dan Mama berada di ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa petugas lapas. Sebelumnya kami harus menjalani pemeriksaan berlapis, termasuk menyerahkan alat elektronik, seperti ponsel, untuk disimpan di loker, tidak boleh dibawa masuk. Ada beberapa meja panjang yang terbuat dari kayu dan ditutupi taplak berwarna biru cerah. Aroma buah yang menguar menandakan taplak itu baru dicuci atau diganti.
Akhirnya, Papa datang!
Papa muncul dengan senyum cerah yang ditujukan untukku dan Mama. Nyaris lupa dengan orang-orang yang berdiri di dekatnya, Papa lantas buru-buru mengulurkan tangan kepada mereka, para petugas lapas yang berjaga. Disalaminya mereka satu per satu, sembari mengucapkan terima kasih atas semua yang telah mereka lakukan selama dirinya ada di dalam penjara.
“Puji syukur, Pa ....” Mama tidak bisa menahan tangis, langsung mencium tangan Papa.
Sepersekian detik, aku menyaksikan pemandangan yang membuat mataku memanas dan tidak bisa menahan air mata. Selama delapan bulan, sering kali aku mendengar Mama menangis saat pagi menjelang. Pagi harinya saat menyiapkan sarapan dan hendak berangkat ke kantor, Mama selalu tampil “normal” dan meyakinkanku bahwa Papa akan segera pulang. Memainkan dua peran sebagai wanita yang mengharapkan kehadiran suaminya, juga seorang ibu yang harus terus menyemangati anak semata wayangnya, bukanlah perkara mudah. Aku menyadari itu selama berbulan-bulan Papa berada di penjara.
“Iya, Ma. Puji Syukur. Kita bisa berkumpul lagi ...,” Papa berkata lembut, mengecup dahi Mama, lalu melepaskan pelukannya dari Mama.
“Pa ....” Suaraku tersekat di tenggorokan, ingin berkata banyak, tapi tangisku malah keburu tumpah duluan.
“Violet Giandra ....” Papa merengkuhku ke dalam pelukannya, memberikan ruang selebar-lebarnya bagiku untuk menangis. “Kamu jadi anak baik, kan, selama Papa di sini?”
Susah payah, aku mengangguk. Ah, aku begitu merindukan Papa ....
“Setelah ini, kehidupan kita akan kembali normal,” Papa berkata sambil mengelus puncak kepalaku penuh sayang. “Kita mulai lagi semuanya dari awal, Sayang ....”
Selama beberapa saat kemudian, kami tenggelam dalam haru. Sebelum keluar dari gedung, Papa bilang ingin mengucapkan salam dahulu kepada beberapa orang petugas yang berjaga.
Mama dan aku menunggu. Senyum bahagia tidak bisa kami hapus dari wajah.
“Ayo kita pulang,” kata Papa kemudian. Ia berdiri di antara aku dan Mama. Lengan kanannya merengkuh pundak Mama, sedangkan lengan kirinya merengkuh pundakku. Penuh sukacita, kami hendak keluar dari pintu utama gedung lapas.
Tidak lama kemudian, langkah Papa tiba-tiba berhenti, membuatku dan Mama cukup tersentak karena pergerakan yang tiba-tiba.
“Pa?” aku bersuara, tapi Papa bergeming.
Pandangan Papa lurus tertuju pada pintu utama yang terbuka. Dua orang laki-laki baru saja masuk.
Seketika saja, kaget yang amat sangat merayapiku! Salah satu dari dua orang itu memandangiku dengan intens. Ia tampak tidak kalah kagetnya karena melihatku berada di tempat ini.
Aku menelan ludah, bingung harus bersikap atau berkata bagaimana.